KONON dahulu kala, ada seorang petani miskin memiliki dan memelihara seekor kuda putih yang sangat cantik dan gagah. Petani itu sangat sayang kepada kudanya. Ia rajin merawatnya, memberinya makan, memandikannya, dan melatih ketangkasannya. (ist)
-----------
PEDOMAN KARYA
Ahad, 05 Juli 2020
CERPEN:
Petani dan Kuda Putih
KONON dahulu kala, ada
seorang petani miskin memiliki dan memelihara seekor kuda putih yang sangat
cantik dan gagah. Petani itu sangat sayang kepada kudanya. Ia rajin merawatnya,
memberinya makan, memandikannya, dan melatih ketangkasannya.
Karena kuda itu gagah
dan kuat, maka kuda putih itu pun menjadi pembicaraan dimana-mana. Kuda itu
menjadi legendaris. Saking legendarisnya, sampai-sampai banyak orang yang ingin
membeli kuda itu, termasuk orang-orang kaya dan pejabat.
Suatu hari, seorang saudagar
kaya datang ke rumah si petani. Ia terus terang mengakui tertarik dengan kuda
putih itu. Maka ia pun mengemukakan keinginannya.
“Pak petani, kuda Anda
sangat gagah dan tampaknya kuat dan cerdas,” ungkap sang saudagar.
“Terima kasih pak atas
pujiannya,” kata si petani.
“Terus terang saya
tertarik dan ingin memiliki kuda putih Anda ini. Sebutlah berapa harga yang
Anda tawarkan kepada saya untuk membeli kuda Anda,” kata sang saudagar.
“Mohon maaf pak, saya
tidak menjual kuda ini,” kata si petani dengan sopan.
“Baiklah. Kalau begitu
saya ingin membelinya dengan harga lima kali harga kuda pada umumnya,” tawar
sang saudagar.
“Terima kasih pak, tapi
mohon maaf saya tidak menjual kuda ini,” kata si petani tetap dengan penuh
kesopanan.
“Baiklah. Kali ini saya
beri tawaran sangat tinggi. Saya ingin membeli kuda Anda ini dengan harga
sepuluh kali harga kuda pada umumnya. Harga itu cukup untuk membeli sebidang
sawah,” kata sang saudagar meningkatkan tawarannya.
Si petani menggeleng
dan merapatkan kedua tangannya di dada.
“Aduh, terima kasih
banyak pak. Tawaran bapak sangat tinggi, tapi sekali lagi mohon maaf pak, saya
tidak menjual kuda ini,” kata si petani dengan sopan.
Sang saudagar tentu
saja kecewa, tapi ia tidak marah karena si petani melayaninya dengan sopan, dan
juga menolak dengan sopan. Ia pun pamit dan menjabat erat tangan si petani.
Setelah sang saudagar
pergi, si petani didatangi oleh beberapa tetangganya yang juga petani dan
menanyakan maksud kedatangan sang saudagar.
Si petani pun
menceritakan pembicaraannya dengan sang saudagar.
Mendengar penjelasan si
petani, para tetangganya pun menyatakan menyayangkan karena si petani
tetangganya tidak mau menerima tawaran sang saudagar.
Bukan hanya
menyayangkan, malah ada di antara tetangganya yang mengejek dan mengeluarkan
kata-kata yang kurang enak di telinga si petani, tapi si petani tetap tersenyum
dengan sopan.
.
Keesokan harinya, kuda
putih itu hilang dari kandangnya. Maka teman-temannya menyesalkan keputusan si
petani yang tidak menjual kudanya kepada sang saudagar sehari sebelumnya.
“Sungguh jelek nasibmu,
padahal kalau kemarin kamu jual, kamu pasti kaya. Sekarang kudamu sudah hilang,”
kata tetangganya.
Mendengar komentar
tetangganya, si petani miskin hanya diam saja sambil tersenyum. Ia sama sekali
tidak membantah atau memberi komentar balasan. Namun beberapa hari kemudian, kuda
si petani muncul kembali.
Kuda putihnya malah
tidak muncul sendiri, tapi ia bersama lima ekor kuda liar lainnya. Melihat
kenyataan itu, para tetangganya pun langsung memberikan komentar.
“Wah, beruntung sekali
nasibmu. Ternyata perginya kuda putihmu membawa keberuntungan,” kata tetangganya.
Mendengar komentar
tersebut, si petani tetap hanya diam sambil tersenyum tapi tanpa komentar
apa-apa.
Terjatuh
dari Kuda
Beberapa hari kemudian,
anak si petani yang sedang melatih kuda-kuda baru mereka, tiba-tiba terjatuh
dan kakinya patah. Si petani tentu saja sedih, tapi ia tidak mengungkapkan
kesedihannya.
Justru tetangganya yang
datang membezuk yang memberikan komentar.
“Rupanya kuda-kuda itu
membawa sial. Lihatlah sekarang, anakmu kakinya patah,” kata tetangganya.
Mendengar komentar
tetangganya yang juga sama-sama petani, si petani miskin itu tetap diam sambil
tersenyum tapi tanpa komentar.
Seminggu kemudian
terjadi peperangan di wilayah itu. Semua anak muda di desa dipaksa untuk berperang,
tetapi anak si petani yang juga seorang pemuda, tidak dipaksa bahkan dibiarkan
saja tidak ikut berperang karena kakinya patah dan tak bisa berjalan.
Beberapa tetangganya
kemudian datang ke rumahnya dengan wajah muram dan sedih, bahkan ada di antara
mereka yang menangis.
“Beruntung sekali nasibmu
karena anakmu tidak ikut berperang, Kami harus kehilangan anak-anak kami,” ujar
salah seorang dari mereka dan dibenarkan oleh yang lain.
Mendengar ungkapan hati
tetangganya itu, barulah si petani miskin berkomentar.
“Janganlah terlalu
cepat membuat kesimpulan dengan menyebutkan tentang nasib baik atau nasib
buruk. Semuanya ini adalah suatu rangkaian proses yang belum selesai,” kata si
petani miskin.
-----
Keterangan:
- Cerita
pendek ini beredar luas di media sosial, khususnya Facebook dan WhatsApp (WA)
tanpa disebutkan penulis aslinya. Karena cerpen ini menarik, inspiratif, dan
bermanfaat, maka kami pun memformulasi ulang kisahnya untuk disajikan di web
pedomankarya.co.id. Wassalam. (redaksi)
------
Cerpen sebelumnya:
Aku Membenci Suamiku Selama 10 Tahun (4-habis)
Daeng, Saya Mau Jadi Isterita’
Ternyata Kamu Miskin dan Menderita
Isteriku Tak Pernah Memarahiku
------
Cerpen sebelumnya:
Aku Membenci Suamiku Selama 10 Tahun (4-habis)
Daeng, Saya Mau Jadi Isterita’
Ternyata Kamu Miskin dan Menderita
Isteriku Tak Pernah Memarahiku