-------
PEDOMAN KARYA
Senin, 23 November 2020
CERPEN
Akhirnya
Dia Tumbang Juga (1)
Karya: Asnawin Aminuddin
“Akhirnya dia tumbang juga,” tulis adik saya di grup
WhatsApp (WA) saudara, pada Ahad pagi.
Yang dia maksudkan sebenarnya ialah mobilnya yang
terpaksa masuk bengkel dan setelah diperbaiki, dia harus merogoh isi kantongnya
sekitar Rp1 jutaan.
Meskipun yang dia maksudkan adalah mobilnya, saya
justru menangkap isyarat lain dari kalimat pendek itu. Detak jantung saya
tiba-tiba berdebar agak kencang. Saya berupaya menenangkan diri dan berupaya
membuang dugaan yang tidak baik.
Tiba waktu adzan magrib, seseorang yang nomornya
tidak terdaftar menelpon saya. Saya mengangkat telpon tersebut dan ternyata
dari mertua perempuan adik saya.
Beliau mengabarkan bahwa adik saya dibawa masuk ke
rumah sakit karena tiba-tiba pingsan saat menyetir mobil.
Setelah shalat magrib, saya bersama istri meluncur
naik motor ke rumah sakit. Dan di sana adik saya sudah terbaring di IGD dalam
keadaan tidak sadarkan diri dan diberi alat bantuan pernafasan.
Istri dan anaknya, serta beberapa anggota keluarga
tampak menangis sedih di tepi tempat tidur. Sebagian lainnya di luar ruangan.
Tentu saja saya kaget dan detak jantungku pun
langsung bergerak cepat, apalagi setelah menyaksikan bahwa adik saya juga
diberi alat bantu tambahan berupa pipa yang dimasukkan ke dalam mulutnya.
Pipa itu ternyata berfungsi untuk menyedot cairan
muntah dan darah apabila ia tersedak.
Saya pun langsung teringat status adik saya ini tadi
pagi di grup WA. Mungkin inilah jawaban dari perasaan saya yang tidak enak
setelah membaca statusnya tadi pagi itu.
“Ya Allah, jangan engkau ambil nyawa adik saya. Kami
belum siap berpisah dengannya. Terlalu cepat Ya Allah. Isterinya masih
membutuhkannya. Anaknya pun demikian. Ya Allah, tolong selamatkan nyawanya. Berilah
dia kesempatan kembali berkumpul dengan kami,” do’a saya dalam hati.
Saya memotret adik saya dan kemudian mempostingnya
di beberapa grup WA keluarga. Saya meminta semua anggota keluarga mendo’akan,
semoga adik saya ini diberi kekuatan dan kesembuhan.
Maka do’a-do’a pun mengalir dari anggota keluarga yang
tersebar di beberapa daerah, termasuk dari provinsi lain.
Kami pun bergantian masuk ke ruangan IGD untuk
melihat perkembangannya. Kami menanyakan kepada dokter, dan dokter mengatakan
pembuluh darah di otaknya pecah.
Kami menanyakan apa tindakan terbaik yang bisa
dilakukan, dan dokter mengatakan operasi bedah syaraf, dan harus dirujuk ke
rumah sakit besar yang siap menerimanya.
Kami langsung mengiyakan, tapi ternyata tak ada satu
pun rumah sakit yang siap menerima. Alasannya, pendarahan di syaraf bagian
belakang otaknya sudah melebar dan menyentuh syaraf pernafasan. Tidak
transportabel untuk dibawa ke rumah sakit lain, karena dikhawatirkan masih
dalam perjalanan di mobil ambulans, pasien sudah keburu meninggal.
Keputusan terakhir pun diambil yakni dipindahkan ke
ruang ICU di lantai dua rumah sakit itu. Saat tiba ruangan ICU, ternyata tempat
tidur dan peralatannya belum siap.
Lantai ruangan pun belum disapu dan saya agak
memaksa meminta sapu untuk menyapu lantai, tapi mereka bilang gampang itu soal
membersihkan lantai, karena katanya yang paling penting segera diangkat pasien
dari tempat tidur IGD ke tempat tidur ruangan ICU.
Proses memindahkan pasien ternyata butuh waktu
sekitar sepuluh menit dan itupun melibatkan beberapa orang laki-laki dewasa, karena
adik saya yang tinggi badannya sekitar 176 cm, cukup berat timbangan badannya.
Mungkin berkisar 90 kg.
Setelah dipindahkan ke tempat tidur ruangan ICU,
semua yang turut membantu diminta keluar, kecuali saya karena hanya
diperbolehkan satu orang anggota keluarga menemani pasien.
Perawat pun bergerak cepat memasang alat-alat,
termasuk dua botol cairan infus. Namun baru saja alat pendeteksi pernafasan
menyala, tiba-tiba adik saya tampak sudah tidak bernafas lagi. Saya memeriksa
matanya, tidak ada lagi kehidupan di sana.
Di layar monitor juga terlihat garis-garisnya yang
tadinya naik turun, kini terlihat bergerak datar.
Saya dan perawat sama-sama berteriak memanggil
dokter, dan dokter pun datang bersama dua perempuan perawat. Mereka langsung
mengambil peralatan dan memompa dada adik saya dengan dua telapan tangan. Di
layar monitor, garis-garis terlihat bergerak naik turun.
Saya juga menelpon istri saya yang berada di lantai
satu untuk mengajak semua anggota keluarga naik ke lantai dua ke ruangan ICU.
Mereka pun berdatangan dan beberapa di antaranya terdengar terisak. Kami pun menyaksikan dokter dan perawat bergantian memompa, namun akhirnya mereka menyerah dan mengatakan adik saya “sudah tidak ada.” (bersambung)
.....
Kisah selanjutnya: