“Maaf Putri Maipa. Cincinmu telah kucincin menjadi penghias jari manisku. Bagiku haram ia keluar kembali. Semoga Tuhan mengabulkan pintaku. Putri kelak menjadi punyaku,” kata Datu Museng. (int)
-------------
PEDOMAN KARYA
Sabtu, 16 Januari 2021
Datu
Museng dan Maipa Deapati (1):
Cincinmu
Telah Kucincin Menjadi Penghias Jari Manisku
Oleh: Verdy R. Baso
(Mantan Wartawan Harian Pedoman Rakyat)
SUMBAWA
pada abad ke-17. Di rumah kadhi Mampawa lapat-lapat terdegnar suasana semarak
pengajian. Karena agama Islam baru masuk ke sana, kewajiban agama bagi
kanak-kanak belum terlalu dihiraukan. Maka tak mengherankan jika yang mengaji
di rumah kadhi adalah gadis-gadis dan pemuda yang berasal dari segala macam
golongan masyarakat.
Di situ ada Maipa Deapati, putri tunggal Maggauka
(Sultan) di Sumbawa, yang sangat kesohor kemolekannya. Ia kesohor bukan hanya
karena keturunan bangsawan tinggi yang memerintah negeri, melainkan juga karena
ia merupakan kembang yang semerbak dan harumnya tak ada duanya di dalam negeri.
Dan bila di tempat itu ada Maipa Deapati sebagai
kembang yang sedang mekar, di sana ada pula seorang pemuda istimewa. Pemuda
yang keras kemauan serta luar biasa keberaniannya. Ia bergelar I Baso
Mallarangan, lelaki yang tak terlarang kehendaknya. Dia adalah Datu Museng.
Sudah ditakdirkan rupanya, di rumah pengajian inilah
mula terjalin riwayat Datu Museng dan Maipa Deapati, yang kemudian menjadi
cerita rakyat turun temurun paling kesohor dan amat digemari..
***
Mula pertama ketika pandangan Datu Museng menatap
wajah Maipa Deapati yang laksana bidadari itu, di dada anak muda ini langsung
menyala bara hangat yang membakar piala hatinya dan menggetarkan seluruh jalur
urat syarafnya.
Ia laksana musyafir kehilangan bintang pedoman jika
tak melihat wajah anak dara itu walau hanya sekejap dalam sehari. Sebaliknya,
hatinya akan bersorak bertalu-talu jika ia sempat bermain-main dengan Maipa sebelum
pengajian dimulai.
Aggalarang, suatu permainan yang menggunakan sebilah
kayu berlubang yang diisi dengan batu-batuan dan dimainkan dua orang yang
berhadap-hadapan, adalah permainan yang paling mereka gemari.
Permainan ini merupakan penyambung batin antara
kedua remaja yang sesungguhnya telah dimabuk asmara dalam ruang lingkup
kunkungan adat yang keras.
Dati Museng sebenarnya mahir dalam jenis permainan
ini, tapi ia tak pernah menyia-nyiakan kesempatan seperti ini. Ia selalu
membuat kesalahan-kesalahan disengaja
untuk membuat permainan tidak cepat berakhir.
Dan mata yang bersilat , lontaran kerling genit,
senyum penuh arti, serta cubit-cubitan tangan adalah selingan permainan yang
paling sering terjadi di antara kedua insan itu.
Tersebutlah pada suatu hari cincin putri Maipa lolos
lepas dari jarinya ketika sedang bersenda-gurau dengan kawan-kawannya sebelum
pengajian dimulai.
Datu Museng yang tak pernah lepas perhatiannya
kepada putri Maggauka itu, dengan gerakan amat cepat langsung memungutnya,
kemudian tanpa berpikir lagi cincin itu dimasukkan ke dalam jarinya sendiri.
Sesungguhnya ia melakukan perbuatan itu di bawah
sadar, jauh dari pertimbangan wajar. Refleksi perbuatan itu dikuasai imbauan
bawah sadar, hasil perkawinan antara tekad dan keberanian yang telah
mendarah-daging dalam tubuhnya yang kekar kuat.
Ia tak acuh dengan segala sesuatu yang menyangkut
dengan adat istidat. Ia tak sadar lagi akan kedudukan Maipa Deapati sebagai
putri Maggauka yang tidak saja harus dihormati sebagai lazimnya menghormati
keluar Sultan, tapi juga telah dengan lancang melanggar kesopanan seorang
wanita di muka khalayak.
Kendati hati Maipa sesungguhnya sudah bertaut dengan
hati Datu Museng, namun dalam menerima perlakuan seperti itu di depan kawan dan
gurunya yang dikenal kukuh dalam adat, tak ada jalan lain baginya kecuali harus
berbuat sesuatu yang bertentangan dengan hati nuraninya.
Dengan air mata menetes di pipi pauh-dilayang, ia
mohon cincinnya dikembalikan, sekadar memenangkan adat yang sesungguhnya
menjadi penghalang besar untuk memenangkan kehendak hatinya.
“Datu...! Tolong kembalikan cincin itu. Kukira tak
ada manfaanya bagimu juga,” kata sang putri dengan suara sedikit bergetar.
Dan Datu Museng yang sejak lahir memiliki
sifat-sifat istimewa, untuk sejenak tak kuasa berkata-kata. Hatinya serasa
hancur mendengar pinta itu. Di relung jiwanya yang paling dalam bertarung
sengit kemauan dan keberanian di satu pihak, melawan keharusan adat di lain
pihak. Dan seperti biasa, kemauannyalah yang akhirnya menjadi pemenang.
“Maaf Putri Maipa. Cincinmu telah kucincin menjadi penghias
jari manisku. Bagiku haram ia keluar kembali. Semoga Tuhan mengabulkan pintaku.
Putri kelak menjadi punyaku,” kata Datu Museng.
Mendengar jawaban Datu Museng yang merupakan
pelanggaran adat tak bertara itu, kadhi Mampawa amat berang. Sambil menuding
dengan telunjuk bergetar, ia berkata setengah berteriak: “Jika begini budi
pekertimu Datu, kau lebih baik mencari guru yang lain. Aku tak ingin mempunyai
murid yang dapat mencemarkan nama baikkua di mata Maggauka.”
Selain berani dan tegas, Datu Museng terkenal pula
memiliki sifa cepat mengambil suatu keputusan tanpa berupaya memikirkan
akibatnya terlebih dahulu. Baginya, apapun yang terjadi, peristiwa-peristiwa
yang akan datang merupakan suatu pengalaman baru yang berguna bagi kelangsungan
hidupnya di kelak kemudian hari. Kebesaran jiwanyalah yang banyak membantu
membentuk sifat-sifat istimewa seperti itu.
Itulah sebabnya, ketika ia mendengar teguran keras
gurunya itu, tanpa mengucapkan sepatah kata lagi ia meninggalkan tempat
pengajian. Ia langsung pulang ke rumah, dimana kakeknya, Adearangan, yang
mengasuhnya penuh kasih sayang sejak kecl, selalu menunggunya di ambang pintu.
Hati Datu Museng ketika itu gemas bercampur sedih.
Ia sadar dengan meninggalkan tempat pengajian, berarti bakal tak bisa lagi
bertemu, bergurau dan bersilat mata dengan Putri Maipa. Hilang kini harapannya.
Pupus sudah cita-citanya, terbang laksana ditiup angin.
Peluh dingin mengalir ke sekujur tubuh. Bukan karena
letih berlari pulang, melainkan karena membayangkan keadaannya nanti.
Langkahnya dipercepat menuju rumah. Ia hendak segera
mengadukan peristiwanya kepada sangk kakek tercinta. Sebelum memasuki pekarangan
rumah, ia sudah berteriak. Suaranya bergetar. Teriakannya parau menggelegar,
membuat orang tua itu terkejut dan melompat berdiri menyongsong cucunya di
halaman.
“Ada apa cucuku...! Mengapa kau menjadi begini?
Katakan cucuku sayang!” sambut kakek Adearangang tak sabar sambil memegang
tangan Datu Museng.
Dibimbingnya naik ke rumah panggung mereka yang
besar melewati anjungan terus ke ruang tengah, dan mendudukkan Datu Museng di haribaannya.
Dibelai-belainya rambut sang cucu tersayang. Dibujuknya penuh manja, sebagai
biasa bila Datu Museng menghadapi kesulitan.
“Dengarlah wahai kakek, aku telah kehilangan harta
melebihi nilai jiwaku sendiri. Aku sungguh bergundah-gulana...,” Datu Museng
berhenti mengutarakan isi hatinya. Ia tampak sangat sedih dan tak kuasa
melanjutkan kata-katanya. (bersambung)