"Lekas datang, lekas pulang menjemput dindamu tambatan hati. Untuk mengurai ikatan ketat, agar terbang sepasang burung ke angkasa, hingga memilih dahan dan ranting di mana suka. Pergi...., pergilah penguasa hatiku. Bertiuplah bayu, kembangkan layar bahteranya menuju tempat idaman, agar kekasih lekas sampai ke pantai harapan." (Foto: Asnawin Aminuddin / PEDOMAN KARYA)
---------------
PEDOMAN KARYA
Selasa, 19 Januari 2021
Datu
Museng dan Maipa Deapati (4):
Lekas
Pulang Menjemput Dindamu Tambatan Hati
Oleh:
Verdy R. Baso
(Mantan Wartawan Harian Pedoman Rakyat)
Suara elahan nafas panjang dan tangan yang
digesekkan untuk kemudian diraupkan ke wajah, mengakhiri semedi Datu Museng.
Adearangang lalu mendekat, mengajak Datu Museng
berdiri. Dengan takzim sang cucu mengikuti kakeknya turun tangga. Mereka
kemudian menuju dermaga di mana I Lologading bersama awak bahtera telah lama
menanti.
Melihat Datu Museng dan kakeknya datang, seluruh
awak bahtera ceria. Perahu lepa-lepa dikayuh menjemput di pinggir pantai.
Setiba di atas bahtera, Adearangang memeluk cucunya, dan memberinya pesan-pesan
penguat batin agar selamat dalam perjalanan.
Gong dan gendang ditabuh bertalu-talu, ditingkah
dentuman lela (meriam) sebagai tanda siap berangkat dan sekaligus ucapan
selamat tinggal kepada penduduk. Sebelum meninggalkan bahtera, Adearangang
sekali lagi memeluk cucunya dan menjabat tangannya erat-erat sambil melontarkan
senyum.
Tiba di darat, ia bergabung dengan khalayak yang
berbondong-bondong datang menyaksikan keberangkatan Datu Museng untuk menuntut
ilmu ke Tanah Suci.
Lalu sauh pun dibongkat. Dayung mulai bergerak
serentak seayun. I Lologading bergerak berangsur-angsur menjauh dari pantai
Pulau Sumbawa nan indah.
Datu Museng naik ke anjungan bahtera melambaikan
tangan kepada kakeknya. Angin pun berhembus dari darat, dan layar terkembang
memutih. Dingin.., sungguh dingin terasa hati Datu Museng ditiup-tiup bayu yang
datang dari arah istana Maggauka.
Terbayanglah wajah nan bundar-telur, kulit kuning
langsat, rambut yang bergerai panjang ke kaki menghitam ikal. Lupalah sudah
kakek yang masih berdiri di pantai melambai. Yang kini teringat dan terbayang
hanya kekasih, lain tiada.
Terkenang kembali masa silam yang membius. Ketika ia
dan Maipa bercengkerama, bebas bercumbu bersenda-gurau. Tertawa terbahak-bahak,
cubit mencubit, ajuk mengajuk hati di saat-saat pengajian jeda.
Kini..., semuanya tinggal kenangan. Sudah tertinggal
jauh dan kian jauh juga. Tertinggal pula bayang-bayang manis itu....!
Tapi... dengar...., dengarlah bisikan angin dari
darat, ke hati langsung berbisik: “Pergilah dikau kanda sayang Datu Museng.
Tinggalkan daku seorang diri melamun dalam mengharap kepada Ilahi.
Lekas datang, lekas pulang menjemput dindamu
tambatan hati. Untuk mengurai ikatan ketat, agar terbang sepasang burung ke
angkasa, hingga memilih dahan dan ranting di mana suka. Pergi...., pergilah
penguasa hatiku. Bertiuplah bayu, kembangkan layar bahteranya menuju tempat
idaman, agar kekasih lekas sampai ke pantai harapan.
I Lologading, melajulah dikau. Bawalah kekasih pergi
dan antar pulang ke haribaanku. Jangan putuskan harapan seorang gadis pingitan.
Wahai dendangan-sayang, telah kudengar berita keberangkatanmu, dari bisikan
rakyat sampai kemari.
Kuiring do’a selamat, semoga harapan berbuah. Aku
tak dapat mengiringimu secara nyata, hanya hayalku yang menyertaimu. Oh angin, bisikkan
pesanku ini kepada kekasih sayang, semoga ia berlayar dengan tenang...”
Layar kian mengembang penuh ditiup angin yang kian
kencang. I Lologading ini dengan megah melaju meninggalkan pantai Sumbawa yang
berangsur hilang dari pandangan.
“Sumbawa sudah dibelakangi Datu....! Lombok dan Bali
tepat di haluan, semoga cepat sampai di tujuan. Marilah, Datu. Marilah, tuan,
kita turun ke ruang istirahat untuk melepas lelah, membaringkan tubuh di atas tilam
peraduan yang sudah tersedia. Malam sudah larut. Angin laut makin terasa dingin
menusuk ke sumsum. Penyakit akan lekas menyerang jika hati kosong melengah-hampa,”
ajak nakhoda I Lologading kepada Datu Museng yang sejak Sumbawa ditinggalkan,
belum beranjak dari duduknya di anjungan bahtera.
Datu Museng tinggal tafakkur menghadap arah darat tanah
tepian Pulau Sumbawa di mana istana Maggauka telah menyimpan jiwanya sebagian.
“Ohhh....!” Datu Museng tersentak dari renungan. Ia
insyaf, lemah dalam derita rasa.
“Wahai nakhoda..., baru kuderita perasaan begini.
Baru kutanggung penanggungan semacam ini. Rupanya tak gampang tiada mudah
meninggalkan kekasih seorang diri pergi berlayar mengarungi semudera luas. Tapi
akan kuapakanlah rinduku, bagaimana kupupus hilang dendam kesumat. Mengucapkan
tak semudah melaksanakannya. Rasanya hancur hati ini jika kupaksa merenggut
rindu yang mendamba di dada. Biarkanlah begini, wahai nakhoda. Jika aku lapar
dan haus-dahaga, akan kuminta makanan dan minuman. Apabila mengantuk, akan
pasti tertidur juga. Usahakan saja I Lologading lekas sampai di tanah tepian pulau
harapan kita,” tutur Datu Museng.
“Tuanku Datu Museng.... sudah lazim teruna
menanggung rindu. Jangan diturutkan kata hati, jangan biarkan lamunan berlarat-larat
dalam diri. Masih amat luas samudera yang harus kita jelajahi, masih banyak
negeri yang akan singgahi, dan masih berbilang-hari berbilang-bulan kita
terkatung-hanyut dan terdampar di rantau orang. Jika bergini cara Datu
berlayar, bakal tak sampai jiwa dan badan ke rantau tujuan. Boleh jadi hanya
keranda tuanku yang akan balik menemui kekasih nan tak pernah putus menunggu
dan berharap. Bersusah hati seperti ini, tak layak Datu lakukan. Akan merusak
iman, melemahkan batin. Selayak orang yang berputus asa,” kata nakhoda.
Dan ketika Datu Museng hanya tersenyum menanggapi
nasehatnya, sang nakhoda melanjutkan, “Jika Datu belum ingin melepas lelah,
marilah kita bergembira bersama. Ambil rebab, ambil kecapi, kita hilangkan
susah di hati. Marilah menembang lagu, mari berdendang sayang. Datu..., marilah
tuan!” kata nakhoda.
Nakhoda itu kemudian menoleh ke awak bahtera yang
sudah berkerumun sambil berkata, “Tukang kecapi, hayo petik kecapi itu, kita
bernyanyi, menghilangkan duka yang mengganggu!” ajak nakhoda.
Tukang kecapi mulai memetik dawai kecapinya. Halus merdu
membelah kesunyian malam ditingkah bayu semilir serta sibakan ombak yang
memerirciki bahtera I Lologading.
Datu Museng cuma mampu mengulum senyum, menggigit
bibir. Marah tak dapat, kesal di hati tertahan, diusik heningan ciptanya. Nakhoda
pura-pura tak melihat. Pandangannya diarahkan ke laut lepas, ke bintang
berkedip di langit yang terhampar luas, sambil mendendangkan nyanyian gembira.
Laju-lajulah
bahtera I Lologading
Laju
melucurlah mengarungi laut
Biar
jauh kasih nan sayang
Ke
hati ia tetap terpaut
Tembang lagu diulang kembali oleh awak bahtera yang
membentuk lingkaran. Datu Museng yang sedikit tersinggung, hanya memandang
cakrawala yang bertaburkan bintang. Layaknya ia sedang sau dari sejuta bintang
yang berkelip indah di alam lepas tak terukur itu. (bersambung)