------------
PEDOMAN KARYA
Ahad, 17 Januari 2021
Datu
Museng dan Maipa Deapati (2):
Maipa
Deapati adalah Maipa-ku
Oleh:
Verdy R. Baso
(Mantan Wartawan Harian Pedoman Rakyat)
Kakeknya heran tercengang melihat keadaan cucunya
demikian, lalu bertanya, “Cucuku, susah apa yang kau tanggung? Sakit apa yang
kau derita? Harta apamu yang hilang? Gerangan siapa yang mengganggu atau
menyakiti hatimu? Katakan! Jika pendekar, ia akan kutantang berperang tanding
dan akan kupatahkan batang lehernya. Jika perampok yang merampas barangmu, akan
kusapu ia dari muka bumi dengan pedang lidah buaya. Cucuku, katakan segera!”
“Bukan orang jahat yang mencegatku. Bukan perampok
yang merampas hartaku. Juga bukan musuh menjentik kulitku, kakek. Aku diusir dari
rumah kadhi. Tidak diperkenankan lagi mengaji di sana. Tapi sebenarnya bukan
pengusiran itu yang menyakitkan hatiku. Hanya akibatnya yang menyiksa batin
ini. Kini aku tak dapat lagi melihat bintang kejora di tengah malam. Maipa
Deapati suluh dalam gelap, ratna mutu manikam, permata dalam hayatku,” jawan
Datu Museng.
Datu Museng kemudian menceritakan kepada kakeknya, Adearangang, asal
muasal ia diusir dan disuruh mencari guru mengaji yang lain.
“Cucuku, jangan susah karena putri Maipa Deapati.
Bukan satu, bukan dua Maipa, tetapi banyak bertebaran di Sumbawa ini, dan di
sekeliling pulau-pulaunya. Mengapa putri itu menyusahkan hati dan membuat kau
gundah-gulana. Bukan Maipa saja yang cantik, bunga setangkai di dalam taman,
cucuku. Banyak kembang semerbak di berbagai taman. Bintang-bintang di langit,
juga tak terbilang jumlahnya. Mengapa kau bingung karena Maipa? Ketahuilah,
putri Maipa Deapati sudah bertunangan. Dia dijodohkan semasih dalam kandungan
ibunda permaisuri, dengan I Mangngalasa, putra mahkota Sultan Lombok,” tutur Adearangang.
Mendengar tutur kakeknya, Datu Museng mendengus
merentakkan kaki. Gerahamnya gemertak menahan marah dan matanya mendelik liar.
Ia lalu berdiri berkacak pinggang sambil berkata,
“Tidak! Tidak kakek. Maipa Deapati adalah Maipa-ku. I Mangngalasa boleh
dijodohkan dengan Maipa sejak kecil, semasih dalam kandungan permaisuri. Tapi
sekarang..., aku yang punya. Maipa-ku, tunangan Datu Museng I Baso
Mallarangang. I Mangngalasa boleh memetik kembang-kembang di taman, boleh bebas
memilih bintang di langit biru, tapi ia tak boleh menjamah perawan yang satu
ini. I Mangngalasa boleh menumpuk harapannya setinggi gunung, tapi tak akan
bisa mendapatkannya semasih aku hidup, selagi hayatku dikandung badan.”
Mendengar tekad teguh Datu Museng, kakek Adearangang
tafakkur berpikir dalam-dalam. Hai tuanya menyala kembali. Rasa pati bangkit
untuk mengabdi pada sang cucu, ingin membantu sekuatnya dengan nyawa dan badan
dipertanggungkan.
Ia sadar, cucunya berkeras ingin memetik kembang
larangan yang dijaga kuat. Hendak dipetik secara resmi, susah sungguh dan
terasa rumit. Sebab Maipa Deapati berdarah bangsawan, turunan Sultan yang
memerintah.
Akan halnya Datu Museng, hanya separuh turunan
bangsawan. Darahnya tidak murni, sehingga tak pantas duduk bersanding menurut
ukuran adat. Karena itu buncahlah pikiran sang kakek. Tapi pembawaan
Adearangang persis sama dengan Datu Museng. Kakek dan cucu ini hanya berbeda
usia, tapi tidak dalam hal-hal yang menyangkut kejantanan.
Perasaan ragu-ragu segera sirna, dihapus tekad hati
hendak mengabulkan harapan cucu satu-satunya yang amat dimanjakannya.
Orang tua itu lalu berdiri dan menepuk pundak
cucunya yang sedang termenung melontar pandang lewat jendela. Datu Museng
sedikit terkejut dari lamunannya, lalu menoleh dan menatap penuh harap.
Sebelum ia sempat melontarkan pertanyaan, kakek
Adearangang tersenyum lembut sambil berkata, “Datu..., Maipa Deapati bukan
sembarang kembang. Memetiknya amat susah, tidak gampang. Di sekitarnya penuh
onak dan duri yang siap menusuk siapa yang coba-coba memetiknya. Tetapi jika
hatimu membaja, yakinlah kau akan bisa memperolehnya. Hanya kau harus berjuang
keras dan membekal kesabaran dalam menentang risiko, dalam mengarungi laut,
menghadang maut marabahaya.”
Kakeknya kemudian melanjutkan, “Kau harus berguru ke
Mekah, negeri suci tempat lahir nabi akhir zaman, Muhammad sallallahu alaihi
wasallam. Kau mesti berguru pada tuan syekh di Mekah dan Madinah. Cari dan
petik bunga ejana Madinah (kembang
merahnya Madinah). Jika berhasil memetiknya, percayalah cita-citamu akan
terkabul. Maipa Deapati akan dapat kau miliki. Semua perintang onak-duri,
tanjakan tajam, apalagi kerikil, dengan mudah kau lindas dan lewati. Sungguh,
cucuku.”
Tutur kakeknya yang mengandung dorongan dan harapan
ini membuat Datu Museng girang alang kepalang dan tersenyum-senyum. Mata yang
pudar bersinar kembali, wajah yang pucat bercahaya lagi, dada bergolak menjadi
tenang, dan jiwa pun girang bagai semula.
Dengan suara pasti, Datu Museng berkata, “Hanya ke
Mekah dan Madinah, kek? Cuma mengarungi laut berombakkan air, menjelajah
sahara, berpandangkan pasir? Tak usah khawatir. Ke laut api sekalipun aku akan
pergi, demi mendapatkan mutiara hidupku. Aku akan pergi menghadang laut
marabahaya. Akan melintas lautan berombak setinggi rumah. Aku akan menjelajahi
padang pasir yang terik membara membakar jagat. Keras hatiku, kek. Kuat tebal
keyakinanku. Maipa..., Maipa-ku terbayang di ruang mata, senyumnya bersemayam
dalam jiwaku selalu. Aku akan pergi, pasti...”
“Jika keyakinanmu telah bulat, kemauan sudah keras
membaja, dan tekad telah membungkah, akan kusuruh buatkan bahtera kenaikanmu ke
Mekah mencari bunga ejana Madinah. Sabarlah,
cucuku,” jawab kakeknya sambil tersenyum-senyum pula. (bersambung)