PEDOMAN KARYA
Jumat, 12 Februari 2021
Datu Museng dan Maipa Deapati (8):
Bola Raga Menyelinap Masuk ke Kain Maipa Deapati
Oleh: Verdy R. Baso
(Mantan Wartawan Harian Pedoman Rakyat)
Ketika Maipa sedang karam di dalam air mata, di bawah, di pekarangan istana, pemuda-pemuda asyik bermain raga sambil melayangkan pandangan ke jendela, ke gadis-gadis yang sedang asyik menonton. Kaki mereka menyepak raga, sambil diiringi senyum simpul.
Datu Museng ketika mengetahui Maipa tak berada di tempatnya lagi, hatinya menjadi rusuh. Mengapa gerangan? Ketika ia sedang berpikir, raga melayang ke arahnya.
“Saatnya telah tiba,” pikirnya.
Ia pun menyambut bola rotan itu, dipermain-mainkannya dengan indah. Ia mengeluarkan seluruh kepandaiannya, hingga penonton, lebih-lebih dara-dara di jendela, terpesona. Mereka kini kagum kepada pemuda tampan ini. Gadis-gadis ramai berbisik heran, dalam arti yang hampir sama. Mereka menyesal telah meneriaki Datu Museng tadi.
Ternyata pemuda itu seorang ahli yang menawan hati. Rupanya Datu sengaja melakukan kesalahan tadi, hanya untuk membuat gelanggang menjadi ramai dan gembira. Ah, betapa hebat pemuda itu. Dan alangkah malunya mereka.
Bola rotan itu kini masih dipermain-mainkannya. Mulut Datu komat-kamit. Gadis-gadis mulai menjerit-jerit tertahan, menahan kagum, mereka mengira, pemuda itu bermain sembari bergurau. Mereka tak tahu, Datu Museng sedang melakukan tujuan utamanya ke gelanggang ini.
Bila semua telinga yang hadir di situ dapat mendengar kata-kata yang keluar dari mulut komat-kamit itu, maka keadaan gembira itu tidak akan demikian jadinya. Mereka tak tahu, Datu Museng sedang memesan raga dengan kekuatan ilmunya.
“Oh… raga, kupesan kau agar jatuh di atas wuwungan atap istana Maggauka. Bertenggerlah di sana sebentar, kemudian turun dan pergi ke bilik Putri Maipa. Jika kau dikejar orang, larilah masuk ke dalam biliknya dan naik ke peraduannya. Kalau ada yang coba mengambilmu, kau masuklah ke dalam sarungnya. Semoga…!” kata Datu dalam komat-kamitnya.
Ketika Datu sedang memesan raga, bola rotan itu dipermainkannya dari kaki pindah ke tangan, dari tangan naik ke kepala, secara indah. Pangeran Mangngalasa jadi iri dan kesal dibuatnya. Ia merasa dipecundangi, diturunkan martabatnya oleh pemuda ini. Ia hampir gelap mata ketika berteriak lantang, “Datu Museng! Jangan merasa kau saja lelaki di sini. Berikan juga raga itu pada kami!”
Sebagai jawabannya, Datu Museng menyepak raga itu keras-keras, hingga melambung tinggi laksana burung terbang ke angkasa raya. Tambah ke atas, kian kecil, dan akhirnya lenyap dari pandangan. Lama baru raga itu kelihatan kembali turun dan jatuh tepat di atas wuwungan rumah Maggauka ditentang bilik Maipa Deapati. Disana, ia bertengger sebentar, kemudian jatuh lagi ke dalam istana, tepat di depan bilik sang putri.
Dayang-dayang berlari mengejar raga, tapi, bola rotan itu bergulir memasuki bilik dan naik ke pembaringan Maipa. Mereka berhenti mengejar. Takutnya pun timbul melihat raga aneh itu. Mereka kemudian berlari, mendapatkan ibu susu (yang memelihara, bukan ibu kandung) Putri Maipa menyampaikan hal itu.
Ibu susu tergopoh-gopoh memasuki bilik sang putri. Didapatkannya raga masih berada dekat Maipa. Ia pun mendekat dan memungutnya. Tapi, apa yang terjadi? Raga melompat naik ke dada Maipa. Sang ibu susu yang terkejut, masih mencoba memegangnya. Tapi bola itu menyelinap masuk ke kain Maipa. Lalu hilang masuk ke tubuhnya. Maipa kini terlentang, tak sadarkan diri
Ibu susu tercengang menyaksikan keajaiban itu. Ia terbirit-birit lari keluar, mendapatkan permaisuri. Dengan tersengal, ia menceritakan kejadian yang telah menimpa Maipa.
“Ai, kenapa putriku, kenapa?” teriak permaisuri cemas, ketika mendengar cerita itu.
Ia berdiri dari tempat duduknya, lalu berlari-lari kecil menuju bilik putrinya. Dipeganginya lengan Maipa, diraih ke dadanya, penuh haru. Dan diusap-usapnya kepala sang putri.
“Anakku, kenapa kau begini rupa, padahal teman-temanmu riang gembira menonton. Biasanya kaulah yang menjadi kepala mereka, kaulah utama di antaranya. Tapi sekarang, malah kau yang terbelakang. Oh putriku, penyakit apa yang menyerangmu?” tanya permaisuri.
Sesudah berkata-kata, permaisuri pun mengalihkan pandangan ke sang ibu susu. Lalu menanyakan asal usul sampai hal itu terjadi. Ibu susu menceritakan apa yang didengar dan disaksikannya. Yaitu sejak raga jatuh jatuh di atas wuwungan istana hingga berada di depan bilik Maipa. Dan kemudian masuk ke bilik, hingga akhirnya naik ke atas dada Maipa, dan terakhir kali terjadilah kejadian aneh itu. Permaisuri melongo, menggelengkan kepala mendengar kisah itu.
“Datu Museng? Datu Museng kah yang melakukan ini?” tanyanya dalam hati.
Wajah Datu Museng terbayang di hadapannya. Diukurnya pemuda itu dengan dirinya. Disbanding-bandingkannya dengan putrinya. Dinaikkannya di atas derajat pikirannya. Diukurnya kembali dengan tunangan Maipa,
Pangeran Mangngalasa. Datu Museng, I Mangngalasa. Siapakah yang harus dipilih antara keduanya? Sebagai baju yang dikenakan pada dirinya, ditimbang-timbang yang mana elok, yang mana buruk. Yang mana gagah, dan yang mana tidak. Lama juga ia menimbang-nimbang; barulah mendapatkan keputusan..
I Mangngalasa ibarat emas tiada teruji lagi baginya. Sedangkan Datu Museng sudah bercampur perak, darahnya tidak tulen lagi. Datu Museng boleh dibujuk, mencari perempuan lain. Disuruh memilih gadis teman Maipa yang berada di istana atau dimana saja, di negeri ini. Lagi pula Maipa sudah bertunangan. Cukup kuat alasan diberikan kepada Datu Museng supaya tak berkecil hati dan menerbitkan malu Maggauka di Sumbawa.
Setelah putus mufakat dalam hatinya, ia pun meninggalkan bilik. Lalu pergi mendapatkan Maggauka untuk memberitahu kejadian itu. (bersambung)
----
Kisah sebelumnya:
Datu Museng dan Maipa Deapati (7): Senyum Datu Museng Membakar Piala Hati Maipa
Datu Museng Dipermalukan, Kakek Adearangang Cabut Pedang Lidah Buaya
Maggauka di Sumbawa Mengadakan Gelanggang Permainan Sepakraga