-----
PEDOMAN KARYA
Kamis, 11 Februari 2021
Datu Museng dan Maipa Deapati (7):
Senyum Datu Museng Membakar Piala Hati Maipa
Oleh: Verdy R. Baso
(Mantan Wartawan Harian Pedoman Rakyat)
Datu Museng terperanjat. Ia tak menyangka kakek akan bertindak segegabah itu. Maka Datu menghadang dan menyabarkannya.
“Kek, bukankah kakek telah berjanji padaku, tidak akan menggagalkan rencana cucumu?” kata Datu Museng.
“Aku tak tahan menyaksikan mereka mempermainkanmu, cucuku,” tukas kakek terengah-engah menahan marah.
“Mereka terlalu kurang sopan. Akan kuperlihatkan kepada mereka apa seharusnya imbalan yang pantas mereka peroleh dari kekurang-ajaran itu,” tambah kakek Adearangang.
“Tapi, sabarlah kek,” bujuk Datu Museng.
Didekatkannya mulutnya ke telinga orangtua itu, sambil membisikkan sesuatu. Kemudian Datu Museng membawa kakeknya keluar dari gelanggang, hingga ke gerbang istana.
Pemuda-pemuda yang bersembunyi, ketika melihat kakek Adearangang telah keluar, mulai kembali ke gelanggang permainan lagi atas ajakan Datu Museng. Datu menerangkan singkat bahwa kakeknya belakangan ini cepat naik darah, mungkin sedang mengidap suatu penyakit. Ia pun dengan rendah hati, menghaturkan maaf kepada semua hadirin, teristimewa terhadap Maggauka, atas kejadian itu.
Raga pun mulai melayang ke udara. Raga itu melantik-lantik, dari kaki ke tangan, kemudian ke kepala. Lalu melambung lagi ke atas, dan jatuh kembali ke kaki pemuda yang lain.
Permainan mulai aman. Sorak cemooh tidak terdengar lagi. Dan bulan purnama telah sudah menampakkan dirinya di antara bintang-bintang bertaburan. Maipa Deapati sudah muncul di jendela atas, menghadap pekarangan di mana pemuda-pemuda sedang asyik bermain raga.
Sebenarnya, inang pengasuh dan bunda permaisuri telah letih mengajaknya untuk menonton pertandingan raga. Maipa selalu mengabaikannya. Ia memilih berdiam diri di bilik. Padahal, biasanya hanya orang mengadu kerbau, sapi atau ayam, ia gembira menyaksikan, apalagi jika gelanggang permainan raga yang diselenggarakan. Ia pasti tidak ketinggalan menyaksikannya.
Sekarang tontonan kegemarannya itu sedang berlangsung di bawah sana. Tunangannya dari Lombok turut pula bermain. Tapi tak dihiraukannya, bundanya sudah kesal, menggaruk kepala, bertanya di dalam hati.
Tiba-tiba orang bersorak ramai di pekarangan, di dalam gelanggang permainan raga, tertawa terbahak-bahak. Maipa sangat terkejut mendengar nama Datu Museng disebut-sebut oleh gadis-gadis yang menonton di luar.
Rongga dadanya bergemuruh laksana ombak yang sedang mengempas-empaskan diri ke tepian karang. Suatu perasaan ingin tahu tiba-tiba merajai kalbunya. Ia hendak memeriksa, siapa gerangan yang bernama seperti nama orang yang telah lama menguasai piala hatinya.
Adakah nama itu kuasa mengobat rindunya? Adakah Tuhan bermurah hati mengantar penguasa hatinya itu ke gerbang jangkauannya kini? Sudah terkabulkah pintanya yang tak berputus siang dan malam? Pujaan hatinyakah yang kini sedang disorak-soraki di bawah sana?
“Oh… Tuhan-ku…, jangan kecewakan pinta hamba-Mu ini. Jangan siksa juga badan yang tak kuasa lagi menanggung rindu. Tolonglah…., tolonglah….,” ratap Maipa, sambil turun dari peraduannya.Ia pun tergopoh-gopoh keluar dari biliknya, menuju jejeran gadis-gadis yang sedang memadati tiap celah jendela. Ia menyosoh dan menyikut gadis-gadis yang tegak, untuk melihat benarkah Datu Museng yang berada di bawah sana.
Gadis-gadis yang tertepis, menepi dengan keheranan, menyaksikan perangai Putri Maipa. Mereka tak menyangka, akhirnya putri itu mau juga menyaksikan pertandingan raga tersebut, padahal semula ia menolak kendati dibujuk.
Mata Maipa liar menyapu gelanggang. Ia meneliti para pemuda, satu per satu, yang sedang bermain raga. Para pemuda itu, kini sedang asyik kembali mempermainkan raga. Mereka mengeluarkan keahlian masing-masing, layaknya sedang bersaing hebat, untuk merebut hati dara-dara ayu di atas sana.
Ketika itu, Datu Museng mencoba melontar pandang sekali lagi ke sekeliling jendela, untuk memeriksa apakah siasatnya telah berbuah, setelah namanya sudah beberapa kali diteriakkan oleh penonton.
Saat itu, ya saat itulah, kedua pasang mata yang menyorot haus dari arah berlawanan, bertemu. Pandangan kedua makhluk saling merindu ini, terpaku laksana tak ada di antara keduanya hendak mengalihkan pandangan. Kedua hati turut berbicara dalam bahasanya sendiri.
Datu Museng segera mengirim senyum mesra yang diterima oleh Maipa laksana mendapat hadiah tak ternilai dalam hidupnya. Rasanya, jika ia harus mati, maka kematiannya sekarang tak menjadi soal lagi baginya.
Melalui pertemuan pandang inilah, serentak terbakar piala hatinya. Jiwanya hidup kembali. Sesuatu telah membakar wajah nan jombang berseri. Rasanya tak kuasa berdiri berlama-lama. Panas segala-galanya, resah dalam berdiri, halilintar terus menyambar gemuruh ke dalam jiwanya, tak tertanggungkan.
Tanpa sadar apa yang dilakukannya, Maipa berlari ke dalam biliknya. Ia menelungkup di pembaringan. Semua yang berada di sisinya, bantal bersulam, tirai dan alas tilam, digigit-gigitnya untuk melampiaskan rasa bahagia.
Apa yang harus diperbuatnya? Ia seorang bangsawan tinggi, tidak sedarah dengan Datu Museng. Ia pun sudah dijodohkan dengan Pangeran Mangngalasa. Apa dayanya?
Hanya tangis pengobat hati yang pilu. Tubuhnya berguncang, menahan derita jiwa. Peluh dingin membasahi sekujur raganya. Ia sakit? Entahlah. Ia hanya tinggal seorang diri di dalam bilik, menjerit mengaduh di dalam hati. (bersambung)
-------
Kisah sebelumnya:
Datu Museng dan Maipa Deapati (5): Maggauka di Sumbawa Mengadakan Gelanggang Permainan Sepakraga
Datu Museng dan Maipa Deapati (4): Lekas Pulang Menjemput Dindamu Tambatan Hati