“Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia: ‘Wahai Ibrahim! Sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (int)
-------
Selasa, 20 Juli 2021
Makna
Qurbânan Sebagai Pendekatan Diri Secara Penuh Kepada Allah (2)
Dr Abdul Rakhim Nanda
(Wakil Sekretaris Muhammadiyah Sulsel. Wakil Rektor I Universitas Muhammadiyah Makassar)
Ibrahim dan Ismail
Kemudian Qurban
(pendekatan diri melalui ritual persembahan penyembelihan) yang kedua, diperintahkan
oleh Allah SWT kepada nabi-Nya Ibrahim a.s melalui mimpi untuk menyembelih
anaknya sebagai-mana firman-Nya dalam Al-Qur’an, Surah As Shaffat (37) :
102-107.
“Maka tatkala anak itu
sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: ‘Wahai
anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka
pikirkanlah apa pendapatmu!’ Ia menjawab: ‘Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang
diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk
orang-orang yang sabar.” (102)
“Tatkala keduanya telah
berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah
kesabaran keduanya).” (103)
“Dan Kami panggillah dia:
‘Wahai Ibrahim! (104). Sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu.
Sesungguhnya demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat
baik.” (105)
“Sesungguhnya ini
benar-benar suatu ujian yang nyata.” (106)
“ Dan Kami tebus anak itu
dengan seekor sembelihan yang besar.” (107)
Begitulah wujud ke-Islam-an
yang dicontohkan oleh Bapak Tauhid kita dalam Islam, Nabiullah Ibrahim a.s. dan
putra kesayangannya Ismail a.s. yang diabadikan dalam al-qur’an.
Dari dua peristiwa yang
menunjukkan cara ritual mendekatkan diri secara sempurna (qurbanan) kepada
Allah SWT dapat diambil hikmah, pelajaran dan pesan.
Hikmah
Pertama; hikmah yang
dapat ditarik dari dua peristiwa ini yakni: (1) Pendekatan diri secara sempurna
(qurbânan) kepada Allah yang dilakukan oleh Habil atas dasar taqwa dalam bentuk
ritual penyembelihan ‘hewan pilihan’ pada zaman Adam a.s, dinyatakan diterima
oleh Allah SWT, dan jenis hewan pilihan tersebut kelak terpilih lagi menjadi
sembelihan yang agung (dzibhin adzhim) yang menggantikan posisi penyembelihan
Ismail a.s. pada zaman Ibrahim a.s.
(2) Adapun model
pendekatan diri (qurbân) kepada Allah sebagaimana dilakukan oleh Qabil yang
tidak dengan dasar ketaqwaan, maka qurbannya tidak diterima sehingga tidak
mencapai kedekatan kepada Allah, kemudian melahirkan kedengkian bagi Qabil
terhadap saudaranya Habil lalu mengundang nafsu ammarah yang berujung
pembunuhan terhadap saudaranya itu, dan karenanya Qabil tidak mewariskan
sejarah kecuali hanya dikenang keburukannya.
(3) Kebesaran
jiwa/keberanian dan keikhlashan Ibrahim a.s memutuskan untuk menyembelih
anaknya Ismail a.s. atas dorongan keyakinannya bahwa perintah Tuhan bukan hanya
kewajiban yang harus ditunaikan melainkan bentuk ketundukan totalitas yang
pasti akan dinilai oleh Allah sebagai sebuah kebaikan.
(4) Setelah Ibrahim dan
Ismail melakukannya dengan penuh kesabaran dan keikhlasan barulah mereka
menyadari bahwa itu hanyalah ujian dari Allah setelah Allah memberi jawaban
bahwa Ibrahim telah membenarkan perintah Allah melalui mimpinya, lalu Allah
membatalkan penyembelihan Ismail dan Dia (Allah) menggantikannya dengan
sembelihan agung berupa ‘domba.’
Pelajaran
Kedua; adapun pelajaran
(mauidzhah)nya, yakni (1) Pendekatan diri kepada Allah hendaknya dilakukan
bukan hanya sekadar pendekatan (qurbân), namun haruslah dilakukan pendekatan
diri secara totalitas-sempurna (qurbânan), yakni didasarkan atas taqwa, ikhlas,
sabar, dan tawakkal, sedangkan bentuk ritualnya adalah menyembelih dengan
memilih objek persembahan yang terbaik tanpa cacat.
(2) Pendekatan secara
totalitas (qurbânan) kepada Allah SWT dengan dasar taqwa, ikhlas, sabar, dan
tawakkal sebagaimana dilakukan oleh Habil, Ibrahim dan Ismail, melahirkan
keputusan Allah yang sangat baik dan jauh lebih ringan yakni mengganti
penyembelihan Ismail --sebagai objek ritual qurban-- dengan sembelihan yang
agung, sehingga menjadi kesyukuran yang tak terhingga bagi kita umat para Nabi,
terutama umat Rasulullah s.a.w, bahwa Allah SWT menetapkan bahwa untuk
mendekatkan diri kepada Allah, bentuk ritualnya tidak lagi harus menyembelih
anak kita, tapi cukup menyembelih ‘sembelihan agung (dzibhin adzhim) berupa
bahimatul an’am (domba, kambing unta, sapi, (QS: 22:34 & 6:142-144))
sebagai ketentuan Allah. (bersambung)
----------
Artikel Bagian 1:
Makna Qurbânan Sebagai Pendekatan Diri Secara Penuh Kepada Allah (1)
Artikel Bagian 3-habis:
Makna Qurbânan Sebagai Pendekatan Diri Secara Penuh Kepada Allah (3-habis)