- Prof. Haedar Nashir -
(Ketua Umum PP Muhammadiyah)
---------
PEDOMAN KARYA
Senin, 06 September 2021
Pidato
Kebangsaan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah (3-habis):
Kepentingan
Pragmatis Jangka Pendek di Balik Gagasan Amandemen UUD 1945
Oleh:
Haedar Nashir
(Ketua Umum Pimpinan
Pusat Muhammadiyah)
Jika ingin menjalankan
Pancasila yang moderat, maka strategi membangun dan mengembangkan pemikiran ke-Indonesia-an
pun semestinya menempuh jalan moderat atau moderasi, bukan melalui pendekatan
kontra-radikal atau deradikalisasi yang ekstrem.
Kontroversial seputar Tes
Wawasan Kebangsaan (TWK), Survei Lingkungan Belajar (SLB), lomba pidato tentang
hukum menghormat bendera, dan pemikiran-pemikiran pro-kontra lainnya, mesti
dihindari jika ingin meletakkan Pancasila bersama tiga pilar lainnya yaitu
NKRI, UUD 1945, dan Kebhinnekaan sebagai ideologi jalan tengah yang moderat.
Segala paham
radikal-ekstrem tidaklah sejalan dengan Pancasila. Menghadapi paham
radikal-ekstrem pun tidak semestinya dengan cara yang radikal-esktrem, karena
selain akan melahirkan radikal-ekstrem baru, pada saat yang sama bertentangan dengan
jiwa Pancasila.
Pikiran-pikiran “loyalis”
maupun “kritis” yang hidup di tubuh bangsa Indonesia seyogyanya mengandung pikiran
dan cara-cara yang moderat atau jalan tengah serta tidak berparadigma
radikal-ekstrem. Inilah jiwa dan karakter Indonesia berdasarkan Pancasila yang
moderat, Indonesia Jalan Tengah! Indonesia Milik Semua
Ernest Renang tahun 1882
menulis, “...bangsa (nation) itu ialah suatu solidaritas besar, yang terbentuk
karena adanya kesadaran, bahwa orang telah berkorban banyak, dan bersedia untuk
memberi korban itu lagi...yakni persetujuan, keinginan yang dinyatakan secara
tegas untuk melanjutkan hidup bersama (le desir de vivre ensemble)...”
Menurut filsuf Perancis
yang menjadi rujukan para pendiri bangsa Indonesia seperti Soekarno, Mr, Soenarjo,
Mr Mohammad Yamin, bahwa “asas kebangsaan (nasionalitas) itu berbeda dengan ass
ras” (Renan, terj.Soenario, 1994).
Indonesia sebagai
negara-bangsa (nation-state) merupakan jalan tengah atau moderasi dari segala
proses dan keragaman.
Menurut Anthony Reid
(2018), “Indonesia menjadi titik temu persatuan nasional seluruh rakyat
Indonesia dari berbagai golongan sebagai era baru yang di era Nusantara berpencar
dan menjadi entitas sendiri-sendiri yang tidak mengarah ke persatuan.”
Soekarno dalam pidato 1
Juni 1945 menegaskan, bahwa “Kita hendak mendirikan suatu negara semua buat
semua”. Mohammad Hatta menegaskan pentingnya “kolektivisme” dalam berbangsa dan
bernegara.
Dari Dwi-Tunggal pemimpin
Indonesia itu maupun dari para pendiri negara yang lainnya, kuat sekali kehendak
untuk menjadikan Indonesia milik bersama seluruh rakyat Indonesia.
Jiwa Gotong-royong
mendasari bangunan Indonesia dalam seluruh aspek kehidupan agar tidak ada
oligarki politik, oligarki ekonomi, dan oligarki lainnya yang merusak kebersamaan
dan menjadikan Indonesia hanya milik sekelompok kecil pihak.
Menurut Mohammad Hatta,
ketika para pemimpin rakyat duduk di BPUPKI merumuskan UUD 1945, khususnya
dalam bidang ekonomi, terkandung cita-cita “untuk mencapai kemakmuran yang
merata”, sebagaimana termaktub dalam pasal 33 UUD 1945, yang melahirkan sistem
“ekonomi terpimpin.”
Ditegasksn, “Dalam sistem
ekonomi terpimpin, pemerintah harus bertindak, supaya tercapai suatu
penghidupan sosial yang lebih baik. Penghidupan sosial itu harus berdasarkan
keadilan sosial.” (Hatta, 2015).
Di tengah keresahan
melebarnya kesenjangan sosial, bumi dan kekayaan yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh segelintir pihak, dan menguatnya oligarki politik, maka Indonesia
harus dikembalikan kepada jati dirinya sebagai milik semua.
Pemerintah negara wajib
hadir dalam melindungi seluruh rakyat dan tumpah darah Indonesia, serta
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Di negeri ini tidak
semestinya berkembang “siapa yang kuat, yang menang” dan menguasai Indonesia
dalam hukum Darwinian. Manakala hal itu terjadi, maka Indonesia dapat terpapar
“radikalisme-esktrem” bentuk lain, yang tentu saja tidak sejalan dengan
Pancasila.
Indonesia wajib hukumnya
untuk menjadi milik semua! Karenanya, jiwa Bhinneka Tunggal Ika penting terus digelorakan,
bukan hanya untuk menumbuh-kembangkan sikap bersaudara dalam kemajemukan SARA,
tetapi juga menegakkan kebersamaan secara politik dan ekonomi. Tujuannya agar
tercipta Persatuan Indonesia dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kami percaya masih banyak
anak bangsa, termasuk para pejabat negara, politisi, dan pengusaha, yang
berjiwa luhur untuk terciptanya Indonesia milik bersama!
Pengharapan
Ketika Indonesia
merayakan kemerdekaan ke-76 dengan segala masalah, tantangan, ancaman, dan
peluang yang dihadapi, diharapkan pemerintah dan seluruh komponen bangsa
menyatukan jiwa, pikiran, dan langkah menuju terwujudnya cita-cita Indonesia merdeka
yang bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
Jalan masih panjang dan
terjal menuju Indonesia yang diidamkan itu. Keragaman pandangan dan segala
bentuk pengelompokan tidak semestinya membuat Indonesia retak dan
terpecah-belah.
Di sinilah pentingnya
jiwa kenegarawanan seluruh elite dan warga bangsa untuk membawa Indonesia
menuju negeri idaman.
Kami percaya masih banyak
elite dan warga bangsa yang berhati tulus, baik, jujur, dan terpercaya dalam
berbangsa dan bernegara.
Bila masih terdapat
saudara-saudara sebangsa yang salah dan khilaf, serta memiliki kehendak yang
berlebihan dalam kekuasaan politik dan ekonomi maupun orientasi hidup lainnya, maka
masih terbuka jalan kebaikan yang dibukakan Tuhan untuk kembali ke jalan terang
dan tercerahkan.
Kuncinya ialah kemauan, ketulusan,
kejujuran, dan kebersamaan dalam berbangsa dan bernegara milik semua. Luruhkan
ego diri, kroni, institusi, dan golongan dengan mengedepankan kepentingan
bangsa dan negara demi masa depan Indonesia yang dicita-citakan para pendiri negara.
Ketika bertumbuh gagasan
dan kehendak yang berkaitan dengan hajat hidup bangsa dan negara, maka
berdirilah dalam posisi tengahan dan jauhi jalan ekstrem. Tempuhlah musyawarah
untuk mufakat, serta hindari sikap mau menang sendiri.
Tumbuhkan jiwa dan alam
pikiran ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial,
sebagaimana terkandung dalam falsafah Pancasila yang harus diwujudkan di bumi nyata
dengan keteladanan. Pancasila yang berkarakter tengahan dan bukan Pancasila
yang diradikal-ekstremkan.
Ketika kini tumbuh
kembali gagasan amandemen UUD 1945, seyogyanya dipikirkan dengan
hikmah-kebijaksanaan yang berjiwa kenegarawanan autentik. Belajarlah dari empat
kali amandemen di awal reformasi, yang mengandung sejumlah kebaikan, tetapi
menyisakan masalah lain yang membuat Indonesia kehilangan sebagian jati dirinya
yang asli.
Jangan sampai di balik gagasan
amandemen ini, menguat kepentingan-kepentingan pragmatis jangka pendek yang
dapat menambah berat kehidupan bangsa, menyalahi spirit reformasi 1998, serta
lebih krusial lagi bertentangan dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945 yang dirancang-bangun
dan ditetapkan para pendiri negeri 76 tahun yang silam.
Di sinilah pentingnya “hikmah kebijaksanaan” para elite negeri di dalam dan di luar pemerintahan dalam membawa bahtera Indonesia menuju pantai idaman. Indonesia yang bukan sekadar raga-fisik, tetapi menurut Mr. Soepomo, Indonesia yang “bernyawa”. Itulah Indonesia Jalan Tengah dan Indonesia Milik Bersama!
-------
Komunisme dan Liberalisme-Sekularisme Tidak Sejalan dengan Pancasila
Masalah-masalah Kebangsaan pada HUT ke-76 Republik Indonesia