------------
PEDOMAN KARYA
Ahad, 05 September 2021
Pidato
Kebangsaan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah (2):
Komunisme
dan Liberalisme-Sekularisme Tidak Sejalan dengan Pancasila
Oleh:
Haedar Nashir
(Ketua Umum Pimpinan
Pusat Muhammadiyah)
Pancasila sebagai titik
temu dari kemajemukan terjadi selain atas jiwa kenegarawanan para tokoh bangsa
melalui proses musyawarah-mufakat, secara substansial di dalamnya terkandung ideologi
tengahan atau moderat.
Ketika Soekarno
menawarkan lima sila dari Pancasila dalam sidang BPUPKI tergambar kuat pemikiran
moderat atau “jalan tengah.”
Mengenai “nasionalisme”
atau “kebangsaan”, Soekarno menegaskan, “Kita mendirikan satu negara kebangsaan
Indonesia” di atas dasar kebangsaan, tetapi disadari pula bahaya nasionalisme.
... Bahayanya ialah
mungkin orang meruncingkan nasionalisme menjadi chauvinisme, sehingga berfaham
“Indonesia uber Alles”.
Bung Karno lantas
mengingatkan, “Tuan-tuan, jangan berkata, bahwa bangsa Indonesialah yang
terbagus dan termulia, serta meremehkan bangsa lain. Kita harus menuju
persatuan dunia, persaudaraan dunia... menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa.”
Mengenai sila kedua
internasionalisme, Soekarno pun mengingatkan, “Tetapi jikalau saya katakan
internasionalisme, bukanlah saya bermaksud kosmopolitanisme, yang tidak mau adanya
kebangsaan, yang mengatakan tidak ada Indonesia, tidak ada Nippon, tidak ada
Birma, tidak ada Inggris, tidak ada Amerika, dan lain-lainnya.
Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam buminya
nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam
taman-sarinya internasionalisme.”
Tentang sila “mufakat”
atau “kerakyatan”, Soekarno menyatakan, “Negara Indonesia bukan satu negara
untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya.
Tetapi kita mendirikan negara, semua buat semua”, “satu buat semua, semua buat
satu”. Saya yakin syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah
permusyawaratan perwakilan.”
Menurut Bung Karno,
“Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi barat, tetapi
permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek-economische democratie yang
mampu mendatangkan kesejahteraan sosial.”
Demikian halnya tentang
sila “kesejahteraan”, prinsipnya: “tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia
Merdeka.”
Soekarno bertanya
retorik, “Apakah kita mau Indonesia Merdeka, yang kaum kapitalnya merajalela,
ataukah yang semua rakyat sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian,
hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi
sandang-pangan kepadanya? Mana yang kita pilih, saudara-saudara?
Jangan saudara kira,
bahwa kalau Badan Perwakilan Rakyat sudah ada, kita dengan sendirinya sudah mencapai
kesejahteraan ini. Kita sudah lihat, di negara-negara Eropah adalah Badan
Perwakilan, adalah parlementaire democracy. Tetapi tidakkah di Eropah justru
kaum kapitalis merajalela?”
Mengenai sila Ketuhanan,
Soekarno dengan tegas menyatakan: “Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertakwa kepada
Tuhan yang Maha Esa. Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan,
tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri....Dan
hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang bertuhan!”.
Pemikiran Soekarno
tentang Pancasila itu sangatlah moderat. Karenanya Pancasila maupun Negara
Republik Indonesia jangan ditarik “ke kanan” dan “ke kiri”, tetapi letakkanlah
di posisi tengah agar tetap menjadi rujukan bersama kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Pada posisi moderat
itulah, Pancasila tidak boleh ditafsirkan dan diimplementasikan dengan
pandangan-pandangan “radikal-ekstrem” apapun, karena akan bertentangan dengan hakikat
Pancasila itu sendiri.
Pikiran-pikiran nasionalisme yang radikal-ekstrem (ultranasionalisme, chauvinisme), keagamaan yang radikal-ektrem (cita-cita negara agama atau teokrasi, fundamentalisme agama), multikulturalisme radikal-ekstrem (paham demokrasi, hak asasi manusia, pluralisme, dan toleransi liberal-sekular), sosialdemoktasi, dan segala ideologi radikal-elstrem lainnya seperti komunisme dan liberalisme-sekularisme, tidaklah sejalan dengan Pancasila yang berwatak-dasar moderat. (bersambung)
------
Masalah-masalah Kebangsaan pada HUT ke-76 Republik Indonesia
Artikel Bagian 3-habis:
Kepentingan Pragmatis Jangka Pendek di Balik Gagasan Amandemen UUD 1945