------
PEDOMAN KARYA
Selasa, 30 November 2021
Kisah Nabi Muhammad SAW
(48):
Abu Dzar Menemui
Rasulullah dan Langsung Masuk Islam
Penulis: Abdul Hasan Ali
Al-Hasani An-Nadwi
Ketegaran Tiada Banding
Suatu ketika, di tengah
jalan, Rasulullah berpapasan dengan Umayyah bin Khalaf. Umayyah bin Khalaf
adalah seorang pemuda berperangai buruk. Ia suka bermusuhan dan tidak punya
rasa takut kepada siapa pun.
Sekali pun Umar bin
Khatthab dan Hamzah bin Abdul Muthalib telah bergabung dengan pasukan kaum
Muslimin, Umayyah menganggap enteng-enteng saja. Dia bahkan telah sesumbar akan
membunuh Rasulullah dengan tangannya sendiri.
Oleh karena itu, ketika
berpapasan dengan Rasulullah, Umayyah langsung menggertak sambil menunjuk kuda
yang dituntunnya, “Aku beri makan kuda ini, tidak lain adalah untuk
membunuhmu!”
Rasulullah menatap
Umayyah dengan tajam sambil membalas cepat, “Tidak, justru akulah yang akan
membunuhmu dengan izin Allah.”
Kini Rasulullah tidak
segan lagi menjawab setiap ejekan dan ancaman orang-orang Quraisy. Beliau
semakin gencar dan tekun berdakwah tanpa memperdulikan risikonya lagi.
Keberanian Rasulullah ini meruntuhkan wibawa musuh-musuh beliau yang selama ini
selalu membangga-banggakan diri.
Masyarakat kecil perlahan
mulai terpengaruh dengan keberanian Rasulullah ini. Mereka merasa, jika
bergabung dengan kaum Muslimin, mereka tidak akan diejek dan disakiti
semena-mena lagi. Kekukuhan hati Rasulullah dalam menghadapi bahaya merambah ke
hati orang-orang yang tertindas.
Suatu hari, seorang pria
asing menjerit, “Wahai orang-orang Quraisy! Adakah orang yang bersedia menolong
diriku? Hakku dirampas oleh Amr bin Hisyam (Abu Jahal)! Aku adalah pendatang
dan telah dilakukan sewenang-wenang!”
Siapa orang Quraisy yang
berani menantang keganasan Abu Jahal untuk menolong laki-laki malang ini?
Keberanian Rasulullah
Memang tidak ada yang
berani! Tidak seorang pun! Namun, mereka menyarankan kepada laki-laki asing
itu, “Carilah Muhammad dan minta tolong kepadanya.”
Walau menyarankan begitu,
hampir semua orang yakin, Rasulullah akan mampu melakukannya. Semua tahu bahwa
Abu Jahal adalah musuh Rasulullah yang paling jahat dan beringas.
“Ada apa, Saudara? Apa
yang bisa kubantu?” demikian sapa Rasulullah ketika orang asing itu datang.
“Tuan! Aku adalah orang
asing di sini. Amr bin Hisyam tidak mau membayar unta yang dibeli dariku!”
ungkap orang asing itu.
Rasulullah mengajak
lelaki itu ke rumah Abu Jahal. Melihat mereka, orang-orang tertawa gaduh.
Mereka yakin Muhammad tidak akan punya cukup keberanian untuk menghadapi Abu
Jahal.
Muhammad pasti akan
mengecewakan laki-laki asing itu. Mereka bersiap-siap melontarkan ejekan paling
menyakitkan untuk meruntuhkan wibawa Rasulullah di hadapan para pengikutnya.
Ketika Rasulullah dan
orang asing itu tiba di rumah Abu Jahal, ia sedang berada di tengah-tengah
budak dan para penunggang kudanya. Tiba-tiba pintu diketuk dengan keras. Wajah
Abu Jahal memerah menahan marah,
“Siapa yang berani
mengetuk pintuku sekeras itu? Tidak tahu dia kalau aku sedang bersama
bawahanku! Dengan mudah, mereka bisa kusuruh melumatkan orang itu!” kata Abu
Jahal.
Abu Jahal membuka pintu
dan terkejut melihat Rasulullah di depannya. Saat itu wajah Rasulullah tampak
sangat penuh percaya diri. Hati beliau sudah bulat untuk membela orang yang
teraniaya ini.
Abu Jahal tidak berkata
sepatah kata pun. Ia masuk ke rumah dan keluar lagi untuk membayar pembelian
unta laki-laki asing itu.
Orang asing itu sangat
berterimakasih kepada Rasulullah. Ia segera pergi dan bercerita kepada
orang-orang di sekitar Ka’bah. Mau tidak mau, keberanian Rasulullah ini
menimbulkan rasa kagum di hati mereka. Mereka yang tadi sudah siap mengejek pun
membubarkan diri dengan perasaan bercampur aduk, kesal, geram, tetapi sekaligus
hormat dan kagum.
Laki-laki dari Suku
Ghifar
Kabar tentang ajaran
Islam sudah mulai menyebar ke seluruh pelosok Jazirah Arabia. Suatu hari,
datanglah seorang laki-laki berwajah ramah dan bijaksana. Abu Thalib
melihatnya, lalu menegur, “Sepertinya Anda laki-laki asing?”
“Betul, namaku Abu Dzar
dari suku Ghifar,” jawab laki-laki itu.
Sebelum datang sendiri,
Abu Dzar mengutus seorang saudaranya untuk mencari tahu tentang Rasulullah.
Sesudah melihat apa yang dilakukan Rasulullah, saudara Abu Dzar melaporkan,
“Demi Allah, aku telah melihat orang menyuruh kepada kebaikan dan mencegah dari
keburukan.”
Karena belum puas dengan
berita itu, Abu Dzar pun datang ke Mekah. Ali bin Abu Thalib mengajak Abu Dzar
bermalam di rumahnya. Esok harinya, Ali bertanya kepada Abu Dzar,
“Jika Anda tidak
berkeberatan bercerita, apa yang mendorong Anda datang ke negeri ini?” tanya
Ali.
“Kalau Anda berjanji
untuk merahasiakannya, aku akan menceritakannya,” jawab Abu Dzar.
Ali mengangguk. Kemudian,
Abu Dzar berkata, “Di kampungku, kami mendengar tentang seseorang yang bernama
Muhammad. Orang mengatakan bahwa ia membawa ajaran baru. Aku ingin menemuinya.
Namun, aku tahu pemerintah Quraisy akan menindak setiap orang asing yang
sengaja menemuinya.”
“Ikuti saya,” bisik Ali
bin Abu Thalib, “masuklah ke tempat saya masuk. Jika saya melihat orang yang
saya khawatirkan akan mengganggu keselamatan Tuan, saya akan merapat ke tembok
dan Tuan silahkan berjalan terus.”
Malam itu juga, Abu Dzar
bertemu Rasulullah.
“Hatiku sangat pedih
melihat orang-orang kaya yang congkak, budak-budak yang sengsara, kaum
perempuan yang tertindas, kaum miskin yang tidak mampu berbuat apa-apa. Apa
yang Islam tawarkan untuk mengatasi semua ini?” tanya Abu Dzar.
Rasulullah menjawab semua
pertanyaan itu sampai Abu Dzar merasa sangat puas. Saat itu juga, Abu Dzar
menyatakan keimanannya dengan semangat menggelora.
Ketika Abu Dzar
berpamitan, Rasulullah berpesan, “Wahai Abu Dzar, kembalilah ke masyarakatmu.
Kabarkanlah kepada mereka ajaran Islam, dan rahasiakanlah pertemuan kita ini
dari penduduk Mekah karena aku khawatir mereka akan mengganggu keselamatanmu.”
Bukannya mendengar saran
Rasulullah, Abu Dzar malah pergi ke Ka’bah dan berseru-seru mengajak orang
masuk Islam.
Anjuran Bersabar kepada Abu Dzar
Suatu hari, Rasulullah
bertanya kepada Abu Dzar, “Wahai Abu Dzar, bagaimana pendapatmu jika menjumpai
para pembesar yang mengambil barang upeti untuk mereka pribadi?”
Jawab Abu Dzar, “Demi
yang telah mengutus Anda dengan kebenaran, akan saya tebas mereka dengan pedang
saya!”
Sabda Rasulullah, “Maukah
kamu aku beri jalan yang lebih baik dari itu? Yaitu bersabarlah sampai kamu
menemuiku.” (bersambung)
Kisah sebelumnya:
Kisah Nabi Muhammad SAW (47):
Allah Mengutus Rayap Memusnahkan Piagam di Dinding Ka’bah
-------
Kisah berikutnya:
Kisah Nabi Muhammad SAW (49):
Abu Thalib dan Khadijah Wafat, Keluarga dan Sahabat Berupaya Menghibur Rasulullah