“Semalam Muhammad menyampaikan sebuah pesan kepadaku mengenai piagam itu. Muhammad menyampaikan kepadaku bahwa Allah telah mengutus rayap untuk memusnahkan piagam itu,” kata Abu Thalib dengan tenang.
Berbondong-bondong, mereka pergi ke Ka’bah dan menemukan kenyataan bahwa yang dikatakan Rasulullah memang benar. Rayap telah memakan isi piagam itu, kecuali sebagian kecil yang bertuliskan “Bismika allahumma (Dengan nama-Mu ya Allah).”
------
PEDOMAN KARYA
Ahad, 28 November 2021
Kisah
Nabi Muhammad SAW (47):
Allah
Mengutus Rayap Memusnahkan Piagam di Dinding Ka’bah
Penulis:
Abdul Hasan Ali Al-Hasani An-Nadwi
Hisyam
bin Amr
Hisyam bin Amr berjalan
bolak-balik di depan rumahnya sambil menggerutu, “Tiga tahun sudah Bani Hasyim
diasingkan! Padahal, mereka masih bersaudara dengan suku-suku Quraisy yang
lain. Ada yang sebagai sepupu, ipar, paman, bibi. Kalau saja tidak ada aku dan
beberapa orang lain yang suka menyelundupkan makanan dengan diam-diam, Bani
Hasyim tentu sudah kelaparan! Sudah saatnya aku harus berbuat sesuatu!”
Dengan tekad demikian,
Hisyam bin Amr pergi menemui sahabatnya, Zuhair bin Umayyah. Zuhair adalah
anggota Bani Makhzum, tapi bibinya adalah Atikah binti Abdul Muthalib dari Bani
Hasyim.
“Zuhair,” tegur Hisyam, “Aku
heran engkau masih bisa tenang menikmati makanan, pakaian, dan lainnya, padahal
engkau tahu keluarga ibumu dikurung sedemikian rupa hingga tidak boleh
berhubungan dengan orang lain, tidak boleh berjual beli, tidak boleh saling
menikahkan! Aku bersumpah kalau mereka itu keluargaku dari pihak ibuku,
keluarga Abdul Hakam bin Hisyam, lalu diajak untuk mengasingkan mereka, tentu
aku tolak mentah-mentah!”
Zuhair terperangah
mendengar ucapan Hisyam.
“Sebetulnya sudah lama
sekali persoalan ini meresahkan hatiku,” kata Zuhair kemudian.
“Jadi apa lagi yang
engkau tunggu?” tanya Hisyam.
Keduanya pun sepakat
untuk bersama-sama membatalkan piagam kejam itu. Namun, itu tidak cukup. Mereka
harus mendapat dukungan juga dari yang lain.
Kemudian, secara rahasia
malam itu juga mereka menemui Mut’im bin Adi dari Bani Naufal, Abu Al Bakhtary
bin Hisyam, dan Zam'a bin Aswad dari Bani Asad. Kelima orang itu membulatkan
tekad untuk membatalkan piagam yang telah tiga tahun dipasang di dinding Ka’bah.
Merobek
Piagam
Esok harinya, Zuhair
mengelingi Ka’bah tujuh kali seraya berseru, “Hai penduduk Mekah! Kamu sekalian
enak-enak makan dan berpakaian, padahal Bani Hasyim binasa, tidak bisa membeli
atau menjual sesuatu pun! Demi Allah, saya tidak akan duduk sebelum piagam yang
kejam ini dirobek!”
Ketika itu, Abu Jahal
berada tidak jauh dari tempat Zuhair, dengan cepat, datang menghampiri sambil
berteriak, “Engkau pendusta! Demi Allah, piagam itu tidak boleh dirobek!”
“Jika Zuhair engkau sebut
pendusta, engkau jauh lebih pendusta!” balas Zam’a bin Aswad, “Sebenarnya dulu
pun saat piagam itu ditulis, kami tidak rela!”
“Zam’a benar!” dukung Abu
Al Bakhtary, ‘Dulu kami tidak rela terhadap penulisan piagam itu dan kami pun
tidak ikut menetapkannya!”
“Zam’a dan Abu Al
Bakhtary benar!” sahut Mut’im bin Adi, “Dan siapa yang berkata selain itu dialah
sang pendusta. Kami menyatakan kepada Allah untuk membebaskan diri dari piagam
itu dan apa yang tertulis di dalamnya!”
Mata Abu Jahal
berkilat-kilat dan bahunya gemetar menahan marah.
“Kalian pasti sudah
bersekongkol tadi malam!” tuduh Abu Jahal.
“Kalian diam-diam
berkumpul di tempat tersembunyi dan memutuskan untuk mengingkari piagam bersama
ini!” lanjutnya.
Perang mulut hampir
memuncak ketika Abu Thalib yang ketika dari tadi diam di pojok, berjalan
mendatangi mereka. Sikapnya yang tenang membuat orang-orang yang sedang
bertengkar terdiam.
Mereka memandang Abu
Thalib dan menanti yang akan dikatakan pemimpin Bani Hasyim itu.
“Semalam Muhammad
menyampaikan sebuah pesan kepadaku mengenai piagam itu,” kata Abu Thalib.
Rayap
yang Diutus Allah
“Muhammad menyampaikan
kepadaku bahwa Allah telah mengutus rayap untuk memusnahkan piagam itu,” lanjut
Abu Thalib dengan tenang.
Orang-orang itu saling
pandang dengan rasa heran bercampur takjub. Benarkah kabar ini?
Abu Thalib cepat berkata
lagi, “Jika kemenakanku itu berbohong, kita biarkan apa yang ada di antara
kalian dan dia. Biarlah kami menanggung pengasingan selamanya. Namun jika
Muhammad benar, kalian harus berhenti memboikot dan berbuat semena-mena
terhadap kami.”
Tampak sekali Abu Thalib
sangat yakin dengan perkataannya sehingga bersedia menanggung boikot sampai
mati jika perkataan Rasulullah tidak benar.
Semua orang terdiam.
Mereka terharu sekaligus mengagumi rasa saling percaya dan kesetiaan yang
demikian tinggi antara Abu Thalib dan Rasulullah.
“Baiklah, engkau adil,”
kata mereka, “Kami terima perkataanmu tadi, Abu Thalib.”
Berbondong-bondong, mereka
pergi ke Ka’bah dan menemukan kenyataan bahwa yang dikatakan Rasulullah memang
benar. Rayap telah memakan isi piagam itu, kecuali sebagian kecil yang
bertuliskan “Bismika allahumma (Dengan nama-Mu ya Allah).”
Demikianlah, akhirnya
piagam itu dibatalkan. Rasulullah dan keluarganya kini bisa kembali berada di
tengah-tengah masyarakat seperti semula.
Apakah kini Rasulullah
dan para pengikutnya bisa bernafas lebih lega? Apalagi adanya kekuasaan Allah
melalui rayap, mungkinkah hati orang-orang musyrik berubah? Ternyata sama
sekali tidak! Justru kekufuran mereka semakin menjadi-jadi. Mereka itu seperti
yang tercantum dalam firman Allah:
وَإِنْ يَرَوْا آيَةً يُعْرِضُوا
وَيَقُولُوا سِحْرٌ مُسْتَمِرٌّ
Dan jika mereka
(orang-orang musyrikin) melihat suatu tanda (mukjizat), mereka berpaling dan
berkata: (Ini adalah) sihir yang terus menerus. (Surah Al-Qamar 54: 2)
Bulan-bulan
Suci
Ada empat bulan suci
dalam setahun ketika Rasulullah dan kaum Muslimin dibebaskan dari pemboikotan.
Bulan-bulan suci itu adalah bulan pertama, Muharram (saat diharamkannya
kekerasan), lalu bulan ketujuh, Rajab (yang dihormati), kemudian bulan
kesebelas, Dzulqa’dah (bulan damai), terakhir bulan kedua belas Dzuhijjah
(bulan haji).
Tetap
Berdakwah
Bulan-bulan suci (Muharram, Rajab, Dzulqa'dah, Dzulhijjah) itulah dimanfaatkan Rasulullah untuk semakin giat berdakwah selama pemboikotan. (bersambung)
Kisah sebelumnya:
Abdullah bin Ummi Maktum Penasaran dengan Ajaran Islam
Abu Jahal Diam-diam Mendengarkan Rasulullah Melantunkan Ayat-ayat Al-Qur’an