--------
PEDOMAN KARYA
Selasa, 02 November 2021
Kisah
Nabi Muhammad SAW (31):
Mengapa
Tidak Minta Mukjizat kepada Berhala
Penulis:
Abdul Hasan Ali Al-Hasani An-Nadwi
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ
وَ عَلَى آلِ مُحَمد
Minta
Mukjizat
Bersungguh-sungguh atau
hanya sekedar mengejek, orang-orang Quraisy sering meminta mukjizat kepada
Rasulullah.
“Kalau Tuhanmu bisa
menurunkan mukjizat, kami pasti akan beriman kepadamu!” demikian seru salah
seorang dari mereka kepada Rasulullah.
“Muhammad! Kalau engkau
benar benar Rasulullah, mintalah Tuhan agar menyulap Bukit Shafa dan Marwa
menjadi bukit-bukit emas!” seru yang lain.
“Ya, itu benar! Tetapi
kalau Tuhanmu tidak sanggup membuat bukit emas, cobalah turunkan ayat-ayat
Allah itu dalam sebuah kitab yang diturunkan langsung dari langit! Itu pun
sudah akan membuat kami beriman!” timpal yang lain.
Rasulullah tidak
menanggapi permintaan-permintaan aneh itu. Melihat Rasulullah yang tetap diam
dan tenang, orang-orang Quraisy jadi semakin kesal. Dari waktu ke waktu, sering
di muka umum dan disaksikan orang banyak, mereka mengajukan
permintaan-permintaan lain yang lebih mustahil.
“Muhammad, kami dengar
engkau sering membicarakan Jibril. Mengapa engkau tidak menampakkan Jibril di
hadapan kami agar kami yakin?” kata mereka.
“Muhammad, kalau Tuhanmu
memang sehebat yang engkau katakan, mintalah Ia menghidupkan orangtua-orangtua
kami yang sudah mati!” ujar yang lainnya.
“Muhammad, katamu engkau
membawa agama kasih sayang buat seluruh alam! Kalau begitu, mintalah Tuhanmu
agar memunculkan mata air yang lebih sedap dari sumur Zamzam! Bukankah engkau
tahu bahwa penduduk Mekah sangat memerlukan air?” kata yang lain lagi.
“Ya, setidaknya mintalah
Tuhanmu melenyapkan bukit-bukit yang mengurung Mekah agar kota ini dapat mudah
dicapai orang dari arah mana pun!” seru mereka.
Jawaban
untuk Kaum Quraisy
Allah sendirilah yang
menjawab permintaan-permintaan itu melalui firman-Nya:
قُلْ لَا أَمْلِكُ لِنَفْسِي
نَفْعًا وَلَا ضَرًّا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ ۚ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ
لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ ۚ إِنْ أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ
وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Katakanlah: Aku tidak
berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan
kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib,
tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa
kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita
gembira bagi orang-orang yang beriman. (Surah Al-A’raf, 7:188)
Melalui ayat ini, Allah menyuruh
Rasulullah mengatakan, “Wahai orang Quraisy, aku hanyalah seorang pemberi
peringatan. Bukankah aku tidak meminta kepadamu hal-hal di luar kemampuan akal?
Mengapa kamu justru memintaku menunjukkan hal-hal yang tidak masuk akal?”
“Wahai orang Quraisy,
bukankah Al-Qur’an itu sendiri merupakan sebuah mukjizat? Kemudian, mengapa
kamu masih meminta mukjizat yang lain? Apakah jika mukjizat itu benar-benar
diturunkan, kamu akan beriman kepadaku? Bukankah jika mukjizat itu turun, kamu
akan mengatakan bahwa aku hanyalah seorang penyihir yang mengada-ada?” lanjut
Rasulullah.
“Wahai orang Quraisy,
kalau kamu tidak mau menyembah Allah dan tetap menyembah berhala, mengapa tidak
kamu minta saja mukjizat-mukjizat tadi kepada para berhala itu? Bukankah kamu
tahu bahwa berhala-berhala itu tidak dapat mendatangkan kebajikan? Bukankah
mereka tidak bergerak, tidak hidup, dan hanya terbuat dari batu dan kayu?
Bukankah mereka tidak dapat membela diri jika ada orang yang datang dan
menghancurkannya?” tanya Rasulullah.
Demikianlah, Rasulullah
menjawab dengan kata-kata yang tidak dapat lagi dibantah kebenarannya. Namun,
apakah orang-orang kafir itu seketika mau menerima Islam? Tidak, mereka bahkan
melakukan hal-hal lain untuk menyingkirkan Rasulullah.
Ammarah
bin Walid
Sekali pun tidak memeluk
Islam, Abu Thalib adalah pelindung Rasulullah. Jika ada orang yang membahayakan
Rasulullah, Abu Thalib dan kabilahnya siap membelanya sampai titik darah
penghabisan.
Tidak ada musuh
Rasulullah yang berani membunuh beliau tanpa menghadapi Abu Thalib dan
kabilahnya. Karena mengetahui kokohnya perlindungan Abu Thalib ini, para pemuka
Quraisy mendatangi orangtua itu di rumahnya.
“Abu Thalib,” demikian
mereka mengajak bicara, “keponakanmu itu sudah memaki berhala-berhala kita,
mencaci agama kita, dan menganggap sesat nenek moyang kita. Engkau harus
menghentikan dia sekarang. Jika tidak, biarlah kami yang akan menghadapinya.
Kalau kamu melindunginya juga, biar kabilah-kabilah kami yang akan menghadapi
kabilahmu,” kata mereka.
Abu Thalib menghela napas
berat, “Demi Tuhan Ka’bah, biar seluruh Mekah menghalangi jalanku, aku akan tetap
melindungi kemenakanku itu.”
Para pemimpin Quraisy itu
saling berpandangan, lalu pergi tanpa berkata apa-apa. Bagaimanapun, mereka
belum sanggup menghadapi perang saudara yang akan menghancurkan kota Mekah.
Mereka memutar akal dan menemukan muslihat lain.
Para pemimpin Quraisy itu
kembali mendatangi Abu Thalib sambil membawa serta Ammarah bin Walid. Ia adalah
pemuda Quraisy yang gagah perkasa dan paling tampan wajahnya.
“Ambillah dia! Jadikan
dia sebagai anak. Ia jadi milikmu. Namun, serahkanlah keponakanmu yang
menyalahi agama kita dan agama nenek moyang kita, yang memecah belah persatuan
kita itu untuk kami bunuh!” tawar mereka.
“Bagaimana, Abu Thalib? Bukankah
ini pertukaran yang adil? Seorang laki-laki ditukar pula dengan seorang
laki-laki!” kata yang lain.
Wajah Abu Thalib berubah
murka. Dengan mata menyala, ditatapinya para bangsawan itu satu demi satu.
“Betapa buruknya tawaran
kalian kepadaku ini!” geram Abu Thalib.
“Bayangkan, kalian
memberikan anakmu kepadaku untuk aku beri makan, sedangkan aku harus
menyerahkan anakku untuk kalian bunuh! Demi Tuhan Ka’bah, ini adalah hal yang
tidak boleh terjadi buat selamanya!” tegas Abu Thalib.
Abu Thalib adalah pemimpin kabilah Bani Hasyim. Kini Bani Hasyim terpecah dua. Kaum miskinnya membela Abu Thalib, sedang kaum kayanya membela Abu Lahab. (bersambung)
Kisah sebelumnya: