-----
PEDOMAN KARYA
Rabu, 01 Desember 2021
Kisah
Nabi Muhammad SAW (49):
Abu
Thalib dan Khadijah Wafat, Keluarga dan Sahabat Berupaya Menghibur Rasulullah
Penulis:
Abdul Hasan Ali Al-Hasani An-Nadwi
Abu
Thalib Sakit Keras
Beberapa bulan setelah
piagam dihapus, Rasulullah kembali mengalami ujian besar. Kali ini bukan
penyiksaan dari pihak lawan, melainkan berupa kehilangan orang yang beliau
cintai.
Karena sudah lanjut usia
dan menderita kehidupan berat di pengasingan selama tiga tahun, Abu Thalib
jatuh sakit. Saat itu, usianya sudah delapan puluh tahun. Mengetahui Abu Thalib
sakit keras, orang-orang Quraisy khawatir akan terjadi perang antara kaum
Quraisy dan Rasulullah beserta para pengikutnya. Apalagi di pihak Rasulullah
ada Hamzah dan Umar yang terkenal garang dan keras. Selama ini, Abu Thalib
selalu bisa menjadi penengah kedua belah pihak.
Para pemuka Quraisy
menemui Abu Thalib di pembaringan dan berkata, “Abu Thalib, engkau adalah
keluarga kami juga. Sekarang ini, keadaan antara kami dan kemenakanmu sudah
sangat mencemaskan kami. Panggilah dia. Kami dan dia akan saling memberi dan
menerima. Biarlah dia dengan agamanya dan kami dengan agama kami pula.”
Rasulullah Kemudian
datang. Mengetahui maksud kedatangan mereka, Rasulullah bersabda, “Sepatah kata
saja saya minta yang akan membuat mereka merajai semua orang Arab dan bukan
Arab.”
“Katakanlah, demi ayahmu,”
kata Abu Jahal, “sepuluh kata sekali pun silakan!”
Rasulullah bersabda, “Katakan,
tidak ada ada Tuhan selain Allah dan tinggalkan segala penyembahan selain
Allah.”
“Muhammad,” seru mereka, “maksudmu
tuhan-tuhan itu dijadikan satu saja?”
Para Pembesar Quraisy
Saling pandang dengan kecewa menghadapi keteguhan Rasulullah.
“Pulanglah,” kata mereka
satu sama lain, “orang ini tidak akan memberikan apa-apa seperti yang kamu
kehendaki. Pergilah Kalian!”
Abu
Thalib Wafat
Rasulullah duduk di sisi
pembaringan pamannya. Dengan sedih, ditatapnya wajah bijaksana orang tua itu.
Hati Rasulullah dipenuhi rasa duka, tidak hanya karena melihat sakit sebelum
maut yang diderita Abu Thalib, tetapi juga karena sampai saat itu, pamannya
belum juga membuka hatinya kepada Islam.
Rasulullah menggenggam
tangan pamannya dengan lembut. Inilah Abu Thalib yang dulu mengajaknya
berdagang ke Syam karena tidak tega berpisah dengannya. Inilah pamannya yang
dulu merawatnya penuh kasih sayang, bahkan mencintainya melebihi kecintaan
kepada anak-anaknya sendiri.
Inilah Abu Thalib yang
membuka jalan pertemuannya dengan Khadijah dan mendorongnya menjadi pemimpin
kafilah dagang Khadijah. Inilah Abu Thalib yang selalu menjadi pelindungnya
sejak dirinya menjadi yatim sampai menjadi utusan Allah.
Abu Thalib membuka
matanya yang sayu dan memandang Rasulullah, “Demi Allah, wahai anak saudaraku,
aku tidak melihatmu menawarkan sesuatu yang berat kepada para pemuka kaummu.”
Sejenak timbul harapan
Rasulullah akan keislaman pamannya itu, “Wahai pamanku, ucapkanlah satu kalimat
maka dengan kalimat tersebut engkau berhak mendapat syafaatku pada Hari Kiamat.”
Akan tetapi, Abu Thalib
tetap enggan menerima ajakan tersebut. Kemudian wafatlah ia. Kini, hilang sudah
seorang pelindung Rasulullah. Mulai saat ini, Rasulullah harus menghadapi
semuanya sendiri.
Kata-Kata
Terakhir Abu Thalib
Ketika Rasulullah
mengajak Abu Thalib mengucapkan syahadat pada saat-saat terakhirnya, Abu Thalib
berkata, “Kalau saja aku tidak khawatir nasib keluargaku akan dianiaya setelah
kepergianku dan kaum Quraisy bakal mengatakan, bahwa aku berucap karena gentar
menghadapi sakaratul maut, aku tentu mengucapkannya. Kalau pun kuucapkan, itu sekadar
menyenangkan hatimu.”
Khadijah
Wafat
Seusai penguburan Abu
Thalib, Rasulullah kembali ke rumah dan menemukan Khadijah jatuh sakit.
Rasulullah menggenggam tangan Khadijah yang kini terasa panas. Dari hari ke
hari, wajah Khadijah semakin pucat dan gemetar, Rasulullah amat terharu.
Pada saat-saat seperti
ini, istrinya itu tetap berusaha menguatkan hatinya. Seolah-olah Khadijah tahu
bahwa perjuangan suaminya masih sangat panjang dan berliku, sedangkan
perjuangannya sendiri sudah mencapai titik akhir.
Akhirnya saat perpisahan
sepasang suami istri yang mulia itu pun tiba. Hanya beberapa hari setelah Abu
Thalib meninggal, Khadijah pun wafat dengan tenang.
Dalam beberapa hari saja,
Rasulullah kehilangan dua orang yang sangat berarti dalam hidupnya, paman yang
mengasuh dan melindunginya serta istri yang setia mendampingi dalam menempuh
semua suka dan duka, terutama setelah beliau diangkat menjadi Rasul selama
sepuluh tahun terakhir kehidupan mereka. Masa-masa duka ini dikenal dengan nama
'Amul Huzni (tahun kesedihan).
Saat itu, seolah-olah
semua kegembiraan di hati Rasulullah pudar. Indahnya kehidupan seolah-olah ikut
terkubur bersama jasad dua orang kesayangan itu. Rasulullah tertunduk di
samping pusara Khadijah. Air mata beliau mengalir tanpa tertahan.
Beliau ingat, betapa
besar penderitaan pamannya dan kesengsaraan yang dipikul istrinya saat mereka
bertindak melindungi beliau. Rasanya, hidup Khadijah lebih banyak dilalui
dengan menanggung begitu berat beban perjuangan dibanding menikmati manisnya
kehidupan.
Keluarga dan sahabat merasakan betul kesedihan Rasulullah. Sekuat tenaga, mereka berupaya menghibur Rasulullah. Inilah saat-saat ketika para pengikut, yang biasanya dihibur dan dikuatkan hatinya oleh Rasulullah, berganti menghibur dan menguatkan hati Rasulullah. Sungguh pada saat yang mengharukan, tetap ada keindahan yang tampak dalam persaudaraan mereka. (bersambung)
Kisah sebelumnya: