-----
PEDOMAN KARYA
Jumat, 24 Desember 2021
KALAM
Menegur
dan Menasehati Tidak Harus dengan Kata-kata
Oleh:
Asnawin Aminuddin
(Wakil Ketua Majelis
Pustaka dan Informasi Muhammadiyah Sulsel)
Kita semua pernah berbuat
dosa. Kita semua pernah melakukan kesalahan. Kalau kita menyadari perbuatan
dosa kita, kalau kita menyadari kesalahan kita, maka yang harus kita lakukan
adalah segera bertobat.
Rasulullah bersabda,
“Setiap anak Adam pasti berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan
adalah yang bertobat.”
Bagaimana kalau kesalahan
atau dosa itu dilakukan oleh orang lain? Bagaimana cara menegur atau
mengingatkannya?
Dari Abu Sa’id Al-Khudri
radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa dari kalian melihat kemungkaran, ubahlah
dengan tangannya. Jika tidak mampu, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak mampu,
ingkarilah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya iman.” (HR.
Muslim, No. 49)
Bagaimana kalau kesalahan
yang dilakukan saudara kita, bukan kita yang melihatnya secara langsung, tapi
disampaikan oleh orang lain?
Dalam Surah Al-Hujurat,
surah ke-49, ayat ke-6, Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman! Jika
seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah
kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan
(kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.”
Kalau kita menerima
informasi mengenai keburukan orang lain, kalau kita menerima informasi mengenai
kesalahan yang dilakukan orang lain, maka jangan langsung percaya, telitilah
terlebih dahulu kebenarannya, konfirmasilah kepada yang bersangkutan.
Karena tidak semua orang
yang memberi atau membawa berita itu adalah orang baik. Boleh jadi mereka
adalah orang-orang fasik, orang-orang munafik, atau orang yang selama ini
memang dikenal suka berbohong atau selalu berpikiran negatif.
Jangan
Paksakan Diterima
Kalau kita ingin
menasehati, jangan paksakan agar nasehat kita diterima. Rasulullah pun tidak
bisa memaksakan nasehatnya untuk diterima. Rasulullah sangat dekat dengan pamannya,
Abu Thalib. Abu Thalib-lah yang memelihara dan membesarkan Rasulullah hingga
Rasulullah menikah dengan Sitti Khadijah.
Abu Thalib bahkan masih
hidup hingga Muhammad diangkat menjadi Nabi pada usia 40 tahun, dan juga
pembela utama Rasulullah dalam tahun-tahun awal perjuangannya menyebarkan agama
Islam.
Tapi Abu Thalib sendiri
tetap dengan agamanya sebagai penyembah berhala. Rasulullah terus menerus
meminta dan menasehati pamannya, Abu Thalib, agar meninggalkan agamanya sebagai
penyembah berhala dan memintanya masuk Islam dengan mengucapkan dua kalimat
syahadat, namun hingga akhir hayatnya, Abu Thalib tetap tidak pernah
bersyahadat.
Cari
Waktu Yang Tepat
Kalau kita ingin
menasehati saudara kita, maka cari waktu
dan suasana yang tepat untuk memberi nasehat atau menegur, jangan menegur
di depan orang banyak, karena bisa mempermalukan orang dan bisa juga membuat
orang jadi marah. Sangat dianjurkan agar memberi nasehat secara rahasia, berdua
saja, jangan ada orang lain yang mendengarkan.
Berbicara
dengan Lemah Lembut
Fir’aun mengaku dirinya
Tuhan. Tentu sudah sangat keterlaluan, tapi Allah SWT memerintahkan Nabi Musa
dan Nabi Harun menemui dan menegur Fir’aun, tetapi Allah SWT mengingatkan agar
mereka berdua berbicara dengan lemah lembut.
“Pergilah kamu berdua
kepada Fir'aun, karena dia benar-benar telah melampaui batas, maka berbicaralah
kamu berdua kepadanya (Fir'aun) dengan kata-kata yang lemah lembut,
mudah-mudahan dia sadar atau takut.” (QS 20, Surah Taha, ayat 43-44)
Jadi terhadap orang yang
telah melampaui batas pun, Allah SWT memerintahkan kita mengingatkan, menegur
dengan lemah lembut.
Teguran
Hasan dan Husein
Hasan dan Husein
mencontohkan etika menegur yang baik. Dua cucu Rasulullah SAW ini mendapati
seseorang tidak berwudhu dengan baik. Keduanya lalu menghampiri orang itu.
“Pak, saudaraku ini
mengaku wudhunya lebih baik daripada wudhuku, padahal aku merasa wudhuku sudah
seperti yang dilakukan Rasulullah SAW. Sekarang, tolong beri penilaian mana
yang paling baik, wudhuku atau wudhunya?” kata Hasan.
Keduanya lalu sama-sama
berwudhu seperti wudhu yang biasa dilakukan Nabi SAW. Selesai berwudhu,
keduanya menanyakan ihwal wudhunya kepada lelaki itu.
Merasa salah dalam berwudhu,
lelaki itu pun berkata, “Demi Allah, saya sudah tidak berwudhu seperti yang
dilakukan Anda berdua.”
Teguran
Umar kepada Amr bin ‘Ash
Suatu ketika di Madinah, Khalifah
Umar bin Khattab tengah duduk bersantai dan datang seorang kakek Yahudi. Ia
berasal dari Mesir menghadap Umar guna mengadukan persoalan kehidupannya.
Ia lalu bercerita bahwa Gubernur
Mesir, Amr bin ‘Ash,telah menggusur paksa rumahnya dan di bekas tanah rumahnya
itu dibangun sebuah masjid yang mewah. Masjid itu dibangun di samping istana
Amr yang megah.
Kakek Yahudi itu tak mau
rumahnya digusur, meski Amr memberikan penawaran harga yang besar. Si kakek menolak
rencana Amr mentah-mentah, tapi Amr tetap menggusur rumahnya dan membangun
masjid.
Kepada Umar, dia pun
berkisah bahwa rumahnya dibangun dari hartanya sendiri dan begitu banyak
kenangan hidupnya bersama gubuk tua itu.
Mendengar pengaduan
tersebut, wajah Umar memerah menahan marah. Dia pun meminta kakek Yahudi itu
untuk mengambil tulang belikat unta dari tempat sampah. Umar kemudian menggores
tulang tersebut dengan huruf alif yang lurus dari atas ke bawah.
Di tengah goresan lurus,
dia membuat satu goresan melintang menggunakan ujung pedang. Tulang itu pun
diserahkan kembali kepada si kakek untuk diberikan kepada Amr.
Si kakek kebingungan
ketika diminta untuk membawa tulang itu untuk sang gubernur. Dia tak paham apa
yang hendak ditunjukkan Umar lewat sepotong tulang.
Sesampainya di Mesir,
kakek itu pun menghadap Amr bin Ash dengan tulang bergores pedang pemberian
khalifah. Melihat tulang itu, wajah sang gubernur pucat pasi.
Tanpa menunggu lama, dia
mengumpulkan rakyatnya untuk membongkar kembali masjid yang sedang dibangun dan
membangun kembali gubuk yang reot milik orang Yahudi itu.
“Bongkar masjid itu!”
teriak Amr bin Ash gemetar.
Kakek Yahudi keheranan,
dan kemudian berteriak, “Tunggu!”
Si kakek meminta Amr
untuk menjelaskan makna di balik tulang dari Umar. Gubernur lalu menjelaskan
bahwa tulang ini merupakan peringatan keras dari Khalifah. Lewat tulang, Umar
seolah hendak mengingatkan, apa pun pangkat dan kekuasaan seseorang suatu saat
akan bernasib sama seperti tulang ini yakni mati dan menjadi tulang belulang.
“Karena itu bertindak
adillah kamu seperti huruf alif yang lurus. Adil di atas dan adil di bawah.
Sebab kalau kamu tidak bertindak adil dan lurus seperti goresan tulang ini,
maka Khalifah tidak segan-segan untuk memenggal kepala saya,” jelas Gubernur
Amr bin ‘Ash.
Orang Yahudi itu tunduk.
Ia terkesan dengan keadilan dalam Islam. Ia pun kemudian mengikhlaskan tanahnya
untuk pembangunan masjid, dan mengucap syahadat. Kakek Yahudi keras kepala itu pun
lalu masuk Islam.
Kesimpulannya, pertama,
kalau kita melihat kemungkaran, kesalahan, maka berilah peringatan, kecuali
kalau memang tidak bisa karena takut.
Kedua, kalau menegur lakukanlah secara tidak langsung seperti yang dilakukan Hasan dan Husein, cucu Rasulullah, dan juga seperti yang dilakukan oleh Umar bin Khattab. Ketiga, kalau pun kita menegur dengan kata-kata, maka bicaralah dengan lemah lembut.***
------
Baca juga: