Salah satu tokoh paling berpengaruh yang ada di Madinah adalah Abdullah bin Ubay bin Salul Al-Aufi. Tokoh lainnya yaitu Abu Amir Abdu Ann Bin Shaifi bin An Nu'man. Abdullah bin Ubay bin Salul ikut masuk Islam namun tetap menyimpan kemunafikan dan dendam kesumat, sedangkan Abu Amir Bin Shaifi memilih tetap pada kekafirannya, ia pergi bersama belasan kaumnya ke Mekah dengan meninggalkan Islam dan Rasulullah ﷺ.
-----
PEDOMAN KARYA
Sabtu, 15 Januari 2022
Kisah
Nabi Muhammad SAW (75):
Abu
Amir bin Shaifi dan Abdullah bin Ubay
Penulis:
Abdul Hasan Ali Al-Hasani An-Nadwi
Merindukan
Mekah
Dapatkah kita bayangkan perasaan kaum Muhajirin yang
terusir paksa dari Mekah, tanah kelahiran mereka sendiri. Rasa rindu akan Mekah
semakin lama semakin besar. Banyak sekali hal yang membuat kaum Muhajirin
merasa demikian sebab Mekah bukan sekedar tempat lahir, melainkan juga
merupakan kota yang luar biasa.
Di Mekah terdapat Ka'bah, rumah Allah yang dibangun
oleh Nabi Ibrahim, tempat para penduduk dan bahkan seluruh orang Arab
berziarah. Kewajiban berziarah ke Ka'bah sudah begitu mendarah daging dalam
diri orang Arab, baik itu Muslim maupun bukan. Kewajiban suci itu tidak bisa
dilepaskan begitu saja, meski orang Quraisy pasti akan mencegah kedatangan
setiap Muslim.
Selain itu, di Mekah masih tertinggal keluarga yang
mereka cintai walaupun masih dalam kehidupan syirik karena menyembah berhala.
Keluarga inilah yang sudah sangat ingin mereka ajak ke dalam kehidupan Islam.
Di Mekah pula masih tertinggal harta benda dan barang perdagangan yang disita
Quraisy tatkala mereka berhijrah.
Rasa rindu kaum Muhajirin pada Mekah semakin besar
karena mereka telah keluar dari kota itu akibat tindakan keras Quraisy. Bukan
menjadi adat orang-orang Mekah untuk menyerah terhadap ketidakadilan tanpa
melakukan pembalasan.
Bahkan Rasulullah sendiri tidak kuasa melupakan Mekah.
Di Mekah sana terkubur jasad Khadijah, kekasih yang sangat beliau cintai. Tidak
ada negeri yang lebih beliau sayangi melebihi Mekah, tanah tumpah darah yang
menimbulkan begitu banyak kenangan.
Suatu hari, seorang lelaki datang berhijrah dari
Mekah. Ia menemui Rasulullah dan Aisyah.
“Bagaimana situasi Mekah saat kau tinggalkan?” tanya
Aisyah.
Laki-laki itu menggambarkan keadaan rumah-rumah,
padang-padang tandus, jalan, pasar-pasar yang hiruk pikuk, serta bunga-bunga
yang tumbuh di tepi jalan menuju perbukitan. Suaranya penuh pilu dan sedih.
Kerinduan Rasulullah begitu memuncak sehingga kedua mata beliau berkaca-kaca
penuh linangan air mata.
“Cukuplah, jangan kau bangkitkan kerinduanku,”
demikian ucap Rasulullah.
Namun, di tengah kerinduan dan beban berat mengurus
umat, Rasulullah juga dibahagiakan dengan pernikahan putri bungsunya, Fatimah
Az-Zahra.
Orang-orang
Munafik
Salah satu tokoh paling berpengaruh yang ada di
Madinah adalah Abdullah bin Ubay bin Salul Al-Aufi, salah seorang dari Bani
Al-Hubla. Sebelum dan sesudahnya, orang-orang Al-Aus dan Al-Khazraj tidak
pernah menjadikan pemimpin lain selain Abdullah bin Ubay bin Salul, sampai
akhirnya Islam datang.
Selain itu, di Al-Aus terdapat tokoh berpengaruh
lainnya yang ditaati dan dihormati kaumnya yaitu Abu Amir Abdu Ann Bin Shaifi
bin An Nu'man, beliau adalah orangtua dari sahabat Rasulullah ﷺ yang bernama
Hanzhalar Al-Ghasil. Abu Amir Bin Shaifi biasa dipanggil sebagai Pendeta oleh
kaumnya.
Adapun Abdullah bin Ubay bin Salul kaumnya telah
mempersiapkan mutiara sebagai mahkota untuk disematkan padanya dan menjadikan
dia raja mereka. Maka ketika kaumnya berpaling kepada Islam, dia menaruh dendam
permusuhan kepada Rasulullah ﷺ dan menuduh Rasul telah mengambil mahkota
kepemimpinannya.
Tatkala kaumnya masuk Islam, Abdullah bin Ubay bin
Salul ikut masuk Islam namun tetap menyimpan kemunafikan dan dendam kesumat.
Sementara Abu Amir Bin Shaifi memilih tetap pada
kekafirannya, ia pergi bersama belasan kaumnya ke Mekah dengan meninggalkan
Islam dan Rasulullah ﷺ.
Rasul bersabda “Janganlah kalian memanggil dia Rahib
(Pendeta), tetapi panggilah dia Fasiq.”
Sebelum berangkat ke Mekah Abu Amir menemui Rasulullah
dan bertanya, “Agama apa yang engkau bawa?"”
Rasulullah bersabda, “Aku datang dengan agama yang lurus
(hanifiyah). Agama Ibrahim.”
Abu Amir berkata, “Aku juga menganut agama Ibrahim.”
Rasulullah bersabda, “Engkau tidak menganut agama
Ibrahim.”
Abu Amir menjawab, “Betul, aku menganut agama Ibrahim!,
“Wahai Muhammad, engkau telah memasukkan hal-hal baru ke dalam agama yang lurus
(hanifiyah) yang bukan merupakan bagian darinya.”
Rasulullah bersabda, “Aku tidak pernah melakukan itu
semua. Aku datang dengan agama Ibrahim dalam keadaan putih suci.”
Abu Amir berkata, “Seorang pendusta akan Allah matikan
dalam keadaan terusir, terasing, dan sendirian.”
Rasulullah bersabda, “Benar! Barangsiapa berdusta,
Allah akan lakukan itu.”
Demikianlah yang dilakukan musuh Allah, Abu Amir, ia
beranjak ke Mekah.
Abdullah
bin Ubay
Abdullah Bin Ubay Bin Salul tetap terhormat pada
pandangan kaumnya. Hanya saja dia selalu ragu-ragu hingga ia dikalahkan Islam.
Dan dia masuk Islam secara terpaksa.
Suatu hari, Rasulullah ﷺ pergi menunggang keledai bersama
Usamah bin Zaid bin Haritsah, di atas keledainya ada kain pelana yang di
atasnya terdapat selimut asal Fadak yang diikat dengan serat palem.
Rasulullah berjalan melewati Abdullah Bin Ubay Bin
Salul yang sedang bernaung di bawah benteng kecil yang bernama Muzahim.
Abdullah Bin Ubay Bin Salul sedang bersama beberapa
orang dari kaumnya. Tatkala Rasulullah melihat Abdullah Bin Ubay Bin Salul,
Beliau ﷺ merasa malu melewatinya dengan mengendarai keledai, maka Rasulullah
turun dari keledainya, dan mengucapkan salam lalu duduk sejenak.
Rasulullah membacakan Al Quran kepada Abdullah Bin
Ubay Bin Salul, dan mengajaknya kepada agama Allah, mengingatkannya tentang
Allah, memberi peringatan keras, memberi kabar gembira, dan ancaman padanya.
Abdullah Bin Ubay Bin Salul diam seribu bahasa.
Setelah Rasulullah selesai berbicara, Abdullah Bin Ubay Bin Salul berkata,
“Wahai Muhammad, sesungguhnya tidak ada orang yang
lebih baik perkatannya dari perkataanmu. Apabila yang engkau katakan itu benar,
duduk sajalah di rumahmu. Siapa pun yang datang menemuimu, bicaralah engkau
kepadanya. Sedangkan orang yang tidak datang menemuimu, tidak usahlah engkau
bersusah payah datang kepadanya dan mengatakan sesuatu yang orang itu tidak
menyukainya.”
Abdullah bin Rawahah yang sedang berada bersama
beberapa dari kaum Muslimin berkata,
“Benar sekali, biarkan kami yang mengajaknya ke
majelis-majelis, kampung dan rumah-rumah kami. Demi Allah, inilah suatu hal
yang kami sukai, sesuatu yang dengannya Allah jadikan kami mulia. Dan Dia memberi
petunjuk bagi kami padanya.”
Ketika Abdullah Bin Ubay Bin Salul mendengar kaumnya
menentang pendapatnya, ia bersyair:
“Kala tuanmu menjadi musuhmu / Kau akan senantiasa
hina dan lawanmu akan menjatuhkanmu / Biasakah burung elang harus terbang tanpa
sayapnya / Jika suatu hari bulunya dicabut, ia kan jatuh.”
Rasulullah beranjak dari tempat tersebut lalu pergi ke
rumah Sa'ad Bin Ubadah. Ucapan Abdullah Bin Ubay Bin Salul masih terbersit di
wajah Rasulullah. Sa'ad Bin Ubadah berkata,
“Wahai Rasulullah, aku melihat sesuatu terbersit di
wajahmu, apakah engkau baru mendengar hal yang tidak engkau sukai?”
Rasulullah bersabda, “Betul sekali.”
Sa'ad Bin Ubadah berkata,
“Wahai Rasulullah, bersikap lemah lembutlah kepada Abdullah Bin Ubay Bin Salul. Demi Allah, ketika engkau datang kepada kami, kami telah mempersiapkan mahkota yang akan kami berikan padanya sebagai pemimpin. Ia beranggapan engkau telah merampas mahkota kepemimpinan itu darinya.” (bersambung)
------
Kisah sebelumnya:
Perintah Allah Mengalihkan Kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah
Pemuda Aus dan Khazraj di Madinah Sempat Terpengaruh Hasutan Orang Yahudi