Rasulullah tidak menempatkan dirinya sebagai seorang raja, meskipun banyak orang Anshar menginginkannnya. Seorang raja biasanya tinggal menikmati uang dan makanan. Tidak demikian dengan Rasulullah. Beliau mewajibkan bagi dirinya sendiri bekerja agar bisa makan. Beliau ikut belajar bertani, padahal saat itu usianya sudah di atas 53 tahun, apalagi seperti kebanyakan orang Mekah, bertani adalah suatu pekerjaan baru yang masih asing bagi beliau.
------
PEDOMAN KARYA
Ahad, 09 Januari 2022
Kisah
Nabi Muhammad SAW (71):
Diinginkan
Jadi Raja, Rasulullah Malah Belajar Bertani
Penulis:
Abdul Hasan Ali Al-Hasani An-Nadwi
Kesederhanaan
Rasulullah
Kesederhanaan Rasulullah dalam berpakaian sama dengan
kesederhanaan beliau dalam hal makanan. Suatu hari, ada seorang wanita
memberikan sehelai pakaian kepada beliau. Kebetulan saat itu beliau memang
memerlukan pakaian. Namun, kemudian datang seorang laki-laki yang meminta
pakaian itu. Tanpa berpikir panjang lagi, Rasulullah pun memberikan pakaian
itu.
Pakaian beliau biasanya terdiri atas sebuah baju dalam
dan baju luar yang terbuat dari wol, katun, atau sebangsa serat. Sesekali,
beliau tidak menolak pakaian agak mewah yang dibuat dari tenunan Yaman jika ada
acara yang menghendaki demikian. Alas kaki yang digunakan Rasulullah juga amat
sederhana. Tidak pernah beliau menggunakan sepatu kecuali hadiah dari Najasy.
Sungguh pun begitu, bukan berarti beliau menyiksa diri
dengan semua kesederhanaan itu. Beliau hanya mengendalikan dan menjaga diri
agar tidak berlebih-lebihan.
Allah berfirman,
وَظَلَّلْنَا عَلَيْكُمُ الْغَمَامَ وَأَنْزَلْنَا عَلَيْكُمُ
الْمَنَّ وَالسَّلْوَىٰ ۖ كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ ۖ وَمَا ظَلَمُونَا
وَلَٰكِنْ كَانُوا أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ
“Dan Kami naungi kamu dengan awan, dan Kami turunkan
kepadamu manna dan salwa. Makanlah dari makanan yang baik-baik yang telah Kami
berikan kepadamu; dan tidaklah mereka menganiaya Kami; akan tetapi merekalah
yang menganiaya diri mereka sendiri.” (Surah ke-2 / Al-Baqarah, ayat 57)
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا
تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ
وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah
kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu
dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana
Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di
(muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat
kerusakan.” (Surah ke-28 / Al-Qasas, ayat 77)
Suatu ketika, Ali bin Abi Thalib bertanya tentang
sunnah Rasulullah. Rasulullah pun menjawab,
“Makrifat (mendekatkan diri kepada Allah) adalah
modalku, akal pikiran adalah sumber agamaku, cinta adalah dasar hidupku, rindu
adalah kendaraanku, berdzikir kepada Allah adalah kawan dekatku, keteguhan
adalah perbendaharaanku, duka adalah kawanku, ilmu adalah senjataku, ketabahan
adalah pakaianku, kerelaan adalah sasaranku, fakir adalah kebanggaanku, menahan
diri adalah pekerjaanku, keyakinan adalah makananku, kejujuran adalah
perantaraku, ketaatan adalah ukuranku, berjihad adalah perangaiku, dan
hiburanku adalah shalat.”
Rantai
Emas
Suatu ketika Rasulullah melihat Fatimah Az-Zahra,
putrinya, sedang memakai rantai emas. Rasulullah bersabda, “Fatimah, gembirakah
jika orang berkata, di tangan putri Rasulullah ada seikat rantai dari api
neraka?”
Fatimah kemudian menjual rantai itu dan uangnya
digunakan untuk membebaskan seorang budak. Rasulullah pun berkata, “Segala puji
bagi Allah yang telah menyelamatkan Fatimah dari api neraka.”
Rasulullah
Belajar Bertani
Rasulullah tidak menempatkan dirinya sebagai seorang
raja, meskipun banyak orang Anshar menginginkannnya. Seorang raja biasanya
tinggal menikmati uang dan makanan. Tidak demikian dengan Rasulullah. Beliau
mewajibkan bagi dirinya sendiri bekerja agar bisa makan.
Beliau ikut belajar bertani, padahal saat itu usianya
sudah di atas 53 tahun, apalagi seperti kebanyakan orang Mekah, bertani adalah
suatu pekerjaan baru yang masih asing bagi beliau.
Rasulullah juga menganjurkan agar kaum pria
meringankan beban pekerjaan kaum wanita. Demikian pula sebaliknya, beliau juga
mempersilakan kaum wanita yang tidak sedang sibuk dengan urusan rumah tangga,
untuk turut membantu pria bekerja.
Maka, banyaklah kaum wanita yang bekerja, termasuk
mereka yang di Mekah dulu terbiasa hidup berkecukupan di balik dinding
rumahnya.
Asma binti Abu Bakar adalah contoh Muslimah yang
bekerja dengan tangannya sendiri. Ia tidak peduli meski ayahnya adalah saudagar
kaya yang sukses. Abu Bakar membawa seluruh kekayaannya saat berhijrah, tetapi
beliau infakkan semuanya untuk memberikan santunan kepada mereka yang tidak
mampu bekerja.
Rasulullah segera menghimbau sahabat-sahabatnya yang
mampu untuk mengikuti jejak Abu Bakar. Tidak pantas rasanya jika ada Muslim
berpakaian mewah, sedangkan saudaranya keluar rumah dengan bajunya
compang-camping. Malu rasanya jika ada Muslim kenyang memakan daging dan roti,
sedangkan saudara-saudaranya hanya mampu memakan kurma basah.
Kesejahteraan kaum Muslimin pun meningkat dengan
pasti. Apalagi setelah Rasulullah meminta para saudagar kaya dari Muhajirin dan
Anshar membeli tanah-tanah kosong untuk dijadikan lahan pertanian.
Maka, sejumlah besar kaum Muhajirin pun mendapat lahan
pekerjaan. Akibatnya, hasil panen meningkat dan membanjiri pasar-pasar Madinah.
Dengan cepat kaum Muhajirin sudah tidak lagi menjadi beban saudara-saudara
Anshar mereka.
Namun, ada kalangan yang tidak menyukai perubahan ini.
“Jika dibiarkan begini, orang-orang miskin itu akan meremehkan kita! Bayangkan, Muhammad mengajarkan bahwa dalam tiap harta orang kaya ada hak orang miskin! Enak betul mereka!” demikian kata salah seorang yang tidak suka itu. (bersambung)
----
Kisah sebelumnya: