------
PEDOMAN KARYA
Selasa, 25 Januari
2022
Catatan
dari Diskusi Puisi “Pada Sebuah Reuni” (8):
‘Pada Sebuah Reuni” Belum Matang Sebagai Sebuah Puisi
Oleh:
Asnawin Aminuddin
(Wartawan)
Penilaian karya-karya sastra
dalam bahasa daerah di Indonesia pada masa-masa lalu, didasarkan pada
kepercayaan, agama, dan mistik. Tidak dapat diketahui dengan pasti kapan
pertama kali istilah kritik sastra dipergunakan di Indonesia.
Yang pasti, kritik sastra bukan
merupakan tradisi asli masyarakat Indonesia. Istilah dan pengertian kritik
sastra baru muncul ketika para sastrawan Indonesia mendapat pendidikan dengan
sistem Eropa pada awal abad ke-20.
Kritik sastra mulai mendapat
perhatian di Indonesia setelah terbitnya kumpulan karangan “Kesusastraan
Indonesia Modern dalam Kritik dan Essay” karya Hans Bague Jassin atau sering
disingkat HB Jassin.
Dikutip dari Wikipedia, kritik
sastra didefinisikan sebagai salah satu cabang ilmu sastra untuk menghakimi
suatu karya sastra. Kritik sastra juga berfungsi mengkaji dan menafsirkan karya
sastra secara lebih luas.
Kritik sastra biasanya
dihasilkan oleh kritikus sastra, dan sangat penting bagi seorang kritikus
sastra memiliki wawasan mengenai ilmu-ilmu lain yang berkaitan dengan karya
sastra, seperti sejarah, biografi, penciptaan karya sastra, latar belakang
karya sastra, dan ilmu lain yang terkait.
Dan itulah yang terlihat dalam
“Diskusi Puisi ‘Pada
Sebuah Reuni’
Karya Aslan Abidin”,
yang digelar oleh Forum Sastra Indonesia Timur
(Fosait), di Kafebaca, Jl Adhyaksa Makassar, Sabtu,
15 Januari 2022.
Para sastrawan, penyair,
cerpenis, esais, dan kritikus sastra yang hadir, memberikan kritik dari sudut
pandang masing-masing terhadap puisi ‘Pada Sebuah Reuni’ karya Aslan Abidin.
Seusai diskusi, saya sebagai
wartawan juga meminta catatan tambahan dari beberapa peserta diskusi, baik yang
sempat berbicara maupun yang tidak sempat berbicara karena keterbatasan waktu.
Belum Matang Sebagai Sebuah Puisi
Tri Astoto Kodarie, penulis
dan penyair yang karya-karyanya sudah
banyak dimuat di berbagai media massa nasional, dan juga sudah banyak yang
dibukukan, mengatakan, nama Aslan Abidin lebih dikenal
sebagai penyair dibanding seperti Aan Mansur di level nasional.
“Puisi ‘Pada Sebuah Reuni’ memang masih belum
matang sebagai puisi. Dan ini diakui juga oleh salah seorang pengasuh Majalah Horison yang pernah saya temui beberapa waktu lalu,” ungkap Tri.
Bahkan puisi tersebut, lanjutnya, sengaja diminta
oleh Majalah Horison
kepada Aslan untuk dimuat dalam rangka ulang tahun ke-55 majalah tersebut (1966-2021) yang dicetak
pada akhir Juli 2021.
“Soal
karakter Aslan, saya tidak menemukan di dalam puisinya ini. Jadi, apa yang disebut kepribadian plegmatis
seperti kata Badaruddin Amir, itu tidak terbaca di sini,” tutur Tri Astoto Kodarie.
Aslan Sedang Bergurau Saja
Bahar Merdu (dikenal
dengan tokoh fiktif Petta Puang, penyair, penulis naskah drama, sutradara) mengatakan, setelah membacanya puisi ‘Pada Sebuah
Reuni’ karya Aslan Abidin, maka dirinya berpikir Aslan Abidin sedang bergurau
saja pada kerinduannya terhadap masa lampau.
“Aslan Abidin sedang bergurau
saja pada kerinduannya terhadap masa lampau. Mewakili dirinya dan kita pula di
masa muda remaja. Namun kita bebas bercuriga, jika reuni Aslan semisal mau
bilang, 212 sebagai reuni yang tak memperlihatkan kelembutan, melainkan
kekasaran, hihi. Tapi ntah, karena saya tidak tahu kapan puisi itu ditulis, hih,”
tulis Bahar Merdu.
Puisi
Aslan Biarlah di Habitatnya
Sendiri
Yudhistira Sukatanya (nama aslinya Eddy
Thamrin, salah satu pendiri Sanggar Merah Putih Makassar, serta penulis puisi,
drama, cerpen, esai, artikel), menganggap puisi
Aslan sebagai puisi kamar, atau
puisi auditorium.
Di era digital, dimana bagi pembaca
menggunakan gadget, kata Yudhistira, puisi
sudah menemukan bentuk lain. Misalnya dituliskan menggunakan grafis, warna, mozaik. Berlatar foto atau
panorama alam. Bisa juga dilatari suara musik atau lagu, dan lainnya.
“Atau
gabungan macam-macam. Jadi perubahan bentuk puisi itu juga keniscayaan. Mungkin
puisi Aslan biarlah di habitatnya
sendiri. Puisi ala era digital juga biarkan menempati posisi dan atmosfirnya
sendiri. Tinggal pembaca yang bersesuai,”
kata Yudhistira.
Istilah Plegmatis Bukan untuk Menilai Puisi
Ishakim
(seniman, pelukis, perupa, dramawan) pada diskusi puisi tersebut balik
mengkritik ulasan Badaruddin Amir terhadap puisi ‘Pada Sebuah Reuni’ karya
Aslan Abidin.
Badaruddin Amir dalam
pertemuan itu mengatakan, “Membaca puisi-puisi Aslan
Abidin, saya berkesimpulan bahwa
puisi-puisi Aslan adalah puisi-puisi plegmatis-melankolis. Puisi-puisi ini kebanyakan
bergenre lyric.”
Istilah plegmatis yang dikenakan oleh
Badaruddin Amir terhadap puisi ‘Pada
Sebuah Reuni’, oleh Ishakim dianggap tidak
tepat.
“Istilah
plegmatis bukan dikenakan
untuk menilai satu puisi, melainkan digunakan
untuk mengolah persepsi dan kepribadian seseorang dalam kesehariannya,” kata Ishakim.
Badaruddin Amir, katanya, tidak memberikan contoh kalimat yang
mana di dalam puisi tersebut yang disebut mewakili
sifat plegmatis penyairnya.
“Justru
dalam ilmu psikologi, salah satu sifat ‘jelek’ dari seseorang yang dianggap berkepribadian
plegmatis ialah sulit menerima kritik,”
kata Ishakim.
Yang
terjadi, katanya, Aslan Abidin justru menyebut bahwa dirinya
banyak membuat perbaikan karya setelah
mendapatkan kritik.
“Jadi
di mana letak ciri plegmatisnya
puisi Aslan?” tanya Ishakim.
Kepada saya, Ishakim sambil
bercanda mengatakan, “Hemat saya,
soal pandangan Pak
Badar (Badaruddin Amir),
biarkan saja begitu. Aslan juga biarkan begitu. Tidak usah ada solusi.”
Dia kemudian menambahkan bahwa
dalam buku “Personality
Plus” karya
Florence
Littauer, disebutkan, dalam diri manusia
selalu ada empat potensi
kepribadian yang dia miliki.
Keempat potensi kepribadian
tersebut, kata Ishakim, yaitu sanguinis populer (ekstovert, pembicara, optimis), melankolis sempurna (introvert, pemikir,
pesimis), koleris kuat (ekstovert, pelaku,
optimis), dan plegmatis damai (introvert, pengamat,
pesimis).
“Yang membuat manusia istimewa nantinya tergantung seberapa dominan ciri tersebut,” kata Ishakim. (bersambung)
-------
Artikel sebelumnya:
Kritik Sastra, Kopi Panas Yang Diberi Sedikit Gula
Plegmatis-melankolis dan Kegetiran Tragis dalam Puisi “Pada Sebuah Reuni”