------
PEDOMAN KARYA
Senin, 14 Maret 2022
In Memoriam Aminuddin Gudang (2):
Gedung Sekolah Roboh, Murid-murid Belajar di Kolong Rumah Penduduk
Oleh: Asnawin Aminuddin
Pada 1 Desember 1960, Aminuddin
dipindahkan ke Sekolah Rakyat (SR) 12 Kalumeme, Kecamatan Ujungbulu. Di sekolah
yang kemudian berganti nama menjadi SD Negeri 10 Ela-ela ini, ia mengajar
sebagai guru biasa selama 17 tahun.
Ada beberapa peristiwa tak terlupakan
selama 17 tahun mengajar di sekolah itu, antara lain ketika terjadi angin
ribut, gedung sekolah SR 12 Kalumeme roboh. Akibatnya, murid-muris terpaksa belajar
di kolong rumah-rumah penduduk yang ada di sekitar sekolah.
Ketika itu, rumah penduduk umumnya masih
berupa rumah panggung, yaitu rumah kayu yang tinggi dan rata-rata memiliki
kolong setinggi antara satu setengah meter sampai dua setengah meter. Di kolong
rumah penduduk itulah murid-murid SR 12 Kalumeme bersekolah sambil menunggu
dibangunnya gedung sekolah baru.
Gedung sekolah baru yang dibangun
pemerintah sebagai pengganti gedung yang roboh, hanya bersifat sementara yang
berdinding papan dan berlantaikan tanah.
Waktu itu, juga masih ada sisa-sisa buku
tulis yang terbuat dari batu pipih seukuran buku tulis berwarna hitam. Buku
hitam itu hanya bisa ditulisi dengan kapur putih, sehingga tangan murid-murid
sekolah umumnya kotor oleh kapur dan harus dicuci setiap “keluar main” (sebutan
untuk jam istirahat), serta ketika usai jam pelajaran.
Saat masih mengajar di sekolah itu, SR
12 Kalumeme kemudian berubah menjadi SD Negeri 10, karena terjadi penciutan
jumlah sekolah dan perubahan nama dari Sekolah Rakyat (Sekolah Rakyat) menjadi
Sekolah Dasar (SD).
“Waktu itu juga sempat terjadi
perpanjangan tahun ajaran, jadi anak-anak belajar selama satu setengah tahun,”
ungkap Aminuddin.
Naik Sepeda Kumbang
Yang juga tidak bisa dilupakan dan
sekaligus menjadi kenangan manis bagi Aminuddin ketika mengajar di SD 10
Ela-ela, yaitu selama 13 tahun lamanya ia hanya naik sepeda kumbang pergi
mengajar, padahal sebelum menikah ia adalah seorang remaja dan pemuda yang
cukup “berada”, serta kemana-mana naik sepeda motor HYS 500cc.
“Hanya dihitung jari ketika itu anak
muda yang memiliki sepeda motor, apalagi HYS 500cc,” ungkapnya.
Ia kehilangan sepeda motornya pada tahun
1960, setelah terjadi situasi yang kurang bagus. Sebagai guru sekolah dasar,
gajinya tergolong kecil, padahal ia sudah punya seorang isteri dan seorang
anak.
Sepeda motor kesayangannya yang dibeli
seharga Rp4.000,- (empat ribu rupiah) terpaksa dijual seharga Rp2.000,- (dua
ribu rupiah), tetapi yang membeli adalah mertuanya sendiri, Malakaji Daeng
Bali.
Aminuddin kemudian membeli sepeda
kumbang sebagai kendaraannya sehari-hari, termasuk untuk pergi mengajar di
sekolah. Sejak tahun 1960 sampai tahun 1973 atau selama 13 tahun, ia hanya naik
sepeda pergi mengajar.
“Tapi saya tidak pernah terlambat ke
sekolah, kecuali kalau saya sakit atau ada halangan yang tidak bisa saya
hindari. Saya selalu datang paling pagi sebelum guru-guru lain datang dan
pulang paling belakangan. Saya memang selalu berupaya disiplin,” tandasnya.
Tahun 1973, barulah ia bisa membeli sepeda motor, yaitu motor Suzuki 50cc seharga Rp50.000,- (lima puluh ribu rupiah). (bersambung)
-----
Artikel Bagian 1: In Memoriam Aminuddin Gudang: Jadi Guru SD Selama 41 Tahun
Artikel Bagian 3: Mendatangi Tokoh Masyarakat Setelah Terangkat Jadi Kepala Sekolah