-----
PEDOMAN KARYA
Senin, 30 Mei 2022
Datu Museng dan Maipa Deapati (15):
Maggauka Minta Maipa Deapati Dikembalikan, Kakek
Adearangan Menolak dan Siap Mempersilang Senjata
Oleh:
Verdy R. Baso
(Mantan Wartawan Harian Pedoman Rakyat)
Permaisuri karam dalam tangisnya. Gelarang
dan Maggauka berunding terus di balairung. Tapi, tidak juga mendapat kata
putus. Akhirnya, disuruh panggil seluruh anggota adat, untuk merundingkan
masalah.
Begitu anggota adat berkumpul, pembicaraan
segera dimulai. Agak lama juga
perundingan berlangsung, baru diperoleh kata sepakat yang lunak sifatnya. Yaitu
akan dikirim perutusan untuk meminta dengan sangat kepada Datu Museng dan kakek
Adearangang, agar Putri
Maipa dikembalikan ke istana dan Datu Museng disuruh memilih gadis lain sebagai
teman hidupnya.
Seperti biasa, Gelarang yang dibebani tugas
ini. Ia dibantu oleh Deanga (kepala pemerintahan setempat) Pongringali. Saat
itu juga Gelarang dan Deanga Pongringali berangkat menjalankan kewajiban yang
dipikulkan ke atas
pundaknya, sedangkan
seluruh anggota adat lainnya tetap di istana, menunggu kembalinya utusan untuk mengetahui
berhasil tidaknya usaha mereka. Setelah agak lama menunggu, tibalah kembali Gelarang dan
Deanga Pongringali, masuk tergopoh-gopoh ke balairung.
Semua yang berada di dalam ruangan sama membisu
memandang pada perutusan, menunggu kabar-berita yang nampaknya akan mengecewakan.
Seusai mengaso, sesudah makan sirih-sekapur, Gelarang mulai mengucapkan kata,
menyampaikan hasil perundingannya.
“Tuanku
Maggauka, dan saudara-saudara anggota adat yang mulia. Telah kusampaikan apa
keputusan kita bersama kepada Kakek
Adearangang seorang, karena Datu Museng tak ada waktu untuk bertemu muka dengan
kami. Katanya, sedang menemani dewi pujaannya, Putri Maipa. Gelarang berhenti sebentar,
kemudian melanjutkan, ‘Dengan
sehormat dan selembut mungkin kami minta agar Putri Maipa dapat dikembalikan ke istana
dan Datu Museng disuruh memilih gadis lain. Kami dengan segala kerendahan hati
mohon pengertian pada kakek Adearangang akan kedudukan tuanku yang maha sulit
karena kejadian itu. Tapi apa jawaban kakek kepada kami? Dengan mata melotot
berapi-api, ia menolak mentah-mentah tawaran kami itu’. Kakek berkata, ‘Saudara Gelarang dan
Deanga Pongringali, sampaikan pada Maggauka bahwa Datu Museng tidak akan
mengeluarkan kain yang sudah dipakainya, sebelum mayatnya terbujur. Dosa besar
bagiku jika membiarkan keduanya berputih mata, dan tak ada pikiranku untuk
membelah dua jantung hati yang sudah bersatu itu. Katakan pula pada Maggauka,
supaya mengurungkan niatnya. Tuhan sudah menjodohkan Datu Museng dengan Putri Maipa, tak ada
tangan manusia yang dapat mengubahnya. Jika dipaksa juga merenggut mustika di tangan, maka baiklah kita
mempersilang senjata. Karena dengan damai tak mungkin maksud beliau dapat
terkabul. Itulah sambutan kakek Adearangang pada kami,” kata Gelarang sambil
menundukkan kepala.
Ia takut menentang mata Maggauka yang
terus menatapnya. Ruangan rapat senyap. Semua dibuai oleh perasaan dan
pikirannya masing-masing. Maggauka berpikir keras. Kemudian berkata, “Tapi kita harus
mengembalikan Maipa Deapati ke tangan kita, walau harus menempuh jalan apa pun.
Gelarang, sudah adakah berita dari Mangngalasa, mengenai musibah yang menimpa
kita?”
“Belum
tuanku!” Gelarang menjawab
sembari menundukkan kepalanya. Ia seakan belum puas memandang lantai.
“Sudah
kau kirim berita ke sana?”
Maggauka kembali bertanya.
“Sudah
tuanku, kemarin pagi,”
jawab Gelarang, memperbaiki duduknya.
“Kalau
begitu, kita tunggu saja kedatangan tunangan anakda Maipa. Apa pula tindakannya
kita bulatkan dalam keputusan bersama. Jangan ada yang pulang, sebab kukira
sebentar lagi, ia tiba kemari.”
Semua anggota adat mengangguk, mendengar
perintah Maggauka. Seiring
dengan itu, muncullah Mangngalasa diiringi beberapa orang Tubarani. Maggauka
dengan sigap berdiri dari kursinya. la menjumpai calon menantunya di ambang
pintu. Kemudian, mengantarnya langsung ke balairung.
Para anggota adat sedang asyik
membincangkan kakek Adearangang dan cucunya, disana. Maggauka lalu duduk di
antara para anggota adat.
Ia batuk-batuk kecil, kemudian berkata, “Anakku Mangngalasa,
apalah bicaramu sekarang, karena Datu Museng dan kakeknya, rupanya berkeras
kepala, tak mau mengembalikan adikmu Maipa yang sudah di tangannya. Keduanya sudah
mengharamkan mengeluarkan kain yang telah ia
pakai sebelum mayatnya terbujur. Dosalah katanya, jika hati yang bersatu
dibelah dua, dan matilah ia
jika jantung hatinya direnggut dari tubuhnya, karena jantung hatinya adalah
Maipa Deapati, lain tiada.”
Mangngalasa mengayunkan tinjunya ke atas
permadani. Ia berteriak, “Tidak...
tidak tuanku! Maipa Deapati sejak kecil milik hamba, tunangan semenjak dalam
kandungan. Bagaimana mungkin Datu Museng begitu saja mengaku berkuasa
mempersuntingnya? Tuanku orang yang berkuasa di daratan Sumbawa ini, kuasa
menghitam-putihkan keadaan. Mengapa Datu Museng dibiarkan merajalela menguasai
kita? Apalah kekuatannya? Puiihh..., sudah gatal-gatal tangan hamba untuk
menghajar kerbau tiada berhidung dan bertanduk sejengkal jari itu. Akan
dirasainya nanti bekas tangan I Mangngalasa, jagoan Lombok ini. Ya, akan
meraung melolonglah ia
menyembah memohon ampun di bawah telapak kaki hamba. Tuanku, izinkanlah hamba
pergi mengambil adik hamba Maipa dari pangkuan Datu Museng yang tak kenal adab
itu.”
“Mangngalasa
anakku, sungguh hebat semangatmu. Itulah sifat kesatria sejati. Tak percuma kau
kuangkat jadi menantu kelak, karena tanpa ragu-ragu bersedia membela
kehormatanku. Aku sungguh terharu mendengar tekadmu yang gagah perkasa itu.
Namun demikian, alangkah baiknya jika bulat kata sepakat, ke gunung sama
mendaki, ke lurah sama menurun, anakku. Baiklah kita berembuk sebentar dan kata
keputusan kita laksanakan bersama!”
sambut Maggauka.
Mereka kemudian berunding, mencari kata
sepakat untuk menantang Datu Museng bersama kakeknya. Dan tak lama, diperoleh
persetujuan bersama. Mereka akan mengerahkan para tubarani Sumbawa dan Lombok,
memerangi Datu Museng dan kakeknya, untuk merebut kembali putri Maipa.
Penyerbuan dipimpin oleh Pangeran
Mangngalasa sendiri.
Setelah selesai membicarakan
siasat dan jalan penyerbuannya, kerapatan pun bubar untuk mengadakan persiapan.
Tinggal Mangngalasa sendiri di sana. Maggauka memintanya menginap di istana,
selama berada di Sumbawa. (bersambung)
------
Kisah sebelumnya:Datu Museng dan Maipa Deapati (14): Kakek Adearangan Akui Maipa Deapati Berada di Tangan Datu Museng
Datu Museng dan Maipa Deapati (13): Maipa Deapati Hilang, Maggauka Panggil Ahli Nujum