Mereka terpaku menyaksikan kecantikan dan keindahan gerak ayun langkah Maipa Deapati yang laksana bidadari itu. Mereka belum pernah menyaksikan dari dekat perawan istana secantik itu.
Mereka selama ini hanya mendengar kemolekan sang putri dari buah tutur pemuda-pemuda bangsawan di dalam negeri, bahkan sampai ke pulau-pulau sekeliling Sumbawa.
------
PEDOMAN KARYA
Kamis, 19 Mei 2022
Datu Museng dan Maipa Deapati (12):
Rakyat Terpaku Menyaksikan Kecantikan Maipa Deapati
Oleh:
Verdy R. Baso
(Mantan Wartawan Harian Pedoman Rakyat)
Ketika permaisuri mendengar
berita ini, hatinya bertambah girang, karena si birang-tulang yang dikasihinya
telah sehat kembali. Demikian juga dengan Maggauka. Beliau bergembira dan
tersenyum-senyum.
Diperintahkannya memalu gong
kerajaan. Dan sebentar kemudian berdatanganlah rakyat dari segenap penjuru
kotaraja. Mereka memadati pekarangan istana, lengkap dengan alat senjata
masing-masing.
“Apa maksud tuanku memanggil
kami sekalian? Negeri mana yang hendak diserang? Adakah musuh hendak mengganggu
negeri, tuanku? Tunjukkan kepada kami sekalian,” sembah rakyat yang memadati
pekarangan istana.
Maka bersabdalah Maggauka,
“Tidak ada negeri yang hendak diserang. Juga tak ada musuh yang akan menyerang.
Hanya putri kita Maipa Deapati yang telah sembuh dari sakitnya akan
melaksanakan kaulnya, yaitu turun ke taman permandiannya tengah malam nanti
untuk membersihkan diri. Hanya itulah yang kami panggilkan pada kalian, wahai
rakyatku yang patuh. Pulanglah dan sediakan suluh untuk mengantarnya
ramai-ramai sebentar malam!”
Maggauka mengakhiri sabdanya
dan rakyat pun bubar, kembali ke rumah masing-masing.
Ketika malam telah tiba, sang
bintang di langit gemerlapan cahayanya, sedangkan bulan sabit yang condong jauh
di sebelah barat memancarkan sinar suram. Seakan berusaha menembus tabir gelap
malam.
Maipa yang tak pernah tenang
lagi sejak ditinggal Datu Museng, sedang duduk dekat jendela kamarnya menghadap
ke barat ke arah bulan sabit yang bersangsur-angsur mendekat kaki cakrawala dan
bersembunyi di balik pepohonan, kemudian akhirnya hilang dari pandangan.
Tinggal bayangannya kini menabiri kaki cakrawala itu.
Sekarang hanya bintang
gumintang yang menerangi aam cakrawala itu. Sepi hening dengan kerlap-kerlipnya
yang laksana mutiara itu. Malam makin larut jua dan sebentar lagi tibalah saat
bagi sang putri melaksanakan niatnya.
Tak lama berselang, para
dayang-dayang dan inang pengasuh putri Maipa sudah lengkap hadir. Demikian juga
dengan rakyat, mereka mulai berdatangan memasuki pekarangan istana dengan suluh
masing-masing di tangan.
Pekarangan istana kini mulai
terang-benderang oleh cahaya suluh yang beratus bahkan ribuan banyaknya.
Gendang, gong dan pui-pui (serunai) yang ditabuh dan ditiup oleh mereka,
menyemarakkan suasana menjelang upacara iring-iringan dimulai.
Akhirnya saat bagi Maipa
Deapati turun tanah pun tibalah. Dayang-dayang dan inang pengasuh maju membuka
jalan bagi putri melewati rakyat yang memegang suluh. Tak ada suara yang
terdengar. Semua diam kagum mematung.
Mereka terpaku menyaksikan kecantikan
dan keindahan gerak ayun langkah Maipa Deapati yang laksana bidadari itu.
Mereka belum pernah menyaksikan dari dekat perawan istana secantik itu.
Mereka selama ini hanya
mendengar kemolekan sang putri dari buah tutur pemuda-pemuda bangsawan di dalam
negeri, bahkan sampai ke pulau-pulau sekeliling Sumbawa.
Setelah agak jauh di depan,
barulah rakyat sadar dari pesonanya. Kemudian ramai terdengar bisik-bisik.
Salah seorang yang tak bisa menahan rasa kagumnya, berkata; “Alangkah bahagia
pemuda bangsawan yang kelak mempersuntingnya.”
***
Kita tinggalkan dulu Maipa
Deapati beserta pengawalnya yang kini makin mendekati tujuannya, dan kita
kembali menengok Datu Museng.
Pada tengah malam sunyi itu, ia
berada dalam biliknya bersemedi, melakukan tapa-cipta, menyeru ke alam sunyi
untuk pengujud cita dimaksud. Ia minta bantuan penguasa angin, penguasa guruh
dan kilat, supaya datangmenggelapkan malam, memusnahkan suluh beratus-ratus
itu, menggetarkan hati dan menakut-nakuti rakyat yang mengawal Maipa Deapati,
kekasihnya.
Datu Museng adalah orang yang
terkabul pintanya, mudah terlaksana niatnya. Dan malam ini pinta sang Datu
Museng terkabul lagi. Penguasa angina, dewa guruh dan kilat serentak
menjelmakan diri dan mengamuk menumbangkan pepohonan. Halilintar sambung menyambung,
menyambar kian-kemari dengan dahsyatnya, bagaikan runtuh bumi tempat berpijak
rasanya.
Sekejap saja kucar-kacir
rakyat pengiring, suluh-suluh pun padam tak mampu mempertahankan nyalanya. Alam
semesta menyambar menggeledeg. Tak seorang pun yang berani tinggal, semua lari
mencari selamat dari serangan kilat dan Guntur yang membahana, serta topan yang
semakin gila. Pengiring putri Maipa Deapati sudah berantakan. Tak peduli lagi
yang dikawal, karena memikirkan hidup sendiri-sendiri.
Lama baru topan teduh kembali,
alam tenang seperti biasa. Pengiring-pengirin Maipa kini ingat tugasnya lagi
dan mulai kasak-kusuk mencari putri sultan itu. Semua tempat yang dapat
digunakan berteduh diperiksa, tapi sang putri tidak juga ditemukan.
Kemana gerangan? Disambar petir kah? Atau ditimpa pepohonan yang tumbang? Mereka mulai takut dan gempar. (bersambung)
------
Kisah sebelumnya:
Datu Museng dan Maipa Deapati (10): Maggauka dan Permaisuri Undang Datu Museng ke Istana