Tahun 1980, Usdar Nawawi berkunjung ke Redaksi Surat Kabar Mingguan “Mimbar Karya” di Jalan Achmad Yani, Makassar. Di situ juga berkantor dua surat kabar lainnya, yakni Harian “Fajar” dan Harian “Tegas” yang terbit sore hari. Hari itu juga Usdar dihadapkan ke Pimpinan Redaksi, Gani Haryanto (almarhum), dan langsung diterima menjadi wartawan, tanpa tes dan tanpa surat lamaran.
-----
PEDOMAN KARYA
Selasa, 27 September 2022
Obituari
Usdar Nawawi (2):
Usdar
Nawawi Jadi Wartawan Mimbar Karya dan
Tugas Pertama Meliput KUD Mattirobulu Bulukumba
Oleh:
M Dahlan Abubakar
(Wartawan)
Sebulan berikutnya, Usdar
Nawawi membawa tiga judul artikel ke Redaksi Pedoman Rakyat (PR) di Jalan Andi Mappanyukki, dengan perasaan
harap-harap cemas, apakah artikelnya bisa termuat di surat kabar, atau mungkin
akan menuju ke tong sampah.
Biasa, begitulah
kekhawatiran para penulis pemula membayangkan nasib artikel yang disetornya ke
media, apalagi sekelas Pedoman Rakyat
kala itu.
Dua hari kemudian,
bertepatan dengan peringatan Hari Ibu, artikelnya yang berbicara tentang Hari
Ibu, benar-benar dimuat Pedoman Rakyat.
Saat itu, perasaannya benar-benar senang luar biasa. Dirinya seolah terbang ke
langit. Kepalanya terasa membesar dengan rambut terasa berdiri kencang laksana
duri landak.
Pada bulan itu juga, tiga
artikelnya termuat semuanya. Dan, di situ pula dia pertama kalinya merasakan
kebanggaan luar biasa, yakni pada saat menerima honor tulisannya yang dibayar
Rp3.500 per judul, dengan total honor Rp.10.500. Jumlah ini sesuatu yang sangat
berarti pada masa itu.
Sejak itulah, Usdar
menjadi salah seorang penulis di Pedoman Rakyat
yang cukup produktif, bersama Oemar Labetubun, Jurlan Em Saho’as, Hasanuddin
Hamid, Mappinawang, dan sejumlah penulis artikel lainnya.
Tak hanya di Pedoman Rakyat, Usdar saat itu juga
rajin menulis di Harian Fajar, Harian Terbit Jakarta, Berita Buana Jakarta, dan
di sejumlah koran lainnya.
Pada tahun 1979, Usdar
bersama sejumlah rekan penulis muda, mendirikan organisasi Ikatan Pemuda
Penulis Indonesia (IPPI) Makassar yang diketuai Asmianto Amin, wartawan Pedoman Rakyat yang kini bermukim di
Jakarta.
Usdar dipercaya menjadi
Sekum IPPI. Pengurus IPPI saat itu dilantik oleh Ketua PWI Sulsel, Rachman
Arge, di Ford Rotterdam Benteng Ujungpandang. Ide pembentukan IPPI tersebut,
muncul di Taman Macan, yakni lapangan segi tiga yang terletak di Jalan Balaikota
– Jalan Sultan Hasanuddin.
Melamar
Jadi Wartawan
Tahun 1980, dia
berkunjung ke Redaksi Surat Kabar Mingguan “Mimbar Karya” di Jalan Achmad Yani,
Makassar. Di situ juga berkantor dua surat kabar lainnya, yakni Harian “Fajar”
dan Harian “Tegas” yang terbit sore hari.
Usdar memperkenalkan diri
ke seorang redaktur, yakni Nasir Tongkodu. Dan, tak disangka-sangka ternyata
Nasir sudah mengenal nama Usdar melalui sejumlah tulisannya di Pedoman Rakyat. Hari itu juga Usdar
dihadapkan ke Pimpinan Redaksi, Gani Haryanto (almarhum), dan langsung diterima
menjadi wartawan, tanpa tes dan tanpa surat lamaran.
Kamu sejak hari ini diterima
jadi wartawan ‘Mimbar Karya’, dan ditugaskan sebagai Wartawan Ekonomi dan
Pertanian,” kata Gani Haryanto.
Tugas pertamanya, meliput
sukses Koperasi Unit Desa (KUD) Mattirobulu di Bulukumba, yang berhasil menjadi
KUD terbaik di Indonesia pada saat itu. Karena memang kampungnya sendiri, maka tak
begitu sulit bagi Usdar menjangkau KUD Mattirobulu yang terletak di Gangking
(Gantarang Kindang).
Dengan kamera otomatis
pinjaman dari tetangga, Usdar pun meluncur ke KUD Mattirobulu dengan menumpang
bus. Dia menempuh jarak 150 km ke arah selatan. Inilah pengalaman pertamanya
melakukan perjalanan jurnalistik dengan tustel pinjaman milik tetangga sebelah
rumah.
Di KUD Mattirobulu,
ternyata dia diterima dengan sangat ramah oleh Ibnu, Ketua KUD yang didampingi
beberapa pengurus lainnya. Maklum, “Mimbar Karya” saat itu beredar luas di
seluruh pelosok daerah Sulsel sebagai koran spesialis masuk desa.
Seharian Usdar di KUD
tersebut mengumpulkan bahan tulisan, sambil melakukan pemotretan ke
sana-kemari, hingga para pengurus dan karyawan yang dipotret berkali-kali, jadi
capek bergaya.
Maklum saja, dia juga
baru pertama kali memotret untuk keperluan berita. Dia serba hati-hati memang
saat memotret. Takut hasilnya jelek. Apalagi, lokasi dan objek pengambilan
gambarnya jauh dari Kota Makassar.
Sekembali ke Makassar,
kamera yang berisi rol film 36 kutip itu, langsung dibawa ke tukang cuci foto
Beng Seng di Jalan Sulawesi. Toko ini milik warga keturunan yang sejak dulu
sudah dikenal keterampilan mencuci-cetak foto hitam putih. Banyak wartawan
senang mencetak foto mereka di sini, karena hasilnya bagus. Kualitas kertasnya
mengkilap dan itu sangat disukai teman-teman wartawan.
Di benaknya, kira-kira
ada 30-an hasil foto yang sisa dipilih untuk dimuat, sebagai gambar pendukung
berita. Beng Seng, si pemilik tempat cuci foto itu, terlihat alisnya mengerut
saat membolak-balik pembungkus rol film itu di dalam kain hitam. Seolah-olah
ada sesuatu yang terasa aneh. Usdar seperti menangkap firasat tak beres dengan
hasil pemotretannya. Jangan-jangan berantakan semua.
“Rol filmnya tak bisa
dicuci karena dalam keadaan kosong. Tak ada gambar,” kata pemilik cuci foto
Beng Seng yang membuat Usdar nyaris ‘pingsan’.
Apa yang terjadi?
Ternyata, ketika Usdar memasang rol film ke dalam kamera, tidak rapat ke
cantolannya sehingga bila pemutar rol otomatis diaktifkan, rol film tidak ikut
terputar. Masya Allah. Namanya juga baru pegang kamera. Tustel tetangga pula.
“Subhanallah ..”. Usdar
baru menyadari bahwa ketika dia super sibuk memotret, ternyata ‘pale’ (lah)
rolnya tidak ikut terputar. Mana mungkin fotonya bisa jadi kalau rol film tak
berputar.
Dua hari Usdar berpikir
kencang. Dari mana foto kegiatan KUD Mattirobulu bisa diambil, sementara untuk
kembali memotret ke Bulukumba sesuatu yang tidak mungkin. Ini kejadian yang
sangat memalukan.
“Seandainya para pengurus
KUD Mattirobulu itu tahu foto-foto mereka gagal tampil di surat kabar gara-gara
beginian, di mana mau diletakkan muka ini,” gumam Usdar.
Tetapi sebagai wartawan
yang tidak boleh kehilangan akal dalam melengkapi beritanya dengan foto, Usdar
berpikir keras bagaimana bisa mendapatkan foto pendukung berita yang sesuai. Lantas
mau ngambil dari mana?
Eh .. ternyata caranya
cukup mudah. Usdar dapat akal. Dia ke Kantor Puskud Sulsel. Pasti di instansi
itu ada arsip foto KUD di Kabupaten Bulukumba. Soalnya, KUD itu terbaik di
seluruh Indonesia. Jadi pasti ada dokumentasinya di Puskud.
Benar juga, dia ternyata
menemukan foto-foto Ketua KUD Mattirobulu di Puskud Sulsel, yakni arsip foto
pada saat Ketua KUD Mattirobulu menerima penghargaan dari Presiden Soeharto di
Istana Negara. Usdar pun plong.
Ternyata kegembiraannya
terhadang kekhawatiran. Di Puskud, Usdar bertemu Ibnu, sang Ketua KUD
Mattirobulu yang beberapa hari lalu menyaksikan bagaimana dia bergaya mengambil
foto di kantornya di Bulukumba. Dia pun melihat Usdar membawa foto-foto
tersebut.
Bagaimana menjelaskan
duduk persoalan foto ini? Usdar beralasan, setelah pimpinan redaksinya
menimbang-nimbang, maka foto yang paling bagus dimuat adalah foto-foto
penerimaan penghargaan dari presiden. Ibnu terlihat manggut-manggut, senang.
Dia tidak pernah tahu bila kamera Usdar bermasalah. Gagal tayang ... !
Selama 4 tahun dia menjalani hari-harinya sebagai wartawan Mingguan “Mimbar Karya”, mingguan terbesar di Sulsel pada saat itu dengan oplah 8.000 eksamplar. Gajinya waktu itu sebesar Rp70.000 per bulan. (bersambung)
-----
Artikel bagian I:
Usdar Nawawi: Membuat Majalah Kampus dan “Berpolemik” tentang RRI di Pedoman Rakyat
Berarti saya sudah keluar dari Mimbar Karya (MK) dan pindah ke Harian Terbit (Jakarta) setelah almarhum Ustad Nawawi bergabung di MK. Sebab Pak Gani Haryanto wkt itu masih Redpel, Pemred/PU Moch Anis
BalasHapus