Pada awal masa kuliah, Usdar Nawawi gemar menulis “Surat Pembaca” di Harian Pedoman Rakyat (PR), yang umumnya mengkritik berbagai persoalan di kampung halamannya.
Selain itu, dia juga mulai belajar membuat majalah kampus, dan aktif di bagian siaran budaya RRI Nusantara IV Ujungpandang, membantu trio Hasyim Ado, Sudarmin Dahlan, dan Ichsan Amar.
-----
PEDOMAN KARYA
Senin, 26 September 2022
Obituari
Usdar Nawawi (1):
Usdar
Nawawi: Membuat Majalah Kampus dan “Berpolemik” tentang RRI di Pedoman Rakyat
Oleh:
M Dahlan Abubakar
(Wartawan senior)
Ahad (24/9/2022) bilik
media sosial “Wartawan Sulsel” membawa kabar duka. “Innalillahi wa inna ilaihi
rajiun. Berpulang ke rakhmatullah Sdr kita Usdar Nawari (Wakil Ketua Bidang
Pembelaan Wartawan PWI Sulsel) di RS Hermina 10 menit lalu. Jenazahnya akan disemayamkan
di rumah duka Jl. Lasuloro Dalam VI Perumnas Antang Makassar. Semoga meninggal
dalam khusnul khatimah,” pada pukul 12.49, rekan Andi Pasamangi Wawo mengirim
berita duka pertama di Whatsapp kelompok wartawan Sulsel tersebut.
Saya terakhir bertemu
Usdar Ahad sore, 17 September 2022, tepat seminggu silam saat berlangsung
peluncuran buku novel “Surat Buat Maria” karya rekan Ramli S. Nawi di Kafebaca
Jl. Adyaksa Makassar.
Setelah mendengar namanya
disebut, mata saya kemudian “jelalatan” mencari sosoknya. Retina saya tidak
menangkap utuh wajahnya yang biasa saya lihat. Keheranan muncul di dalam hati
saat acara usai dan berusaha mencari sosoknya. Saya menemukan wajah seorang
yang seolah mata ini keliru bahwa dialah Usdar yang saya kenal selama ini.
Wajahnya sangat pucat dan tampak kurus. Saya tidak berusaha menyapanya karena
keburu ke masjid.
Ketika mendengar berita
duka itu, saya menyesali diri sendiri tidak menyempatkan diri menyapanya. Usdar
adalah seorang teman yang tidak pernah lekang dan terpengaruh oleh riak dan
gelombang situasi dan kondisi dunia kewartawanan di Sulawesi Selatan yang
selalu ‘suam.’
Dia tetap teman yang
tidak peduli dengan ‘konteks’. Usdar yang saya kenal adalah seorang wartawan
yang telah ikut memberi warna jagat jurnalisme di provinsi ini.
Menjadi wartawan bagi
seorang Usdar yang lahir dan besar di kampung, tidak pernah terlintas sedikit
pun di benaknya. Dia sama sekali tidak pernah mematok cita-cita. Dia bagaikan
orang melangkah, ke arah mana kaki ini diayunkan. Profesi apa gerangan yang
bakal dia geluti kelak, juga masih tanda tanya dalam diri anak pasangan
Muhammad Nawawi Patinrori – St Rosmani.
Ayahnya, seorang guru SD
yang sederhana. Di samping menjadi kepala sekolah, Muhammad Nawawi juga senang
bercocok-tanam. Ya, begitulah posisi dan ‘profesi rangkap’ para tokoh di daerah
pedesaan Sulawesi Selatan yang kebetulan sudah mengecap pendidikan.
Ketika menginjak bangku
SD, anak pertama dari empat bersaudara ini mengikuti ayahnya yang pindah
mengajar di SD Longi. Sebuah desa yang terletak di kaki Gunung Bawakaraeng,
yang masih termasuk wilayah Kabupaten Bulukumba di bagian barat.
Di lereng gunung inilah wartawan
kelahiran Bulukumba 27 Mei 1958 ini menghabiskan masa kanak-kanaknya dengan
bermain gasing, main kelereng, dan rajin memungut kemiri di hutan.
Di sekolah, Usdar kecil
terbilang pandai melukis pemandangan alam, objek lukisan yang paling mudah bagi
para murid pada zaman itu, tapi dia payah bila disuruh menggambar orang. Sekali
waktu, dia disuruh menggambar orang. Dia pun menggambar sebuah batu besar di
tengah sungai. Di samping batu, terlihat tali pancing yang ujungnya turun ke
air.
“Ini gambar apaan?” gurunya
bertanya.
“Di sebelah batu itu Pak,
ada orang yang sedang memancing ikan. Tapi cuma tali pancingnya yang kelihatan,
orangnya terlindung di balik batu ...” Usdar kecil berdalih dengan penuh
percaya diri
Setelah lulus SD, Usdar
melanjutkan pendidikan ke SMEP Negeri Palampang, Kecamatan Bulukumpa. Dari
sekolah Menengah Ekonomi Pertama itu, dia melanjutkan pendidikan dan tamat di
SMA Negeri 1 Bulukumba jurusan IPS pada tahun 1977. Dia lulus dan rangking I
pada ujian akhir, sehingga bebas tes masuk di Fakultas Hukum Unhas Makassar,
tahun 1978.
Pada awal masa kuliah,
kegemarannya ialah suka membuat “Surat Pembaca” di Harian Pedoman Rakyat (PR), yang umumnya mengkritik berbagai persoalan di
kampung halamannya.
Selain itu, dia juga
mulai belajar membuat majalah kampus, dan aktif di bagian siaran budaya RRI
Nusantara IV Ujungpandang, membantu trio Hasyim Ado, Sudarmin Dahlan, dan
Ichsan Amar.
Sekali waktu, RRI
dikritik oleh seorang wartawan bernama keren Awang Bayu Asmara melalui
artikelnya yang dimuat Pedoman Rakyat.
Kritik lelaki kribo bertubuh tambun kelahiran Pangkep tersebut berbunyi.
“Produksi siaran budaya
RRI Nusantara IV Ujungpandang tak pernah naik kelas. Mutunya sangat rendah.
Gaya siarannya cuma begitu-begitu saja, tak ada inovasi,” wartawan kelahiran
Pangkep bertubuh tambun itu melontar kritiknya melalui koran perjuangan yang
tiada sejak 2007 itu.
Hasyim Ado yang
penanggung jawab siaran, tentu saja tak mau tinggal diam menghadapi “serangan” itu. Dia pun membuat
artikel sanggahan ke Pedoman Rakyat
untuk menangkis kritikan Awang, lelaki yang ketika masih hidup selalu
menunggang sepeda motor vespa itu.
Persoalannya, pada
artikel tersebut nama penulisnya bukan Hasyim Ado, tetapi atas nama Usdar
Nawawi, padahal saat itu Usdar sedang berlibur di kampung. Mengapa bisa
demikian?
Pertimbangannya ternyata
ialah agar di struktur RRI tidak tampak berhadapan langsung dengan kritikan
Awang Bayu Asmara. Bukan Hasyim Ado yang melawan Awang, melainkan Usdar.
Silakan saja Awang berpolemik dengan Usdar, padahal yang sibuk bikin artikel
adalah Hasyim Ado.
Yang menjadi persoalan
kemudian, beban moral yang harus ditanggung oleh Usdar. Dia tak masalah bila
namanya dipasang sebagai penulis artikel yang sedang berpolemik dengan seorang
wartawan senior sekelas Awang. Tapi masalahnya, apakah pada hari-hari ke depan
nantinya, dia bisa menulis artikel sendiri menyamai kualitas tulisan seniornya,
Hasyim Ado? Di situ persoalannya. Tujuh hari tujuh malam Usdar susah tidur
memikirkannya.
Usdar memang sangat grogi
dibuatnya. Seorang anak kampung yang tak pernah menulis artikel di koran besar,
tiba-tiba namanya muncul sebagai penulis pada artikel hebat yang berpolemik
kencang dengan seorang wartawan senior.
Yang baru dia miliki
masih sebatas membuat majalah kampus, yang notabene masih lebih banyak demi
kepentingan pengembangan bakat belaka. Apa mungkin tulisan, karyanya sendiri,
nanti bisa lolos muat di Pedoman Rakyat,
mengingat media ini adalah harian terbesar di Indonesia timur pada saat itu.
Standarnya tentu bukan level majalah kampus yang iseng sebagai penyalur bakat.
Namun di balik itu, Usdar merasa tertantang. Dia harus bisa menulis artikel sendiri ke Pedoman Rakyat, tentang apa saja yang bisa ditulis. Sudah terlanjur namanya kok muncul di koran besar. (bersambung)
----
Artikel bagian 2:
Usdar Nawawi Jadi Wartawan Mimbar Karya dan Tugas Pertama Meliput KUD Mattirobulu Bulukumba