-----
PEDOMAN KARYA
Senin, 21 November 2022
Dari
Kampung ke Kampus Bersama Fahmi Syariff (1):
10
Tahun Mahasiswa, Tak Sampai-sampai Sarjananya
Oleh:
Mahrus Andis
(Sastrawan, Budayawan, Kritikus Sastra)
Ponre, Kecamatan
Gantarangkindang (dulu, disingkat Gangking), sebuah wilayah pertanian yang
subur di kaki Gunung Lompobattang. Bulukumba, salah satu kabupaten di bagian
selatan Sulawesi Selatan, tempat saya lahir dan menyelesaikan pendidikan di SMA
Negeri 198 (baca: SMA Neg.1).
Jarak Kampung Ponre
(sekarang Kelurahan Matekko, Kecamatan Gantarang) dengan ibukota kabupaten,
sekira 5 kilometer. Di kampung ini pula Fahmi Syariff lahir 10 tahun mendahului
saya.
Fahmi merampungkan
sekolahnya di SMA Negeri 198 Bulukumba dan lanjut memilih Fakultas Sastra
Universitas Hasanuddin Makassar (saat itu dikenal dengan nama Kampus Baraya) di
tahun 1967.
Di kampung saya, nama
Fahmi Syariff menjadi harum. Selain menjadi mahasiswa di universitas favorit, dia pun dikenal sebagai
seniman drama yang aktif di Dewan Kesenian Makassar (DKM) bersama Prof Dr Ahmad
Mattulada, yang juga berasal dari Bulukumba.
Apabila pulang kampung,
Fahmi menjadi pusat perhatian. Bertubuh ceking tapi gagah, penampilannya pun
nyentrik: celana sadelking, ketat, dengan rambut gondrong beriak di atas bahu.
Kadang-kadang dia tampil dengan syal kotak-kotak melilit di lehernya (ekspresi
anak muda di era Muchsin dan Titiek Sandhora).
Saya tidak mengenal Fahmi
secara dekat. Namun mendengar kepopulerannya di kampung, dan sesekali membaca
tulisannya di surat kabar, saya pun berminat mengikuti jejaknya. Saya ingin
kuliah di Fakultas Sastra Unhas, menjadi penulis dan pemain drama yang
terkenal.
Tamat SMA 1976, saya
pun menyiapkan diri mendaftar di Universitas Hasanuddin, dengan sasaran pilihan
Fakultas Sastra. Banyak teman yang mendukung cita-cita saya. Namun, tidak
sedikit pula yang tidak setuju dengan pilihan itu, terutama dari pihak
keluarga. Bahkan, seorang guru saya di SMP Gantarang pernah bercerita. Katanya
:
“Siapa bilang Fahmi Syariff sukses? Dia itu gagal kuliah. Sudah 10 tahun menjadi mahasiswa, tapi tak sampai-sampai sarjananya.” (bersambung)