------
PEDOMAN KARYA
Ahad, 12 Februari 2023
Muhlis
Madani Dikukuhkan Guru Besar Unismuh Makassar (4):
Muhlis
Madani: Kalau Tidak Diterima di Unhas atau IKIP, Saya Tidak Usah Kuliah
Oleh:
Asnawin Aminuddin
Muhlis Madani memiliki
jiwa petarung. Berani menghadapi tantangan. Dan selalu percaya diri. Itu terlihat
dari tekadnya yang begitu besar ingin kuliah pada perguruan tinggi negeri (PTN)
dan memotivasi dirinya tidak akan kuliah jika tidak lolos pada seleksi penerimaan
mahasiswa baru di PTN.
Pria kelahiran Parepare,
18 Mei 1963, menamatkan sekolah di SD tahun 1975 di Rappang, Kabupaten Sidrap,
kemudian tamat SMP (1979) dan SMA (1982) di Parepare.
Setelah Muhlis tamat SMA,
ayahnya sempat memintanya agar menunda niat melanjutkan pendidikan ke jenjang
perguruan tinggi, karena kebetulan usaha ayahnya saat itu dalam kondisi surut.
“Saat itu, saya hanya
bilang. Izinkan saya ikut tes perguruan tinggi negeri. Kalau saya tidak
diterima di Unhas atau IKIP, saya tidak usah kuliah. Saya berpikir tentu kuliah
di PTN tidak membutuhkan biaya besar, dibanding kuliah di PTS saat itu,” kenang
Muhlis.
Setelah mengikuti ujian
masuk perguruan tinggi negeri, ternyata Muhlis dinyatakan lulus di Jurusan Ilmu
Administrasi Negara Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, dan Jurusan
Pendidikan Kimia di (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Ujung Pandang
(sekarang Universitas Negeri Makassar).
Awalnya, ia merasa
mampu kuliah di dua kampus dalam waktu bersamaan, namun akhirnya ia berhenti di
IKIP.
“Soalnya sepele. Saya
teledor memecahkan tabung raksa di laboratorium. Dosen meminta saya mengganti
biayanya. Bagi saya saat itu, harganya cukup mahal. Jadi saya memilih fokus
menyelesaikan kuliah di Fisip Unhas,” ungkap Muhlis.
Saat kuliah di Fisip Unhas,
mimpi yang ada di benaknya adalah menjadi birokrat suatu saat nanti. Mimpi itu
begitu kuat dalam benaknya hingga menjelang semester akhir.
“Menjelang selesai, ada
dosen yang mengajak saya menjadi asistennya. Saya membantu beliau mengajar
mahasiswa junior saya. Ternyata saya menikmati aktivitas mengajar. Yang paling
saya sukai, saat berjalan menuju kelas, mahasiswa berlomba-lomba masuk kelas
dengan berujar ‘adami Bapak’,”ujar Muhlis dengan tersenyum.
Belum
Ada Keluarga Jadi Profesor
Setelah menyandang
gelar sarjana dari Fisip Unhas tahun 1987, Muhlis mulai mencoba peruntungan
dengan mendaftar pegawai negeri sipil (PNS, sekarang Aparatur Sipil Negara).
Tahun 1989, ia mendaftar di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk posisi
dosen di Kopertis, dan calon pegawai di Departemen Penerangan (Deppen).
Ternyata, dewi fortuna
berpihak padanya. Muhlis dinyatakan lulus pada dua posisi tersebut. Kabar baik
itu disampaikan Muhlis kepada ayahnya, Madani. Dan tanpa ‘ba-bi-bu’ dengan
mantap ayahnya langsung meminta agar Muhlis memilih menjadi dosen.
“Belum ada keluarga
kita yang jadi profesor. Pilih mi jadi dosen nak,” ungkap Muhlis mengenang
pernyataan sang ayahnya.
Pesan itulah, kata
Muhlis, yang terus terngiang dalam benaknya selama menapak karier sebagai
dosen.
“Sejatinya, impian jadi
professor adalah cita-cita semua dosen. Namun bagi saya, itu bukan sekadar
cita-cita, melainkan amanah Bapak saya,” kata Muhlis.
Sang Ayah bukan hanya
mendorong anaknya menjadi dosen. Ia juga berharap agar Muhlis mengabdikan diri
di kampus milik Muhammadiyah.
“Bapak saya pengurus
Muhammadiyah. Ia sangat berharap, saya bisa turut membesarkan Muhammadiyah
dengan menjadi dosen di Unismuh Makassar,” ungkap Muhlis.
Kebetulan saat itu,
lanjutnya, Madani, ayah Muhlis, akrab dengan KH Nasruddin Razak, salah satu
pengurus Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Sulsel kala itu. Rekomendasi dari
Kiai Nas itulah yang Muhlis setor ke Kopertis, hingga akhirnya ditempatkan di
Unismuh Makassar sejak terangkat PNS tahun 1989, hingga saat ini.
“Sejak dulu hingga
sekarang, saya hanya dikenal orang sebagai dosen Unismuh. Saya tidak pernah
pindah homebase ke tempat lain. Bagi saya, menjadi dosen di Unismuh, dari staf
pengajar hingga Guru Besar, bukan sekadar bekerja mencari nafkah. Ini adalah
amanah orang tua, yang bermimpi anaknya menjadi profesor sekaligus penggerak
persyarikatan,” tegas Muhlis.
Menurutnya, ruh
Muhammadiyah telah ditanamkan sang ayah pada dirinya sejak kecil. Sejak
sekolah, ia telah diikutkan dalam Latihan Olahraga Beladiri Tapak Suci Putra
Muhammadiyah.
“Semboyan ‘Dengan Iman dan Akhlak’, saya menjadi kuat, tanpa Iman dan Akhlak saya menjadi lemah’, tetap membekas dalam diri saya hingga saat ini,” kata Muhlis. (bersambung)
Artikel sebelumnya:
Fahsar Jadi Bupati Bone, Muhlis Madani Jadi Profesor
Muhlis Madani Raih Profesor Setelah 34 Tahun Jadi Dosen
Muhlis Madani Dikukuhkan Guru Besar Unismuh Makassar, Menteri dan Bupati Berikan Testimoni