Muhammadiyah itu memang
tidak dirancang untuk terlibat dalam politik praktis. Juga tidak harus berubah
menjadi organisasi modern yang penuh dinamika, karena memang tujuannya untuk
menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam agar terwujud masyarakat Islam
yang sebenar-benarnya.
——
PEDOMAN KARYA
07 Agustus 2015
Biarlah
Muhammadiyah Tetap “Kolot”
Oleh:
Asnawin Aminuddin
(Wakil Ketua Majelis
Pustaka dan Informasi Muhammadiyah Sulsel)
Muhammadiyah itu
organisasi kolot, tidak modern, tidak mengikuti arus perubahan dan perkembangan
zaman. Mana ada organisasi modern yang seperti Muhammadiyah, tidak memilih
langsung ketua umumnya untuk memimpin satu periode ke depan misalnya.
Mana ada organisasi
modern yang seperti Muhammadiyah, hanya memilih 13 pimpinan harian dan
selanjutnya menyerahkan kepada ke-13 orang itu bermusyawarah untuk memilih
ketua.
Lebih ironis lagi,
Ketua Muhammadiyah tidak harus dipilih dari 13 pimpinan harian tersebut,
melainkan dapat dipilih dari luar mereka dan itu beberapa kali terjadi.
Sebagai organisasi
kemasyarakatan (Ormas) Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah juga
seharusnya membuat organisasi politik, agar bisa menempatkan orang-orangnya di
pemerintahan dan legislatif, tetapi Muhammadiyah tidak melakukannya.
Maka ketika
pemerintahan Presiden Jokowi tidak memberi jatah menteri, bahkan ada yang
mengatakan “tidak mereken” Muhammadiyah untuk terlibat dalam Kabinet Kerja
Jokowi-JK, begitu banyak orang-terutama kader dan simpatisan Muhammadiyah-yang
kecewa dan marah.
Ada yang marah kepada
Presiden Jokowi, ada pula yang marah kepada Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Mereka marah karena
menganggap Presiden Jokowi “tidak mereken” Muhammadiyah. Mereka marah karena
menganggap Muhammadiyah tidak memanfaatkan Pilpres sebagai jalan atau pintu
untuk memasukkan kader Muhammadiyah dalam kabinet pemerintahan.
Pertanyaannya, apakah
Muhammadiyah harus berubah menjadi organiasi modern? Apakah Muhammadiyah harus
mengikuti perubahan dan perkembangan agar bisa terlibat dalam berbagai dinamika
pembangunan, khususnya di pemerintahan dan di legislatif?
Dalam Pasal 6 Anggaran
Dasar Muhammadiyah, disebutkan bahwa maksud dan tujuan Muhammadiyah ialah
menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam, sehingga terwujud masyarakat
Islam yang sebenar-benarnya.
Dengan demikian, sangat
jelas bahwa Muhammadiyah itu memang tidak dirancang untuk terlibat dalam
politik praktis. Juga tidak harus berubah menjadi organisasi modern yang penuh
dinamika, karena memang tujuannya untuk menegakkan dan menjunjung tinggi agama
Islam agar terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Muhammadiyah tentu saja
harus mengikuti perubahan dan perkembangan yang terjadi di Tanah Air, tetapi
organisasi yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan pada 1912 ini tidak harus
berubah menjadi organisasi modern.
Muhammadiyah tidak
harus memilih secara langsung ketua pada muktamar atau musyawarah wilayah.
Biarlah Muhammadiyah
tetap “kolot” dengan memilih 13 pimpinan harian, dan selanjutnya ke-13 pimpinan
harian itulah yang bermusyawarah secara internal untuk memilih siapa di antara
mereka atau di luar mereka yang akan disepakati menjadi ketua.
Tidak
Bersedia
Dalam sejarah
Muhammadiyah, pernah terjadi peristiwa yang tidak lazim, bahkan sangat langka
terjadi. Peristiwa itu terjadi pada Muktamar ke-32 Muhammadiyah di Purwokerto,
tahun 1953.
Ketika itu, dari
sembilan nama (ketika itu masih memilih sembilan formatur, bukan 13 orang
seperti sekarang) yang sudah dipilih muktamirin untuk melakukan musyawarah
mufakat memilih Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah Periode 1953-1956, ternyata
tak satu pun yang bersedia menjadi ketua.
Karena tidak ada yang
bersedia menjadi ketua, akhirnya mereka sepakat memilih calon alternatif.
Mereka kemudian berangkat ke Padang untuk membujuk Buya Ahmad Rasyid (AR) Sutan
Mansur agar mau menjadi ketua umum dan hijrah ke Jakarta atau Yogyakarta.
Dengan berat hati, Buya
AR Sutan Mansur menerima permintaan tersebut dan beliau pun menjalankan amanah
sebagai Ketua PP Muhammadiyah periode 1953-1956.
Pria kelahiran
Maninjau, Agam, Sumatera Barat, 15 Desember 1895 (dan meninggal pada 25 Maret
1985), kemudian kembali terpilih sebagai Ketua PP Muhammadiyah pada periode
1956-1959.
Peristiwa yang nyaris
serupa, juga terjadi di Sulawesi Selatan. Dalam tiga kali perhelatan Musyawarah
Wilayah Muhammadiyah Sulsel, tepatnya pada tahun 2000 di Takalar, tahun 2005 di
Parepare, dan tahun 2010 di Makassar, bukan peraih suara terbanyak yang menjadi
ketua.
Pada Musywil
Muhammadiyah Sulsel di Takalar, tahun 2000, dokter KH Subari Damopoli’i meraih
suara terbanyak, tetapi yang disepakati menjadi ketua adalah Drs KH Nasruddin
Razak.
Lima tahun kemudian di
Parepare, suara terbanyak diraih Ir HM Syaiful Saleh, tetapi birokrat itu tidak
bersedia menjadi ketua dan akhirnya ke-13 formatur terpilih sepakat
mempercayakan jabatan ketua kepada Drs KH Baharuddin Pagim.
Di Kota Makassar lima
tahun berikutnya (2010), suara terbanyak diraih KH Iskandar Tompo, tetapi
mantan anggota DPRD Sulsel itu tidak bersedia menjadi ketua dan akhirnya
disepakati memberi amanah Ketua Muhammadiyah Sulsel periode 2010-2015, kepada
Dr KH Alwi Uddin MAg.
Pesan yang bisa tangkap
dari peristiwa Muktamar ke-32 Muhammadiyah tahun 1953 di Purwokerto, dan tiga
kali pelaksanaan Musywil Muhammadiyah di Sulsel, adalah: “Jabatan itu bukan
segala-galanya, bahkan jabatan itu sesungguhnya adalah amanah yang sangat
berat.”
Inilah salah satu
contoh masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Masyarakat atau muslim itu tidak
gila jabatan, karena mereka tahu bahwa Rasulullah Muhammad SAW tidak pernah
mencontohkan perebutan jabatan atau kekuasaan.
Para khulafaur rasyidin
yaitu empat orang khalifah (pemimpin) pertama agama Islam, yang dipercaya oleh
umat Islam sebagai penerus kepemimpinan setelah Nabi Muhammad SAW, juga tidak
terpilih melalui proses pemilihan langsung, tetapi dipilih melalui musyawarah.
Keempat sahabat dekat
Rasulullah Muhammad SAW itu, yakni Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab,
Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib, menjadi khalifah bukan melalui proses
pemilihan atau pemungutan suara, dan bukan pula berdasarkan keturunannya,
melainkan dipilih berdasarkan konsensus bersama umat Islam.
Kolot
tapi Dinamis
Belajar dari
contoh-contoh tersebut dan demi menjaga nama baik Muhammadiyah, maka pengurus
dan kader-kader Muhammadiyah harus tetap menjaga marwah persyarikatan ini,
dengan tidak mengedepankan emosi sesaat atau pengaruh-pengaruh luar yang dapat
merusak Muhammadiyah.
Biarlah Muhammadiyah
tetap “kolot” karena memertahankan tradisinya yang tidak melakukan pemilihan
ketua secara langsung, tetapi pada prakteknya, organisasi ini harus dinamis
menghadapi perubahan dan perkembangan yang terjadi.
Muktamar ke-47
Muhammadiyah di Makasssar, 3-7 Agustus 2015, telah memberikan contoh yang baik
bagaimana berdemokrasi ala Muhammadiyah, yang ternyata sangat Islami, tenang,
dan mendapat pujian dari berbagai kalangan.
Biarlah Muhammadiyah
tetap bergerak dan berkontribusi di bidang pendidikan , kesehatan, dan
bidang-bidang sosial, tetapi bidang-bidang tersebut harus tetap menyesuaikan
diri dengan perubahan dan perkembangan yang terjadi.
Semakin banyak dan kian
berkembangnya amal usaha Muhammadiyah dalam berbagai bidang tersebut, dengan
sendirinya akan semakin meyakinkan orang bahwa meskipun Muhammadiyah tetap
menjaga tradisinya yang “kolot”, organisasi ini ternyata mampu bergerak dinamis
dan memberi kontribusi nyata kepada masyarakat, bangsa, dan negara.
—–
@copyright Harian FAJAR
Makassar, Jumat, 07 Agustus 2015