Senin, 21 September 2015
ANEKDOT
Ironi Mengejar
Kekuasaan
Oleh: Asnawin Aminuddin
Alkisah, pada zaman dahulu kala, ada
sebuah negeri yang penduduknya sangat religius. Raja dan rakyatnya menerapkan
hidup sederhana. Meskipun hidup sederhana, Raja sangat berwibawa dan dihormati.
Rakyat begitu bangga kepada rajanya.
Sebaliknya, Sang Raja pun sangat sayang
rakyatnya. Raja sering terang-terangan berkunjung dan bergaul dengan rakyat,
tetapi pada saat lain, ia menyamar lalu berkunjung dan bergaul dengan
rakyatnya.
Sebagai raja, ia tak lupa membangun
sekolah dan rumah sakit. Ia juga membangun gudang gandum. Dengan adanya
sekolah, semua rakyat menjadi pintar membaca dan menulis.
Dengan adanya rumah sakit, rakyat yang
sakit bisa diobati secara gratis, bahkan rakyat miskin disantuni, baik selama
dirawat di rumah sakit, maupun selama masa penyembuhan. Dengan adanya gudang
gandum, rakyat yang kesusahan di masa paceklik, bisa mendapatkan bantuan dari
raja.
Suatu hari raja sakit dan tak lama
kemudian mangkat. Rakyat pun berduka. Empat puluh hari berselang, para menteri
dan hulubalang sibuk membicarakan pengganti raja. Kebetulan negeri itu tidak
mengenal istilah pewaris tahta, karena raja dipilih oleh rakyat berdasarkan
usulan para menteri dan hulubalang.
Para menteri dan hulubalang mendatangi
Penasehat Raja untuk diminta menjadi raja, tetapi Sang Penasehat tidak
bersedia.
“Saya takut tidak bisa memikul amanah yang
berat,” katanya.
Para menteri dan hulubalang kemudian
mendatangi Patih Kerajaan untuk diminta menjadi raja, tetapi sang patih juga
menolak.
“Saya khawatir tidak bisa menjadi raja
yang baik,” jawabnya.
Karena dua sesepuh kerajaan tidak
bersedia, para menteri dan hulubalang pun kembali bersidang. Mereka saling
mendorong untuk bersedia menjadi raja dan yang lain siap mendukung, tetapi tak
satu pun di antara para menteri dan hulubalang yang bersedia.
Sidang pun deadlock dan diputuskan
untuk dilanjutkan keesokan harinya, tetapi lagi-lagi tidak ada di antara para
menteri dan hulubalang yang bersedia menjadi raja.
Akhirnya, para menteri dan hulubalang
mengadakan sayembara untuk mencari raja baru. Anehnya, hingga batas akhir waktu
pendaftaran sayembara ditutup, tak satu pun yang datang mendaftarkan diri untuk
mengikuti pemilihan raja baru.
Calon Independen
Di negeri tetangga, peristiwa yang sama
sedang terjadi. Raja jatuh sakit dan berhalangan tetap. Meskipun raja berkuasa
seumur hidup, tetapi para menteri dan hulubalang tetap bersikukuh ingin mencari
raja baru. Alasannya, roda pemerintahan kerajaan tidak jalan kalau raja tidak
bisa menjalankan tugas.
Mereka pun mengadakan sidang untuk
membahas pengganti raja. Mula-mula mereka mendatangi Penasehat Raja untuk
dimintai pendapatnya, tetapi Sang Penasehat malah mengajukan diri menjadi raja,
karena merasa sudah mengetahui seluk-beluk masalah kerajaan.
Setelah itu, para menteri dan hulubalang
mendatangi Patih Kerajaan, tetapi belum dimintai kesediaannya, Sang Patih malah
sudah lebih dahulu menyatakan kesediaannya.
“Saya tahu kalian datang untuk meminta
saya menjadi raja. Ketahuilah, sebenarnya saya sudah lama mempersiapkan diri,”
katanya sambil mengusap-usap janggutnya.
Para menteri dan hulubalang kembali
bersidang untuk memutuskan siapa yang akan dipilih menjadi raja. Ternyata
mereka terbagi tiga kelompok. Ada yang mendukung Penasehat Raja, ada yang
mendukung mendukung Patih Kerajaan, tetapi ada pula yang mengajukan calon
alternatif.
“Saya juga bersedia dan sudah siap menjadi
raja,” kata salah seorang menteri.
Karena ada tiga calon yang bersedia
menjadi raja dan kebetulan ketiganya memenuhi syarat, sidang pun memutuskan
akan mengadakan sayembara dengan beberapa persyaratan.
Akhirnya, para menteri dan hulubalang
mengadakan sayembara untuk mencari raja baru. Ternyata bukan hanya Penasehat
Raja, Patih Kerajaan, dan salah seorang menteri yang mengikuti seyembara,
melainkan juga ada dua kandidat lainnya.
Kedua kandidat tersebut menamakan diri
calon independen dan mengaku mendapat dukungan luas dari rakyat, padahal
sebenarnya mereka tidak memenuhi syarat.***
Makassar, 12 Agustus 2007
(Anekdot ini dimuat di harian Pedoman
Rakyat, Makassar, Senin, 13 Agustus 2007, halaman 4/Opini, rubrik “Lanskap”)
Ha..ha..ha...
BalasHapus