“Penguasa kepala batu”, mungkin itulah istilah yang cocok buat para penguasa yang tidak peduli atau mengabaikan pesan, aspirasi, dan opini publik yang berkembang di tengah masyarakat. |
PEDOMAN KARYA
28 Oktober 2015
Penguasa Kepala Batu
Oleh: Asnawin Aminuddin
(Praktisi Media dan
Pengajar)
Ada sebuah teori dalam
ilmu komunikasi (massa) yang disebut Teori Khalayak Kepala Batu (The Obtinate
Audience Theory).
Ide awalnya dikemukakan
oleh LA Richards pada tahun 1936, tetapi dikembangkan sebagai sebuah ilmu dan
teori baru oleh pakar psikologi Raymond Bauer pada tahun 1964.
Teori khalayak kepala
batu merupakan koreksi atau kritikan atas Teori Peluru (The Ballet Theory) atau
Teori Jarum Hipodermik (Hypordemic Needle Theory) yang berkembang dan
mendominasi kajian komunikasi sebelumnya. Kedua teori itu menganggap khalayak
(masyarakat) itu pasif.
Raymond Bauer mengeritik
asumsi tersebut dan mengatakan khalayak bukan robot yang pasif, serta bukan
hanya bersedia mengikuti pesan atau pembicaraan politik yang memberi keuntungan
atau memenuhi kepentingan dan kebutuhannya. (Anwar Arifin, 2008 : 89)
Khalayak tersebut terdiri
atas individu-individu yang selalu berinterelasi (berhubungan) dan berinteraksi
(saling memengaruhi) dengan individu-individu lainnya, dalam suatu wadah yang
disebut publik.
Publik atau penerima
(audience) itu sama sekali tidak pasif melainkan sangat aktif. Mereka aktif
menyaring, menyeleksi, dan mengolah secara internal semua pesan dan pembicaraan
yang berasal dari luar dirinya. Ini merupakan proses psikologi yang sangat
mendasar.
Publik atau khalayak
memiliki daya tangkal dan daya serap terhadap semua terpaan pesan kepada
mereka. Pesan yang masuk akan disaring, diseleksi, kemudian diterima atau
ditolak melalui filter konseptual.
Daya tangkal inilah yang
membuat publik atau khalayak sering juga disebut sebagai “khalayak kepala batu” (the obstinate audience).
Abaikan Aspirasi
Ketika membuat dan
memaparkan makalah dalam salah satu perkuliahan pada program pascasarjana
Universitas Satria, Makassar, penulis mengatakan, pada kenyataannya, bukan
hanya khalayak umum yang memiliki daya tangkal, melainkan juga orang yang
tengah berkuasa.
“Penguasa
kepala batu”,
mungkin itulah istilah yang cocok buat para penguasa yang tidak peduli atau
mengabaikan pesan, aspirasi, dan opini publik yang berkembang di tengah
masyarakat.
Penguasa kerap
mengabaikan opini publik yang berasal dari rakyat yang telah memilih dan
memberi mereka mandat untuk menjadi pemimpin, padahal dari mandat itulah
pemimpin dituntut sesegera mungkin untuk memenuhi kewajibannya: yakni
mewujudkan harapan menjadi kenyataan.
Semakin berlama-lama
menghadirkan perwujudan harapan, semakin pula menjauhkan kepercayaan pemberi
mandat. Dalam kondisi ini, ruang tunggu sejarah tidak menginginkan adanya
tumpukan kekecewaan. Sekali saja kekecewaan dimunculkan, sama artinya membuka
pintu ketidakpercayaan.
Menurut Kousoulas (1979),
opini publik dapat menjadi salah satu faktor politik jika dalam banyak hal ia
berpengaruh terhadap proses pengambilan dan pelaksanaan sesuatu keputusan oleh
para penyelenggara negara maupun politisi lainnya.
Opini publik merupakan
penjelmaan suara rakyat. Mengabaikan opini publik sama artinya memberikan
momentum penurunan kepercayaan kepada pemerintah.
Presiden,
gubernur,walikota, dan bupati sudah banyak yang merasakan dampak dari sikap
mereka yang kerap mengabaikan opini publik.
Duet Presiden SBY dan
Wapres Boediono bisa jadi contoh kasus sebagai “penguasa kepala batu”. Mereka berdua mengabaikan keinginan
rakyat dan opini publik yang menginginkan berbagai perubahan dan mengharapkan
peningkatan kesejahteraan rakyat.
Rakyat menginginkan
pelayanan yang baik, fasilitas umum yang memadai dan bisa dinikmati secara
merata, pendidikan yang bagus dan terjangkau, penghapusan sistem ujian
nasional, pemberantasan korupsi, penegakan hukum, dan lain sebagainya.
Keinginan rakyat dan
opini publik tersebut tampaknya tidak langsung direspons oleh duet
SBY-Boediono. Mereka mengabaikan opini publik. Mereka berdua menjadi “penguasa kepala batu.”
Dengan menjadi “penguasa kepala batu”, duet Presiden SBY dan Wapres Boediono
kini tidak lagi mendapat kepercayaan besar, bahkan sebaliknya mereka berdua
sudah dianggap gagal menjalankan pemerintahan. Dengan kata lain, duet
SBY-Boediono dianggap telah gagal melaksanakan amanat atau mandat yang
diberikan rakyat Indonesia kepada mereka.
Soekarno-Soeharto
Machiavelli mengatakan,
orang yang bijaksana tidak akan mengabaikan opini publik mengenai soal-soal
tertentu, misalnya pendistribusian jabatan dan kenaikan jabatan. Dengan kata
lain, penguasa yang tidak peduli dan mengabaikan opini publik pastilah bukan
orang yang bijaksana.
Kejatuhan Presiden pertama Indonesia, Soekarno, tidak
terlepas dari sikapnya yang sering mengabaikan opini publik. Jasanya yang
sangat besar sebagai Proklamator Kemerdekaan RI, tidak mampu menahan gejolak
kemarahan rakyat atas berbagai kebijakan dan langkah-langkahnya dalam memimpin
negara.
Soekarno antara lain
dianggap terlalu dekat dengan Partai Komunis Indonesia yang tidak disenangi
oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Soekarno juga tidak langsung memenuhi “Tritura” atau tiga tuntutan rakyat yakni bubarkan
PKI berserta ormas-ormasnya, perombakan kabinet Dwikora, serta turunkan harga
dan perbaiki sandang-pangan.
Presiden kedua Indonesia,
Soeharto juga terlalu lama mengabaikan opini publik. Pendapat umum atau opini
publik yang berkembang yaitu dirinya terlalu lama berkuasa (lebih dari 30
tahun) sehingga sudah perlu diganti, bahwa rakyat Indonesia membutuhkan
pemimpin baru yang lebih muda dan energik, bahwa pola pikir dan pola
kepemimpinannya sudah ketinggalan zaman di era modern.
Akibat pengabaian opini
publik tersebut, rakyat Indonesia kecewa dan kekecewaan itu terus-menerus
menumpuk. Rakyat Indonesia kemudian marah dan melakukan aksi unjuk rasa
besar-besaran menuntut Soeharto mengundurkan diri dan meletakkan jabatannya
sebagai Presiden RI. Karena kuatnya desakan tersebut, Soehato akhirnya
mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 atau sehari sesudah peringatan Hari
Kebangkitan Nasional.
Masyarakat Indonesia
kemudian menetapkan 21 Mei sebagai Hari Reformasi Nasional. Pengunduran atau
kejatuhan Soeharto sekaligus mengawali era baru pemerintahan dan kehidupan
demokrasi di Indonesia, yakni Era Reformasi.
Dengan berkaca pada
dampak dari pengabaian opini publik oleh tiga Presiden RI, serta demi tegaknya
demokrasi, kita berharap kepada para pengambil kebijakan, khususnya orang yang
tengah mendapat mandat dari rakyat untuk menjadi pemimpin, agar kiranya tidak
mengabaikan opini publik, serta berupaya menjalin komunikasi yang baik dan
positif dengan rakyat yang dipimpin dan yang telah memilihnya sebagai
pemimpin.***
-----------
Keterangan:
- Artikel opini ini
dimuat Harian TRIBUN TIMUR, Makassar, edisi Senin, 31 Mei 2010
Ketika tulisan saya ini dimuat di harian Tribun Timur, pada Senin, 31 Mei 2010, banyak yang bertanya dengan nada bercanda dalam logat Makassar:
BalasHapus"Siapa sedeng disindir itu belah?"
"Bukanji itu ditujukan kepada salah seorang pemimpin di Sulsel?"
Saya jawab, tulisan ini berlaku umum dan tidak dimaksudkan untuk menyindir pemimpin daerah di Sulsel. Saya menulis karena kebetulan waktu itu saya masih kuliah (Ilmu Komunikasi) pada Program Pascasarjana Universitas Satria Makassar dan sedang bersemangat menulis....