---------------------
PEDOMAN KARYA
Rabu, 11 November 2024
Pahlawan Nasional dan Andi Sultan Daeng Radja
Oleh:
Asnawin Aminuddin
Sejarah berdirinya dan sejarah
kemerdekaan Indonesia tak lepas dari perjuangan dan pengorbanan para pahlawan
bangsa. Mereka berjuang dan mereka berkorban demi berdirinya dan demi kemerdekaan
bangsa Indonesia.
Secara umum, pahlawan diartikan sebagai
orang yang menonjol karena keberaniannya dan pengorbanannya dalam membela
kebenaran, atau pejuang yang gagah berani.
Pahlawan Nasional Indonesia adalah warga
negara RI yang gugur dalam perjuangan-yang bermutu-dalam membela bangsa dan
Negara. Mereka adalah warga negara Republik Indonesia yang berjasa membela
bangsa dan negara yang dalam riwayat hidup selanjutnya tidak ternoda oleh suatu
perbuatan yang membuat cacat nilai perjuangannya.
Pemerintah Indonesia hingga tahun 2008
telah memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada 151 orang, tetapi jumlah
pahlawan nasional Indonesia jauh lebih banyak dari itu. Mereka yang selain 151
orang itu, kebetulan saja orang yang tidak dikenal, bukan pemimpin gerakan,
bukan raja, dan bukan siapa-siapa.
Namun terlepas dari itu semua, marilah
kita memberikan penghormatan kepada mereka. Hasil perjuangan mereka, para
Pahlawan Nasional Indonesia itu, telah kita nikmati semua.
Kini marilah kita lanjutkan perjuangan
mereka untuk memerdekakan negara Indonesia dan rakyat Indonesia dari penjajahan
dalam berbagai bentuk, karena sesungguhnya kita belum merdeka dalam arti
seluas-luasnya.
Dalam banyak kasus, kita belum merdeka,
bahkan kita masih terjajah. Ketika segelintir orang yang tinggal di Portugis
(Portugal) bersama segelintir orang yang tinggal di Timor Timur ingin
memisahkan Timor Timur dari Indonesia, ternyata Indonesia tak mampu
mempertahankannya. Kini Timor Timur telah lepas dari pangkuan Ibu Pertiwi dan
telah berdiri sebagai sebuah negara dengan nama Timor Leste.
Ketika pulau Sipadan dan Ligitan direbut
Malaysia, ternyata Indonesia juga tak berdaya mempertahankannya. Di sisi lain, rakyat Indonesia ternyata
juga masih terjajah. Kalau rakyat melapor ke kantor polisi karena kehilangan,
kecurian, teraniaya, dan lain-lain, biasanya harus ada uang melapor.
Kalau rakyat Indonesia sakit dan harus
berobat ke rumah sakit, biasanya harus ada uang untuk pemeriksaan, perawatan,
pembeli obat, dan uang lain-lain. Kalau rakyat Indonesia mau membuat Kartu
Keluarga, KTP, dan urusan lain di kantor lurah, kantor kecamatan, kantor
bupati/walikota, biasanya harus ada uang administrasi, uang terima kasih, dan
uang lain-lain.
Kalau rakyat Indonesia mau sekolah, mau
pintar, biasanya harus ada uang buku, uang pendaftaran, uang pembangunan, uang
Komite Sekolah, dan uang lain-lain. Kalau rakyat Indonesia mau jadi tentara,
polisi, atau pegawai negeri sipil, biasanya harus ada uang pendaftaran, uang
pelicin, uang terima kasih, dan uang lain-lain.
Di bidang pendidikan, UUD 45 yang asli
pada BAB XIII Pendidikan, Pasal 31, ayat (1), mengatakan; ''Tiap-tiap Warga
Negara berhak mendapat pengajaran.''
UUD 45 hasil amandemen pada BAB XIII
Pendidikan dan Kebudayaan, Pasal 31, ayat (1), mengatakan; ''Setiap warga
negara berhak mendapat pendidikan”. Ayat (2) berbunyi; ''Setiap warga negara
wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.''
Kenyataannya, pemerintah membiarkan saja
sekolah memungut berbagai macam biaya kepada para siswa. Kenyataannya,
pemerintah seperti tidak peduli kalau ada anak yang terpaksa tidak sekolah atau
putus sekolah, karena orangtua mereka tak mampu membiayai.
Itu semua menunjukkan betapa rakyat
Indonesia masih terjajah, terutama oleh bangsanya sendiri.
Seandainya para pahlawan nasional
Indonesia yang 151 orang itu masih hidup, mungkin mereka akan sedih. Seandainya
para pahlawan nasional Indonesia yang tidak dikenal tetapi tulus berjuang untuk
kemerdekaan Indonesia, masih hidup hingga kini, mungkin mereka pun gelisah.
Maka, wahai bangsa Indonesia, wahai
rakyat Indonesia, marilah kita lanjutkan perjuangan para pahlawan nasional
kita.
Kriteria
Pahlawan Nasional
Dengan banyaknya jumlah pahlawan
nasional, ada kesan bahwa kini syarat atau kriteria menjadi pahlawan nasional
tidak lagi sesulit dulu.
Sekarang tampaknya lebih gampang.
Syaratnya cukup dituliskan biografi calon pahlawan nasional tersebut dalam
bentuk buku, diseminarkan dengan antara lain menghadirkan pakar sejarah, lalu
diusulkan ke Jakarta. Setelah itu, tinggal tunggu Surat Keputusan Presiden RI,
maka jadilah ia pahlawan nasional.
Anggapan tersebut sungguh keliru, karena
tidak semua bahkan banyak calon pahlawan nasional yang diusulkan ke Jakarta,
tetapi tidak terbit SK-nya dari Presiden RI, karena ada kriteria yang tidak
dipenuhi.
Sedikitnya ada tujuh syarat atau
kriteria calon pahlawan nasional, yaitu (1) Warga Negara Republik Indonesia
yang telah meninggal dunia dan semasa hidupnya telah memimpin dan melakukan
perjuangan bersenjata atau perjuangan politik atau perjuangan dalam bidang lain
untuk mencapai, merebut, mempertahankan, mengisi kemerdekaan, serta mewujudkan
persatuan dan kesatuan bangsa.
Calon juga telah melahirkan gagasan atau
pemikiran besar yang dapat menunjang pembangunan bangsa dan negara dan telah
menghasilkan karya besar yang mendatangkan manfaat bagi kesejahteraan
masyarakat luas atau meningkatkan harkat dan martabat bangsa Indonesia.
(2) Pengabdian dan perjuangan yang
dilakukannya berlangsung hampir sepanjang hidupnya (tidak sesaat) dan melebihi
tugas yang diembannya. (3) Perjuangan yang dilakukannya mempunyai jangkauan
luas dan berdampak nasional.
(4) Memiliki konsistensi jiwa dan
semangat kebangsaan/nasionalisme yang tinggi. (5) Memiliki akhlak dan moral
keagamaan yang tinggi. (6) Tidak pernah menyerah pada lawan/musuh dalam
perjuangan, serta (7) dalam riwayat hidupnya tidak pernah melakukan perbuatan
tercela yang dapat merusak nilai perjuangannya.
Dengan tujuh kriteria tersebut, tentu
bukanlah hal yang mudah untuk menilai atau mengangkat seseorang sebagai
pahlawan nasional.
Pernah diusulkan seorang tokoh yang
berjuang sejak zaman Belanda, kemudian pada zaman Jepang hingga pada masa
kemerdekaan untuk diangkat sebagai pahlawan nasional. Namun, ternyata ada
dokumen yang mengindikasikan bahwa tokoh ini pernah menyerah pada tekanan
pemerintah pada masa Orde Baru. Maka betapa pun hebat perjuangannya, namun
salah satu kriteria (no. 6 di atas) tidak terpenuhi sehingga usulan pun gagal.
Ada pula seorang tokoh yang dikenal
telah berjuang sejak jaman Jepang hingga pada masa kemerdekaan. Ia dikenal pula
sebagai tokoh terkemuka pada masa peralihan Orde Lama ke Orde Baru, ikut
memberantas PKI. Agaknya layak ia diusulkan menjadi pahlawan nasional. Namun,
ada orang yang mengatakan bahwa pada perang kemerdekaan ia menyaksikan tokoh
ini lari dari medan perang. Kesaksian itu dikuatkan pula oleh saksi yang lain.
Maka calon seperti ini pun tidak mungkin bisa diajukan sebagai pahlawan
nasional.
Badan Pembina
Pahlawan Daerah
Siapa yang mengusulkan, siapa yang
membuat buku biografi, siapa yang melaksanakan seminar, dan siapa yang
mengusulkan calon pahlawan nasional?
Karena pengusulannya dari bawah, maka
urusan pahlawan nasional itu tentu dipercayakan kepada pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten/kota. Nama lembaganya, Badan Pembina Pahlawan
Daerah (BPPD) yang dipimpin oleh gubernur di setiap provinsi.
BPPD bertugas mengoordinasikan kegiatan
yang menyangkut nilai-nilai kepahlawanan dan derajat kepahlawanan yaitu dalam
hal: pelaksanaan koordinasi pelestarian nilai-nilai kejuangan dan kepahlawanan
dengan instansi terkait di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.
Selain itu, BPPD mengurus penggunaan dan
pemeliharaan taman makam pahlawan, pengusulan masyarakat asal daerah yang
memenuhi syarat-syarat dan kriteria yg ditetapkan, untuk dikukuhkan sebagai
pahlawan nasional, dan pelaksanaan penelitian dan pengkajian syarat-syarat
pengusulan sebagai pahlawan nasional dan penghargaan dari Pemerintah Provinsi.
Lembaga tersebut juga secara tidak
langsung bertanggungjawab mentransformasikan semangat dan nilai-nilai
kepahlawanan kepada generasi penerus, baik melalui sekolah dan perguruan
tinggi, maupun melalui ormas (kepemudaan, wanita) dll.
Andi Sultan
Daeng Radja
Andi Sultan Daeng Radja bersama tujuh
orang lainnya telah ditetapkan sebagai pahlawan nasional melalui Surat
Keputusan Presiden RI (Susilo Bambang Yudhoyono) Nomor 085/TK/Tahun 2006
tanggal 3 November 2006.
Tujuh pahlawan nasional lainnya yaitu
Pangeran Mangkubumi atau Sultan Hamengku Buwono I yang sekaligus menerima tanda
kehormatan bintang mahaputera adipurna, KH Noer Ali, RM Tirto Adhi Soerjo, H
Pajonga Daeng Ngalle Karaeng Polongbangkeng, Opu Daeng Risadju, dan Izaak Huru
Doko yang sekaligus mendapat tanda kehormatan bintang mahaputra adipradana.
Masih dalam SK yang sama, Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono juga memberikan tanda kehormatan Bintang Jasa Utama,
kepada Dr Mr H Teuku Moehammad Hasan, dan KH Muhammad Isa Anshary.
Bukan bermaksud menggugat kepahlawanan
Andi Sultan Daeng Radja, tetapi mungkin perlu diketahui mengapa beliau terpilih
dan ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Siapa sesungguhnya Andi Sultan Daeng
Radja? Bagaimana sepak terjang dan perjuangannya sampai beliau mendapat pengakuan
tersebut?
Masa Muda
Masa kecil Andi Sultan Daeng Radja
dihabiskan di Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan. Ia lahir di
Gantarang, Bulukumba, pada 20 Mei 1894.
Mungkin hanya kebetulan, tetapi pada
tanggal dan bulan yang sama 14 tahun kemudian, tepatnya 20 Mei 1908, sejumlah
pemuda Indonesia mendirikan organisasi pemuda bernama Boedi Oetomo yang
kemudian diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas).
Andi Sultan Daeng Radja adalah putra
pertama pasangan Passari Petta Lanra Karaeng Gantarang dan Andi Ninong.
Semasa muda, Andi Sultan Daeng Radja
dikenal taat beribadah dan aktif dalam kegiatan Muhammadiyah. Ia juga
disebut-sebut sebagai pendiri masjid di Ponre yang pada jamannya konon salah satu masjid terbesar
di Sulawesi Selatan.
Sebagai seorang anak karaeng (raja),
Andi Sultan Daeng Radja termasuk beruntung dapat mengenyam pendidikan formal.
Pada usia 8 tahun (1902), ia masuk sekolah Volksschool (Sekolah Rakyat) tiga
tahun di Bulukumba.
Tamat dari Volksschool, ia melanjutkan
pendidikannya ke Europeesche Lagere School (ELS) di Bantaeng. Selesai mengenyam
pendidikan di ELS, Sultan Daeng Radja melanjutkan pendidikannya di Opleiding
School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) di Makassar.
Saat sekolah di OSVIA, Andi Sultan Daeng
Radja sudah mulai merasa gelisah melihat ketimpangan di depan matanya. Ia
begitu benci kepada penjajah.
Kegelisahan dan kebenciannya terhadap
pemerintah kolonial dipicu oleh kesewenangan dan penindasan yang dilakukan
pemerintah Belanda terhadap rakyat Bulukumba.
Semangat untuk membela rakyat dan bangsa
Indonesia yang terpatri dalam jiwanya, semakin berkobar saat dirinya aktif
mengikuti perkembangan dan pertumbuhan organisasi kebangsaan yang muncul di
Pulau Jawa, seperti Budi Utomo (Boedi Oetomo) dan Serikat Dagang Islam yang
didirikan sebagai wadah perjuangan melawan penjajahan kolonial Belanda.
Bekerja di
Pemerintahan
Setelah menyelesaikan pendidikannya di
OSVIA pada tahun 1913, Andi Sultan Daeng Radja yang saat itu masih berusia 20
tahun, diangkat menjadi juru tulis kantor pemerintahan Onder Afdeeling
Makassar.
Beberapa bulan kemudian, ia diangkat
menjadi calon jaksa dan diperbantukan di Inl of Justitie Makassar. Tanggal 7
Januari 1915, ia diangkat menjadi Eurp Klerk pada Kantor Asisten Residen Bone
di Pompanua.
Selanjutnya, ia dipindahkan lagi ke
Kantor Controleur Sinjai sebagai Klerk. Dari Sinjai ditugaskan ke Takalar dan
mendapat jabatan wakil kepala pajak. Tak lama kemudian, ia ditugaskan ke
Enrekang dengan jabatan kepala pajak. Tahun 1918, ia ditugaskan sebagai
Inlandsche Besteur Asistant di Campalagian, Mandar.
Tanggal 2 April 1921, pemerintah
mengeluarkan surat keputusan mengangkat dirinya menjadi pejabat sementara
Distrik Hadat Gantarang menggantikan Andi Mappamadeng yang mengundurkan diri. Saat itu juga, Andi Sultan Daeng Radja
mendapat kepercayaan menjadi pegawai pada kantor Pengadilan Negeri (Landraad)
Bulukumba.
Kepala Adat
Kembalinya Andi Sultan Daeng Radja ke
Bulukumba, mendorong Dewan Hadat Gantarang mengadakan rapat memilih calon
kepala adat. Rapat tersebut kemudian memutuskan Andi Sultan Daeng Radja menjadi
Regen (Kepala Adat) Gantarang. Jabatan itu diembannya hingga pemerintahan
Belanda menyatakan pengakuannya atas kedaulatan Republik Indonesia.
Ikut Kongres
Pemuda
Ketika bekerja di Bulukumba dan saat
menjabat Kepala Adat itulah ia memiliki banyak kesempatan untuk berkomunikasi
dengan para pemuda di Makassar dan di Pulau Jawa yang memiliki keinginan sama
memerdekakan rakyat dan mendirikan negara Republik Indonesia.
Semangat Andi Sultan Daeng Radja untuk
membebaskan bangsanya dari penjajahan, membuat dia secara diam-diam mengikuti
Kongres Pemuda Indonesia, pada 28 Oktober 1928. Kongres itulah yang melahirkan
Sumpah Pemuda.
Sepulang mengikuti kongres, tekadnya
semakin berkobar untuk mengusir kolonial Belanda dari Indonesia.
Tahun 1930, Andi Sultan Daeng Radja
mendapat kehormatan menjadi Jaksa pada Landraad Bulukumba.
Ikut Rapat PPKI
Andi Sultan Daeng Radja bersama Dr
Ratulangi (yang kemudian diangkat menjadi Gubernur Sulawesi) dan Andi Pangerang
Pettarani (yang kemudian diangkat menjadi Gubernur Sulawesi Selatan), diutus
sebagai wakil Sulawesi Selatan mengikuti rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) di Jakarta.
PPKI adalah badan yang bekerja
mempersiapkan kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Usai mengikuti rapat PPKI, Andi Sultan
Daeng Radja, langsung pulang ke Bulukumba untuk memberi penjelasan kepada
rakyatnya mengenai hasil rapat PPKI dan menyusun rencana dalam rangka
menindaklanjuti peristiwa bersejarah kemerdekaan RI. Kabar kemerdekaan RI yang
disampaikan Sultan Daeng Radja, disambut rasa haru dan gembira oleh seluruh
rakyat Bulukumba.
Membentuk PPNI
Akhir Agustus 1945, Andi Sultan Daeng
Radja mengusulkan pembentukan organisasi Persatuan Pergerakan Nasional
Indonesia (PPNI). Organisasi ini, dipimpin Andi Panamun dan Abdul Karim. PPNI
dibentuk sebagai wadah menghimpun pemuda dalam rangka mengamankan dan membela
Negara Indonesia.
Ditahan
Beberapa hari setelah kemerdekaan RI 17
Agustus 1945, tentara sekutu mendarat di Indonesia termasuk di Bulukumba.
Kehadiran tentara sekutu, diboncengi tentara Belanda lengkap dengan
pemerintahan sipil yang disebut Nederlands Indisch Civil Administration (NICA).
Kehadiran NICA sama halnya kehadiran tentara Jepang, ingin menjajah Indonesia.
Sepak terjang Andi Sultan Daeng Radja
sebelum kemerdekaan RI dan sesudah kemerdekaan dalam memperjuangkan kemerdekaan
RI, ternyata membuat khawatir NICA. Apalagi, Sultan Daeng Radja menyatakan
tidak bersedia bekerjasama dengan NICA. Tanggal 2 Desember 1945 NICA menangkap
Andi Sultan Daeng Radja di kediamannya, Kampung Kasuara, Gantarang.
Andi Sultan Daeng Radja kemudian dibawa
ke Makassar untuk ditahan. Pemerintah kolonial berharap, penangkapan Sultan
Daeng Radja akan mematikan perlawanan rakyat Bulukumba. Tetapi yang terjadi
malah sebaliknya. Penangkapan beliau semakin membangkitkan perlawanan rakyat
Bulukumba terhadap NICA.
Memimpin dari
Dalam Tahanan
Para pejuang Bulukumba kemudian
membentuk organisasi perlawanan bersenjata yang dinamakan Laskar Pemberontak
Bulukumba Angkatan Rakyat (PBAR) yang dipimpin Andi Syamsuddin.
Dalam organisasi PBAR, Andi Sultan Daeng
Radja didudukkan sebagai Bapak Agung. Meski dipenjara, seluruh kegiatan PBAR
dipantau oleh Sultan Daeng Radja. Melalui keluarga yang menjenguknya, Sultan
Daeng Radja memberi perintah kepada Laskar PBAR.
Diasingkan ke
Manado
Setelah lima tahun di penjara di Makassar,
pada tanggal 17 Maret 1949, pengadilan kolonial kemudian mengadili dan memvonis
Andi Sultan Daeng Radja dengan hukuman pengasingan ke Manado, Sulawesi Utara,
hingga 8 Januari 1950.
Pemerintah NICA menuduh Andi Sultan
Daeng Radja terlibat dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI, sehingga
ia tidak lagi digunakan sebagai pemerintah.
NICA
kemudian menahan dan mengasingkan Andi Sultan Daeng Radja ke Manado, Sulawesi
Utara.
Tanggal 8 Januari 1950, setelah
Konferensi Meja Bundar (KMB) dan pengakuan kedaulatan RI oleh Pemerintah
Belanda, Andi Sultan Daeng Radja kemudian dibebaskan oleh Belanda dan kembali
ke Bulukumba.
Diangkat Jadi
Bupati
Pada 1 Juli 1950 Andi Sultan Daeng Radja
mundur dari jabatannya sebagai Kepala Adat Gantarang dan digantikan oleh
putranya Andi Sappewali Andi Sultan.
Setelah mundur dari jabatannya selaku
Kepala Adat Gantarang, Menteri Dalam Negeri berdasarkan Surat Keputusan
tertanggal 11 Juni 1951 mengangkatnya menjadi bupati pada kantor Gubernur
Sulsel. Tanggal 4 April 1955, beliau ditugaskan sebagai Bupati Daerah Bantaeng
dan diangkat menjadi pegawai negeri tetap.
Tahun 1956, Sultan Daeng Radja diangkat
menjadi residen diperbantukan pada Gubernur Sulsel sesuai keputusan presiden.
Setahun kemudian beliau diangkat menjadi Anggota Konstituante.
Wafat
Andi Sultan Daeng Radja wafat pada 17
Mei 1963 di Rumah Sakit Pelamonia Makassar dalam usia 69 tahun. Semasa
hidupnya, Andi Sultan Daeng Radja memiliki empat istri dan 13 anak.
Jadi Pahlawan
Nasional
Perjuangan Andi Sultan Daeng Radja dalam
melawan penjajahan di Indonesia, akhirnya mendapat penghargaan tinggi dari
Pemerintah Indonesia.
Berdasarkan Keputusan Presiden RI No.
085/TK/Tahun 2006, tertanggal 3 November 2006, Presiden SBY menganugerahkan
gelar Pahlawan Nasional dan Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera Adipradana
kepada Andi Sultan Daeng Radja, di Istana Negara pada tanggal 9 November 2006.
Daftar
Pustaka:
-
www.bulukumba.go.id
-
www.wikipedia.org
-
www.indonesia.go.id
-
Kamus Besar Bahasa Indonesia Tahun 2001
-
Lubis, Nina Herlina, “Kriteria Pahlawan Nasional”, Surat Kabar Harian Pikiran
Rakyat, Bandung, November 2006.
-
Asnawin, “Kita Belum Merdeka, Kita Masih Terjajah”, Surat Kabar Harian Pedoman
Rakyat, Makassar, 9 Juli 2007.- http://kabupatenbulukumba.blogspot.co.id/2009/07/pahlawan-nasional-dan-andi-sultan-daeng.html