------------
PEDOMAN KARYA
Ahad, 1 November 2016
PWI, Netizen, dan
Wartawan Abal-abal
(Tantangan Bagi
Pengurus Baru PWI Sulsel)
Oleh: Asnawin
Aminuddin
(Pengurus PWI Sulsel)
Angin
reformasi berembus kencang sejak 1998. Embusannya juga sangat terasa di dunia
pers. Para wartawan dan pemilik media sangat gembira. Yang unik, mereka yang
bukan wartawan pun turut gembira. Mereka yang bukan pengusaha media pun turut
senang.
Para
wartawan dan pemilik media gembira, karena mereka merasa terbebas dari belenggu
ancaman pidana dan beredel (bredel). Yang bukan wartawan gembira karena mereka
melihat peluang menjadi wartawan menjadi sangat terbuka tanpa harus memiliki
pengetahuan, ijazah, atau sertifikat pelatihan jurnalistik.
Begitu
pula para pengusaha yang tadinya masih takut atau setengah-setengah terjun ke
bisnis media, menjadi senang karena melihat ada peluang menerbitkan media cetak
misalnya, tanpa harus takut kena beredel.
Tiba-tiba banyak orang yang merasa berhak menjadi wartawan.
Maka tiba-tiba banyak orang yang menjadi wartawan. Mereka memiliki kartu pers, padahal mereka tidak pernah melalui
jenjang pendidikan jurnalistik yang memadai dan benar.
Maka tidaklah mengherankan kalau banyak oknum wartawan
yang menyalahgunakan profesinya dan melanggar Kode Etik Jurnalistik (KEJ) atau Kode
Etik Wartawan (KEW).
Di
sisi lain, juga bermunculan koran baru, tabloid baru, majalah baru, radio
siaran baru, televisi siaran baru, dan belakangan media online baru. Sayangnya,
tidak semua media massa baru tersebut berbadan hukum. Tidak semua media massa
baru tersebut mengikuti aturan main di dunia jurnalistik.
Wartawan
yang tidak memiliki pengetahuan yang memadai dalam bidang jurnalistik dan
memang tidak punya niat baik untuk melaksanakan kegiatan jurnalistik inilah
yang sering disebut wartawan abal-abal.
Begitu
pula media massa yang tidak berbadan hukum, tidak jelas alamat kantornya, tidak
jelas struktur redaksinya, dan tidak terdaftar di Dewan Pers, itulah yang masuk
kategori media massa abal-abal.
Abal-abal
sebenarnya belum masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Abal-abal berasal dari bahasa daerah Ambon yang kurang
lebih berarti palsu, tidak bermutu, tidak
semestinya, ngawur, rusak, dan lain-lain yang semacamnya.
Meskipun
belum masuk dalam KBBI, kata abal-abal rasanya sudah begitu akrab di telinga
kita, karena sudah sering digunakan dalam dunia jurnalistik, dalam penulisan
berita, atau dalam pemberitaan.
Dengan
demikian, wartawan abal-abal dapat diartikan sebagai wartawan yang tidak benar,
wartawan yang tidak bermutu, wartawan yang kerjanya merusak, wartawan yang
tidak melaksanakan tugas jurnalistik dengan benar.
Mereka
menjadi wartawan semata-mata hanya untuk kepentingan pribadi dengan cara
mengancam, memeras, atau meminta-minta uang dengan berbagai dalih.
Pertanyaannya
sekarang, apa yang harus kita lakukan terhadap wartawan abal-abal tersebut? Apa
yang harus dilakukan oleh organisasi wartawan seperti PWI (Persatuan Wartawan
Indonesia) terhadap wartawan abal-abal?
Pertanyaan
inilah yang antara lain harus dijawab oleh pengurus PWI Sulsel periode
2015-2020. Ini bukan pertanyaan biasa, tetapi ini sekaligus merupakan tantangan
bagi para pengurus PWI.
PWI
tidak boleh mengabaikan keberadaan wartawan abal-abal. PWI dapat merangkul
mereka, mengajak mereka menjadi wartawan yang profesional, mengikutkan mereka
pelatihan jurnalistik yang benar, serta mengarahkan mereka bekerja pada media
massa yang berbadan hukum dan melakukan kegiatan jurnalistik yang benar.
Pengurus
PWI tentu tahu bahwa tujuan PWI antara lain terwujudnya kehidupan Pers Nasional
yang merdeka, profesional, bermartabat, dan beradab, terpenuhinya hak publik
memperoleh informasi yang tepat, akurat, dan benar, serta terwujudnya tugas
pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
kepentingan publik.
Guna
mewujudkan tujuan tersebut, PWI harus berupaya meningkatkan ketaatan wartawan
pada Kode Etik Jurnalistik demi citra, kredibilitas, serta integritas wartawan
dan PWI, mengembangkan kemampuan profesional wartawan, serta memperjuangkan
kesejahteraan wartawan.
Netizen
Tantangan
lain yang harus dihadapi pengurus PWI Sulsel ke depan adalah keberadaan netizen.
Jumlah netizen sangat banyak dan mereka ada di sekitar kita, bahkan kita semua
boleh jadi adalah netizen.
Seperti
kata abal-abal, netizen juga belum masuk dalam KBBI. Kata netizen pertama
kali dibuat oleh Michael Hauben. Pada tahun 1992, ia menciptakan
istilah netizen untuk menggambarkan pengguna internet (user)
yang memiliki rasa tanggung jawab sebagai warga internet.
Netizen
merupakan istilah yang dibentuk dari kata Net (internet) dan Citizen (warga).
Jika disatukan, artinya kurang lebih "warga internet" atau
"penduduk dunia internet". Sederhananya, netizen adalah pengguna
internet yang berpartisipasi aktif (berkomunikasi, mengeluarkan pendapat,
berkolaborasi) dalam media internet. (Ilham Akhsanu Ridlo,
mutupelayanankesehatan.net)
Netizen
adalah semua orang yang mengakses dan menggunakan internet. Semua orang yang
menggunakan internet bisa disebut netizen, termasuk ibu
rumah-tangga yang aktif bermain-main di media sosial (Medsos).
Para
netizen bukan hanya mereka yang aktif mengekspos berita melalui media online,
melainkan semua orang yang memanfaatkan internet untuk berinteraksi, termasuk
mereka yang melakukan kerja-kerja jurnalistik.
Banyak
netizen yang mencari dan menulis berita di internet. Ada yang menulis berita di
website, ada yang menulis berita di blog (blogger), ada pula yang aktif menulis
berita di media sosial (facebook, twitter, dll).
Kehadiran
para netizen berita ini tidak boleh diabaikan oleh PWI sebagai organisasi
wartawan terbesar di Tanah Air, karena keberadaan dan aktivitas mereka menulis
atau menyajikan berita menjadi “pesaing berat” para wartawan.
PWI
bisa saja merangkul mereka dengan cara mengikutkan mereka pelatihan
jurnalistik, agar mereka tahu tahu rambu-rambu di dunia jurnalistik, dan agar
mereka tahu cara menulis berita yang benar sesuai dengan kaidah jurnalistik.
Sangat
boleh jadi, akan banyak di antara mereka yang akhirnya terjun menjadi wartawan.
Kalau pun tidak menjadi wartawan, PWI sudah memberikan mereka bekal pengetahuan
tentang Kode Etik Jurnalistik dan penulisan berita yang benar.
Ingat,
para Humas instansi pemerintah, Humas (public relations) perusahaan
swasta dan Humas organisasi, juga umumnya aktif di dunia internet. Artinya,
mereka juga adalah netizen yang membutuhkan pengetahuan jurnalistik. Karena
itulah, PWI Sulsel juga harus membina hubungan degan mereka.
Tantangan-tantangan
seperti itulah yang harus dihadapi pengurus PWI Sulsel. Organisasi wartawan
terbesar ini harus melakukan pembinaan terhadap wartawan, dan juga harus
berupaya mewujudkan kehidupan Pers Nasional yang profesional, bermartabat, dan
beradab.
Melalui
pembinaan tersebut, kita berharap hak publik guna memperoleh
informasi yang tepat, akurat, dan benar, dapat terpenuhi.
Selamat
atas terpilihnya ketua dan pengurus baru PWI Sulsel periode 2015-2020, semoga
PWI Sulsel dapat menjawab berbagai tantangan guna menciptakan kehidupan pers
yang profesional dan bermartabat.
---
Keterangan:
Artikel opini ini
dimuat Harian Fajar, Makassar, halaman 8, edisi Sabtu, 31 Oktober 2015
-------
Tags
Opini