Konon pada sebuah kerajaan ratusan tahun silam, bertahtalah seorang raja yang sangat dihormati dan ditakuti oleh rakyatnya. Ia tak ingin ada seorang pun yang tidak menghormatinya, apalagi berani melawannya. Untuk memastikan bahwa semua rakyatnya hormat dan takut, ia sesekali berparade di jalan-jalan. Ia akan sangat senang kalau semua orang menundukkan kepala atau membungkuk bila dirinya sedang berparade.
---------
Kamis, 03 Desember 2015
Dongeng:
Raja
dan Rakyat Jelata
Konon
pada sebuah kerajaan ratusan tahun silam, bertahtalah seorang raja yang sangat dihormati
dan ditakuti oleh rakyatnya. Sang raja adalah mantan panglima perang. Badannya tinggi
besar, kumisnya tebal, dan juga brewokan. Meskipun demikian, ia tetap tampak
gagah, karena ia rajin berolahraga dan perutnya tidak buncit.
Sebagai
raja, tentu saja ia dihormati, tetapi dirinya ingin lebih dari itu. Ia ingin
dihormati dan ditakuti. Ia tak ingin ada seorang pun yang tidak menghormatinya,
apalagi berani melawannya.
Untuk
memastikan bahwa semua rakyatnya hormat dan takut, ia sesekali berparade di
jalan-jalan. Ia akan sangat senang kalau semua orang menundukkan kepala atau
membungkuk bila dirinya sedang berparade.
Suatu
hari sang raja bersama para pengawal dan tentaranya melakukan parade. Semua
orang pun memberikan hormat ketika raja lewat. Mereka menundukkan kepala atau
membungkuk, bahkan tidak sedikit pula yang bersujud.
Di
tengah kegembiraannya mendapat penghormatan dari rakyatnya, tiba-tiba raja
kaget dan marah, karena ternyata ada seorang rakyat jelata yang berdiri tegak di bawah pohon mangga dan menatap tajam ke arahnya.
Dengan
geram, raja langsung memerintahkan pengawal dan tentara untuk menangkap dan
membawa rakyat tersebut ke Istana Kerajaan. Dirinya ingin tahu mengapa rakyat
jelata itu tidak takut bahkan berani menatap ke arahnya saat dirinya berparade.
Setelah
diperhadapkan, sang raja langsung memperlihatkan wajah sangarnya dan bertanya
kepada rakyat jelata tersebut.
“Semua
orang menghormatiku. Semua orang tunduk ketika aku berparade. Semua orang takut
kepadaku. Mengapa kamu tidak memberi hormat, Mengapa kamu begitu berani
menatapku?” tanya raja dengan nada tinggi.
Mendengar
pertanyaan itu dan melihat kemarahan raja, si rakyat jelata tetap tenang dan
sama sekali tidak menunjukkan rasa takut.
"Biarlah
semua orang menghormat kepada Yang Mulia Raja. Biarlah semua orang takut kepada
Yang Mulia Raja. Mereka mungkin takut karena menginginkan sesuatu dari Yang Mulia Raja, misalnya harta, kedudukan, dan atau
kekuasaan. Tetapi itu semua tidak ada artinya bagi hamba. Untuk apa hamba memberi
hormat kepada Yang Mulia Raja. Untuk apa hamba takut kepada Yang Mulia Raja, apabila
hamba mempunyai dua budak yang selama ini menjadi tuan dari Yang Mulia Raja,”
kata si rakyat jelata.
Meskipun
tutur kata si rakyat jelata itu sopan, raja dan semua orang yang mendengarnya
menjadi ternganga. Mereka tidak percaya si rakyat jelata berani berbicara seperti
itu kepada raja. Raja tentu saja semakin marah.
"Apa
maksudmu wahai rakyat jelata?" bentak raja.
"Kedua
budak hamba yang menjadi tuan Yang Mulia Raja selama ini adalah amarah dan
ketamakan," jawab si rakyat jelata dengan tenang.
Mendengar
jawaban tersebut, raja akhirnya tersadar. Air matanya mengalir ke pipi. Ia menangis dan memohon ampun
kepada Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa. Ia kemudian melangkah ke arah si rakyat jelata dan
memeluknya erat-erat.
“Terima
kasih, engkau telah menyadarkan aku,” katanya. (Asnawin Aminuddin, hasil kreasi
setelah membaca beberapa referensi)