KEARIFAN LOKAL. Kerja bakti warga kompleks perumahan merupakan salah satu wujud kearifan lokal. Para laki-laki tua dan muda bersama-sama membersihkan got dan jalanan, sedangkan ibu-ibu dan remaja putri menyiapkan minuman dan makanan ringan. (Foto: Asnawin Aminuddin)
---------
PEDOMAN
KARYA
Kamis,
21 Januari 2016
Kebudayaan
Pinjaman dan Kearifan Lokal di Sulsel
Oleh:
Asnawin Aminuddin
(Wartawan,
Pemerhati Masalah-masalah Sosial Budaya)
Masyarakat Sulawesi Selatan (Sulsel)
memiliki banyak kebudayaan dan kearifan lokal, tetapi sebagian masyarakat dan
sejumlah orang yang tengah berkuasa, lebih senang ‘’memakai baju’’ kebudayaan
pinjaman dan ‘’melepas baju’’ kebudayaan atau kearifan lokal. Itu terjadi
karena adanya komunikasi antar-budaya dan lemahnya pertahanan budaya masyarakat
Sulsel.
Komunikasi antar-budaya secara langsung
maupun secara tidak langsung telah ‘’membuka mata’’ orang Sulsel bahwa ada
budaya lain yang berbeda dengan budaya asli mereka. Ada yang terbelalak
matanya, ada yang silau, ada yang menyipitkan matanya, dan ada yang menutup
mata.
Kemajuan teknologi (terutama teknologi
komunikasi), derasnya arus informasi, bertambahnya orang kaya yang mampu
‘’jalan-jalan’’ ke kota, provinsi, dan atau ke negara lain, serta banyaknya
orang asing yang berkunjung ke daerah kita, secara tidak langsung telah
mengakibatkan terjadinya kontak atau komunikasi antar-budaya.
Kontak dengan kebudayaan lain dapat
mengakibatkan perubahan atas satu kebudayaan atau bahkan dua kebudayaan
sekaligus. Pada awal kontak antar-budaya, terjadi proses peniruan karakteristik
dari isi suatu unsur kebudayaan tertentu. Setelah proses peniruan itu dipakai
berulang-ulang dan dibiasakan dalam suatu komunitas tertentu, maka kebudayaan
yang sebelumnya hanya merupakan pinjaman, berubah menjadi kebudayaan setempat.
Dalam kebudayaan, proses pinjaman
kebudayaan berbeda dengan akulturasi. Akulturasi adalah proses pertemuan
unsur-unsur dari berbagai kebudayaan yang berbeda, yang diikuti dengan
percampuran unsur-unsur tersebut.
Syarat akulturasi adalah harus didahului
oleh kontak, tetapi dalam kebudayaan pinjaman tidak selalu atau bahkan tidak
didahului dengan kontak. Sebagian masyarakat Sulsel tidak kontak dengan
kebudayaan Amerika, tidak pernah pergi ke Negeri Paman Sam, tetapi banyak di
antara mereka yang suka makan ayam goreng di McDonald, California Fried
Chicken, dan atau Kentucky Fried Chicken.
Sebelum berbicara lebih jauh tentang
kebudayaan pinjaman di Sulawesi Selatan, ada baiknya terlebih dahulu kita
memiliki pemahaman yang sama tentang budaya dan kebudayaan.
Kebudayaan berasal dari kata budaya yang
memiliki banyak arti, antara lain adat istiadat, sesuatu mengenai kebudayaan
yang sudah berkembang (beradab, maju, dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan
yang sukar diubah).
Secara etimologis, budaya berasal dari
bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi yang
berarti budi atau akal. Budaya kemudian diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan
dengan budi dan akal manusia.
Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut
culture, yang berasal dari kata Latin, colere, yaitu mengolah atau mengerjakan.
Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga
kadang diterjemahkan sebagai kultur dalam bahasa Indonesia.
Berdasarkan pengertian kata dasarnya
itu, maka kebudayaan diartikan sebagai hasil kegiatan dan penciptaan batin
(akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat.
Kebudayaan juga diartikan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai
makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan
yang menjadi pedoman tingkah lakunya.
Edward Burnett Tylor dalam bukunya
‘’Primitive Culture’’ mengatakan, kebudayaan adalah kompleks dari keseluruhan
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, adat istiadat, serta setiap
kemampuan lain dan kebiasaan yang dimiliki oleh manusia sebagai anggota suatu
masyarakat.
Kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat
merupakan kekuatan abstrak yang mampu memaksa dan mengarahkan pendukungnya
untuk berperilaku sesuai dengan sistem pengetahuan, gagasan, dan kepercayaan
yang dimiliki oleh masyarakat.
Kebudayaan lokal Sulawesi Selatan adalah
kebudayaan yang dimiliki masyarakat Sulsel berupa kebiasaan-kebiasaan secara
turun-temurun dalam berperilaku, berbuat, dan melakukan sesuatu dalam kehidupan
sehari-hari.
Kebudayaan Lokal
Dalam berbagai literatur, dari berbagai
hasil diskusi, serta berdasarkan pengalaman pribadi sebagai orang yang lahir
dan dibesarkan dalam kebudayaan lokal Sulsel, penulis dapat menyebutkan
beberapa kebudayaan asli dan kearifan lokal masyarakat Sulsel.
Beberapa puluh tahun silam, perempuan
Sulsel (khususnya Bugis-Makassar) jarang sekali keluar rumah. Kalau mereka
keluar rumah, maka kita dengan mudah akan mengenali dan mengidentifikasi mereka
sebagai perempuan, terutama dari rambut dan pakaiannya (feminim). Mereka juga
lebih banyak tersenyum dan hanya sekali-sekali berbicara tetapi itupun dengan
‘’volume kecil.’’
Sekarang, perempuan Sulsel
‘’berkeliaran’’ di mana-mana dan tak jarang penampilan mereka tidak ada bedanya
dengan laki-laki. Kalau berbicara, volume suara mereka kadang-kadang lebih
besar dibanding volume suara laki-laki.
Orang Sulsel juga sangat gemar
bergotong-royong (abbulo sibatang/mabbulo sibatang). Memindahkan atau membangun
rumah pun sering dilakukan secara gotong-royong. Semuanya dilakukan secara
sukarela, senang hati, bahkan dalam suasana ceria. Sekarang, gotong-royong
sudah merupakan barang langka dan mahal harganya.
Jika ada di antara tetangga atau keluarga
yang mengalami kesulitan, sedang susah, atau perlu dibantu, maka orang-orang
akan segera memberikan bantuan secara sukarela, karena orang Sulsel punya
budaya kesetiakawanan sosial (pesse/pacce), serta saling tolong-menolong (mali
siparappe, rebba sipatokkong).
Dalam pergaulan sehari-hari, orang
Sulsel sangat menjaga tata krama (ada’/ade’), tetapi sekarang sudah banyak
orang Sulsel yang seolah-olah tidak mengenal ada’ atau ade’, baik dalam
pergaulan dengan orang lain, maupun pergaulan dengan orang yang lebih tua atau
bahkan dengan orangtua kandung.
Dulu, pemimpin dipilih berdasarkan
kapasitas dan dedikasi. Pemimpin zaman dulu juga sangat dihormati, disegani,
bahkan kadang-kadang ditakuti, karena mereka berani dan bertanggung-jawab
(warani/barani), memiliki keyakinan yang teguh (getteng), serta menjaga harga
diri (siri’), sehingga mereka punya kharisma dan kewibawaan. Sekarang pemimpin
(penguasa) dipilih karena ‘’isi tas’’ dan prestasi semu, tetapi tidak banyak di
antara mereka yang dihormati, disegani, apalagi ditakuti.
Kebudayaan
Pinjaman
Kini kebudayaan dan kearifan lokal sudah
banyak yang terlupakan dan diganti dengan kebudayaan pinjaman.
Beberapa kebudayaan pinjaman itu antara
lain cara berpakaian yang tidak lagi feminim di kalangan perempuan, cium pipi
kanan – cium pipi kiri (cipika-cipiki) setiap bertemu, anak menyapa orangtua
dengan tanpa rasa hormat, dan murid menelepon guru tanpa rasa segan.
Selain itu, banyak orang yang lebih
senang mengungkapkan kekecewaan dan atau kemarahan secara frontal (aksi
unjukrasa, dsb), serta banyak ditemui remaja atau orang dewasa lain jenis
kelamin dan bukan suami-isteri berdua-duaan dan bermesraan di tempat umum.
Kita juga sering membiarkan orang lain
(keluarga, sahabat, tetangga, rekan kerja) berbuat hal-hal yang kurang bagus,
serta lebih mendahulukan berbagai macam kesibukan dibanding bersosialisasi dan
berkomunikasi dengan tetangga.
Kebudayaan pinjaman lain yaitu
menghabiskan malam di tempat hiburan malam (THM), menyanyikan lagu-lagu keras
dengan syair bahasa asing, serta membangun rumah dengan meniru gaya arsitektur
Barat.
Masih banyak lagi kebudayaan pinjaman
yang akhirnya seolah-olah sudah menjadi kebudayaan setempat masyarakat Sulsel.
Budaya korupsi juga mungkin masuk
kategori kebudayaan pinjaman, karena sampai saat ini penulis belum menemukan
literatur yang menyatakan bahwa orang Sulsel zaman dulu suka korupsi.
Sebagai ‘’produk’’ orang Sulsel tahun
enampuluhan, penulis sangat merindukan tampilnya kembali kebudayaan lokal dan
kearifan lokal sebagai ‘’tuan rumah’’ di Sulsel. Masih bisakah itu diwujudkan?
(***)
--------
Keterangan:
-- Artikel
opini ini dimuat pertama kali di Harian Ujungpandang Ekspres, Makassar, edisi Selasa,
18 Mei 2010, dengan judul: “Banyak Kebudayaan Pinjaman di Sulsel”.
------------