CINTA. "Bila ingin dicintai makhluk langit, cintailah makhluk bumi". Begitulah kalimat yang tertera pada batu nisan Muhammad Idris bin Muhammad Idris (Prof Idris Arief, mantan Rektor IKIP/UNM), di Pemakaman UNM, Limbung, Kecamatan Bajeng, Kabupaten Gowa.
--------
PEDOMAN
KARYA
Senin,
25 Januari 2016
Mengenang Almarhum Prof Idris Arief
"Bila
ingin dicintai makhluk langit, cintailah makhluk bumi."
Begitulah kalimat yang tertera pada batu
nisan Muhammad Idris bin Muhammad Arief (Prof Idris Arief, mantan Rektor
IKIP/UNM), di Pemakaman UNM, Limbung, Kecamatan Bajeng, Kabupaten Gowa.
Saya membacanya sambil menundukkan
kepala. Begitu dalam makna kalimat tersebut. Saya tertunduk sambil mengenang
almarhum, yang sudah saya anggap sebagai ayah dan beliau pun (insya Allah)
menganggap saya sebagai anak.
Ketika saya masuk kuliah di UNM (dulu
IKIP Ujungpandang) pada Fakultas Ilmu Keolahragaan (dulu Fakultas Pendidikan
Olahraga dan Kesehatan, disingkat FPOK) tahun 1986, almarhum Idris Arief sudah
jadi dosen.
Ketika saya jadi wartawan di Harian
Pedoman Rakyat tahun 1992, almarhum Idris Arief sudah menjabat Wakil Rektor.
Sejak itulah, saya mengenal beliau dan mulai berteman sebagai wartawan dan
narasumber berita.
Kami menjadi lebih akrab ketika beliau
terpilih menjadi rektor (1999-2003, 2003-2007). Keakraban kami tetap berlanjut
saat beliau tidak lagi menjabat rektor.
Saya sering menemui beliau
(kadang-kadang juga beliau yang memanggi saya) dan berbincang-bincang santai di
ruang kerjanya, baik ketika masih menjabat rektor, maupun setelah beliau lebih
banyak menghabiskan waktu di Kampus STIEM Bongaya sebagai pendiri dan sekaligus
ketua yayasan.
Almarhum juga cukup rajin menulis,
termasuk artikel opini untuk dimuat di surat kabar. Kadang-kadang beliau
memanggil saya untuk membaca tulisannya sebelum dikirim ke media massa.
Yang juga sangat berkesan dan tak
mungkin saya lupakan, yaitu ketika almarhum membantu saat kami benar-benar
butuh bantuan, antara lain ketika saya diopname di rumah sakit dan beliau
mengutus seseorang mengantarkan amplop berisi uang, yang jumlahnya melebihi
jumlah yang harus kami bayar.
Masih banyak lagi bantuannya kepada kami
yang tentu saja menjadi amal bagi beliau sebagai bekal di hari akhirat.
(Almarhum Idris Arief lahir di Sinjai, pada 1 Februari 1942, dan wafat di
Makassar, pada 22 Juni 2013)
Saya tahu, bukan hanya saya yang sering
engkau bantu, tetapi juga banyak lagi yang lain. Engkau juga membangun masjid
dan juga menyumbang untuk berbagai kegiatan sosial keagamaan.
Bakti dan jasamu sebagai pengajar,
sebagai dosen, serta sebagai pimpinan dan pendiri kampus, sungguh sangat besar,
dan itu semua, insya Allah, akan menjadi amal jariyah untukmu.
Terima kasih Prof, terima kasih
ayahandaku. Saya akan selalu mengenangmu. Saya akan selalu mengunjungi makammu dan
mendoakanmu. Semoga amal ibadahmu diterima dan semoga dosa-dosamu diampuni oleh
Allah SWT. (asnawin aminuddin)