Beberapa hari lalu, saya berbincang lepas dengan Daeng Nambung, seorang petani yang juga berperan sebagai Ketua Kelompok Tani (Poktan) di dusunnya. Kami berbincang cukup panjang di bawah terik matahari yang memapar Galesong, Kabupaten Takalar. Kami menyinggung peran pemerintah dalam upaya “menggembirakan” petani, termasuk di dalamnya distribusi bantuan untuk kelompok tani. Secara khusus, perbincangan kami cukup emosional saat menyinggung persoalan bantuan untuk kelompok tani.
(Ahmad Husain, Pemuda Takalar yang pernah kuliah di Malang)
--------
PEDOMAN KARYA
Kamis,
21 Januari 2016
Pemerintah
Mengkhianati Petani
Oleh:
Ahmad Husain
(Pemuda
Takalar yang pernah kuliah di Malang)
Beberapa hari lalu, saya berbincang
lepas dengan Daeng Nambung. Seorang petani yang sawahnya kebetulan bersebelahan
dengan sawah milik orangtua kami. Ia berperan sebagai Ketua Kelompok Tani (Poktan)
di dusunnya.
Kami berbincang cukup panjang di bawah
terik matahari yang memapar Galesong, mendiskusikan gaya hidup petani sampai
urusan kekompakan dalam kerjasama. Mendiskusikan teknologi hingga kemajuan
sistem pengolahan sawah. Kami bahkan menyinggung peran pemerintah dalam upaya “menggembirakan”
petani, termasuk di dalamnya distribusi bantuan untuk kelompok tani.
Secara khusus, perbincangan kami cukup
emosional saat menyinggung persoalan bantuan untuk kelompok tani. Ia mengeluh
persoalan distribusinya yang cukup untuk membuat kita menitikkan air mata
dengah hati penuh amarah.
Keluhannya adalah soal bantuan yang
dianggapnya tidak tepat sasaran pada beberapa kondisi, misalnya bantuan mesin
air. Ia membeberkan fakta petani yang mendapatkan bantuan mesin pompa air tidak
maksimal, sehingga mesin tersebut hanya disimpan di rumah, mungkin menunggu
musim untuk mempergunakannya.
Sementara untuk di dusunnya, sangat
butuh mesin pompa untuk mengairi puluhan petak sawah.
Daeng Nambung bercerita lebih jauh.
Untuk mendapatkan bantuan pertanian, misalnya mobil traktor, kelompok tani
bersangkutan harus membayar sekian juta rupiah untuk bisa membawanya pulang.
Mungkin ini semacam uang pelicin yang
sebenarnya sangat tidak dibutuhkan. Saya ingat pengakuan seorang kawan bahwa
ada banyak bantuan di kabupaten, tetapi bantuan itu macet (pendistribusiannya)
sehingga 'menumpuk' begitu saja, menunggu ada kelompok tani yang mau
'menebusnya'.
Sungguh sebuah pengkhianatan pemerintah
terhadap petaninya. Mereka menuntut uang kepada petani untuk mendapatkan
bantuan. Hasil dari sawah toh dinikmati oleh pemerintah juga pada akhirnya.
Fakta lain yang juga menarik, yaitu ada kelompok tani yang mendapatkan bantuan pupuk. Seharusnya pupuk ini dibagikan
secara gratis kepada anggotanya, tetapi kenyataannya nihil. Ia malah
menjualnya.
Dari cerita orang-orang, kelompok tani
ini tidak punya anggota kecuali nama-nama orang di atas kertas saja, para
petani menyebutnya kelompok tani siluman.
Ia berhasil mendapatkan bantuan pupuk,
mungkin dengan sistem uang pelicin di atas tadi, atau mungkin karena akses,
kebetulan dia merupakan orang yang 'dekat' dengan 01 (kosong satu) di kabupaten
dimana Daeng Nambung tinggal.
Parahnya harga jual kembali yang dipatok
kelompok tani siluman ini tetap tinggi, hanya selisih beberapa ribu saja dari
harga jual pupuk pada umumnya.
Saya tidak banyak bicara dengan
rangkaian fakta ini. Saya bukan orang yang memiliki akses yang baik untuk
menyampaikan aspirasi bapak tani ini, kecuali merasa berhutang bahwa keluhannya
harus disampaikan.
Ia sangat berharap ada kemajuan dalam
pertanian. Saya tentu mendukungnya. Hanya saja, saya bukan pemerintah atau
legislatif yang sedang melakukan dengar pendapat. Apalagi mendengar pendapatnya
di pematang sawah, bukan di rumah dengan suguhan teh dan kue kering dengan
remah mentega.
Sementara itu, beberapa hari ini, saya
melihat media sosial cukup ramai dengan wacana seputar Pilkada, bincang-bincang
atau mungkin provokasi siapa yang akan berpasangan dan saling dukung dengan
semangat dan doa.
Saya cukup peduli dengan wacana soal
pilkada ini, tapi karena tidak ada calon bupati dan cawabub yang menyampaikan
ide-ide perubahan membuatku malas ikut riuh disana.
Ingin kututup catatan ini dengan menaruh
harap kepada para calon pemimpin bahwa MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) di depan
mata.
Saya takut kita gagal bersaing di pasar
itu, lalu keok sebagaimana kegusaran Pak Jokowi. Tentu ketakutan ini salah
satunya karena perilaku pemerintah dalam melayani warganya yang ........ (entah
kata apa yang pas, saya ingin kita semua waspada akan kegagalan di depan mata).
Tanpa MEA beras impor jadi hantu, lalu
apa yang akan terjadi jika kita begumul denganya beberapa saat lagi.
Bukan salah importir beras menurutku,
tapi gaya atau sistem pertanian kita yang tidak maju. Bukan karena petani yang
tidak berpikir maju, melainkan tentu pemerintah yang tak mau memajuakan
rakyatnya, kecuali sebatas pelaksanaan program kerja.
Tetapi pemerintah tidak salah 100%.
Hanya 10% saja. Sisa kesalahannya ada di tubuh pemuda yang tak berdaya, apalagi
mereka yang menjual rupa menjadi penjilat.
Lalu, saya sendiri melakukan apa?