Suatu hari, seorang pemuda ateis (orang yang tidak percaya akan adanya Tuhan) yang memasuki sebuah masjid. Sang pemuda langsung bergabung dengan beberapa jamaah yang sedang berdiskusi. Dengan tenang dan penuh percaya diri, sang pemuda ateis mengajukan tiga pertanyaan yang hanya boleh dijawab dengan akal. Artinya tidak boleh dijawab dengan dalil, karena dalil itu hanya dipercaya oleh pengikutnya. (int)
----------
PEDOMAN
KARYA
Sabtu,
23 Januari 2016
Kisah:
Pemuda Ateis
Masuk Masjid
Suatu hari, seorang pemuda ateis (orang
yang tidak percaya akan adanya Tuhan) yang memasuki sebuah masjid. Sang pemuda
langsung bergabung dengan beberapa jamaah yang sedang berdiskusi (tentu saja membahas masalah-masalah agama).
Dengan tenang dan penuh percaya diri,
sang pemuda ateis mengajukan tiga pertanyaan yang hanya boleh dijawab dengan
akal. Artinya tidak boleh dijawab dengan dalil, karena dalil itu hanya
dipercaya oleh pengikutnya.
Sang pemuda mengatakan, jika menggunakan
dalil (naqli), maka justru diskusi di antara mereka tidak akan menghasilkan
apa-apa, karena dirinya tidak percaya akan adanya Tuhan, apalagi dengan kitab suci yang diturunkan kepada para nabi.
Pertanyaan pertama pemuda ateis itu
adalah, siapa yang menciptakan Allah? Bukankah semua yang ada di dunia ada,
karena ada penciptanya? Bagaimana mungkin Allah ada jika tidak ada penciptanya?
Pertanyaan kedua, bagaimana caranya
manusia bisa makan dan minum di surga tanpa buang air? Bukankah itu janji Allah, bahwa
di surga kelak, manusia bisa makan dan juga bisa minum, tetapi mereka tidak
buang air (maaf, kencing atau buang hajat)?
Pertanyaan ketiga, kalau iblis itu
terbuat dari api, lalu bagaimana bisa Allah menyiksanya di dalam neraka?
Bukankah neraka juga dari api?
Mendengar tiga pertanyaan tersebut, tak
satu pun jamaah yang berani menjawab. Mereka saling menatap satu sama lain.
Kening mereka berkerut dan kemudian mereka saling angkat bahu.
Tiba-tiba seorang pemuda yang tampak
agak kalem (berpembawaan tenang, tidak banyak bicara) mendeham (menirukan bunyi
seperti batuk kecil yang tertahan). Semua mata tertuju kepadanya dan menunggu apa yang akan
diucapkannya.
“Baiklah, saya akan coba menjawab
pertanyaan saudara,” katanya sambil menatap ke arah pemuda ateis.
“Angka berapa sebelum empat,” tanya si
pemuda kalem.
“Tiga,” jawab sang pemuda ateis.
“Angka berapa sebelum tiga?”
“Dua.”
“Angka berapa sebelum dua?”
“Satu.”
“Angka berapa sebelum satu?”
“Nol.”
“Nol itu artinya apa?”
“Tidak ada. Kosong.”
“Kalau sebelum angka satu tidak ada
angka lain yang mendahuluinya, mengapa saudara bertanya siapa yang menciptakan
Allah? Allah itu Zat Yang Maha Tunggal, Zat Yang Maha Mencipta, tidak ada yang
mendahului-Nya. Dialah yang menciptakan langit dan bumi, serta seluruh alam
jagat raya,” kata si pemuda kalem.
Sang pemuda ateis memerhatikan dengan
saksama. Begitu pun dengan jamaah lain yang bergabung dalam majelis tersebut.
“Saya ingin bertanya kepada saudara,
apakah ketika masih berada dalam perut ibu, masih dalam bentuk janin, apakah kita
semua makan? Apakah kita juga minum?” tanya si pemuda kalem.
“Tentu saja kita makan dan minum,” jawab
sang pemuda ateis.
“Apakah kita buang air di dalam perut
ibu?” tanya si pemuda kalem.
“Tentu saja tidak,” jawab sang pemuda
ateis.
“Jika saudara percaya bahwa kita dulu
makan dan minum di perut ibu, dan kita tidak buang air di dalamnya, lalu apa
kesulitan saudara memercayai bahwa di surga, kita akan makan dan minum juga
tanpa buang air?” tanya si pemuda kalem kembali dengan senyumnya yang
meneduhkan.
Ditampar
Sang pemuda ateis manggut-manggut,
tetapi tiba-tiba ia ditampar dengan keras oleh si pemuda kalem. Saking kerasnya
sampai-sampai pipinya memar. Sang pemuda ateis tentu saja marah, sedangkan
jamaah lain terheran-heran melihat tamparan keras yang tidak disangka-sangka
tersebut.
Dengan penuh rasa amarah, sang pemuda
ateis menghardik si pemuda kalem. Ia bertanya apa kesalahannya dan mengapa dirinya
ditampar.
“Tanganku ini terlapisi kulit. Tanganku
ini terbuat dari tanah. Pipi saudara juga terlapisi kulit dan terbuat dari
tanah. Lalu jika keduanya dari kulit dan tanah, bagaimana saudara bisa
kesakitan ketika saya tampar? Bukankah keduanya juga tercipta dari bahan yang
sama, sebagaimana setan dan api neraka?” tutur si pemuda kalem.
Mendengar jawaban tersebut, sang pemuda
ateis hanya bisa tertunduk sambil memegang pipinya yang masih terasa sakit. Ia sadar
dan tahu akan keberadaan Allah dan hari akhirat. Ia pun lalu meminta dituntun
untuk memeluk agama Islam. (Asnawin Aminuddin, ditulis ulang dari berbagai
sumber)