“Apakah kamu pernah melihat seorang ayah menggendong anaknya yang masih bayi lalu melemparnya ke udara? Apakah kamu melihat bayi tersebut bukannya takut, tapi malah senang dan tertawa-tawa? Mengapa bayi tersebut tertawa? Karena ia tahu bahwa ayahnya pasti akan menangkap dan menggendongnya kembali. Itulah yang disebut kepercayaan,” tutur Ilmi dengan senyumnya yang manis.
-----------
PEDOMAN
KARYA
Rabu,
03 Februari 2016
Anekdot
Antara
Keyakinan, Kepercayaan, Harapan, dan Ketakutan
Setelah seharian mengajar di kampus, dua
wanita yang sudah bersahabat sejak masih bocah dan kini sudah sama-sama
bergelar Guru Besar, meluangkan waktu ngobrol-ngobrol sambil bercanda-ria pada
sebuah kafe di pinggir pantai.
Kafe tersebut menjadi favorit mereka
berdua karena tempatnya bersih, pelayannya ramah, punya fasilitas kamar mandi dan
mushallah, serta dapat menikmati pemandangan matahari terbenam jelang magrib.
Wanita pertama, sebutlah namanya Nurul,
bercerita bahwa suatu hari pada sebuah desa, banyak orang berkumpul di lapangan
terbuka untuk melakukan shalat istisqa. Mereka shalat istisqa untuk memohon kepada Allah SWT agar menunrunkan hujan, karena musim kemarau sudah cukup panjang sehingga sawah dan ladang banyak yang kekeringan.
Di antara sekian banyak orang yang
berkumpul tersebut, ternyata hanya satu orang yang membawa payung payung. Semua orang melihatnya dengan pandangan
beragam, tetapi ia tidak peduli.
“Orang itu yakin doa mereka akan
terkabul. Itulah yang disebut keyakinan,” kata Nurul, sambil tersenyum.
Tak mau kalah, wanita kedua–sebutlah namanya
Ilmi – langsung mengajukan pertanyaan dan kemudian menjawab sendiri
pertanyaannya.
“Apakah kamu (mereka saling menyapa dengan sebutan kamu, karena keduanya memang sudah bersahabat sejak masih bocah) pernah melihat
seorang ayah menggendong anaknya yang masih bayi lalu melemparnya ke udara? Apakah
kamu melihat bayi tersebut bukannya takut, tapi malah senang dan tertawa-tawa?
Mengapa bayi tersebut tertawa? Karena ia tahu bahwa ayahnya pasti akan
menangkap dan menggendongnya kembali. Itulah yang disebut kepercayaan,” tutur
Ilmi dengan senyumnya yang manis.
Keduanya lalu tertawa-tawa, tetapi Nurul
kembali mengemukakan pendapat dan analisanya mengenai suatu hal.
“Setiap malam, ketika kita tidur, tidak
ada jaminan bahwa kita masih akan hidup lagi pada pagi esok hari. Tidak ada
jaminan bahwa kita masih bernafas keesokan harinya, tetapi mengapa kita tetap memasang
alarm untuk kita bangun pada esok hari? Itulah yang disebut harapan,” kata
Nurul dengan senyum yang menawan.
Mereka berdua kembali tertawa-tawa.
Sambil memandangi matahari yang tampak sudah mulai terbenam, Ilmi kemudian
bercerita tentang seorang dosen yang sangat sayang kepada isterinya.
“Ia benar-benar sayang dan cinta kepada
isterinya. Bila ia bertemu wanita cantik, maka wajah isterinya selalu
terbayang,” katanya dengan serius.
Tiba-tiba Nurul menarik tangan Ilmi, menatapnya,
dan kemudian tertawa dengan volume yang cukup besar sehingga menarik perhatian
orang-orang di sekitarnya.
“Kamu tahu, itu bukan sayang dan cinta.
Itulah yang disebut ketakutan,” kata Nurul dan keduanya pun tertawa
terpingkal-pingkal. (Asnawin, kreasi anekdot dari postingan teman di media
sosial)