Wartawan (wartawan tulis dan wartawan foto) sebagai penyuguh berita, seyogyanya berpegang teguh pada asas independensi dan objektivitas, dengan cara mengajak media massa cetak untuk kembali pada poros (fungsi) sebagai salah satu pilar demokrasi, bukan menjadi alat antidemokrasi.
- Mas'ud Muhammadiyah -
(Dekan Fakultas Sastra Universitas Bosowa 45 Makassar)
-----------
Kamis, 11 Februari 2016
Berita dan Iklan Pilkada Hanya Sebatas Pencitraan
MAKASSAR, (PEDOMAN KARYA). Penerapan semiotika dalam teks berita tentang kampanye Pilkada di Sulawesi
Selatan, hanya menonjolkan pertarungan aktor politik, terutama pencitraan
untuk membangun perhatian publik. Makna bahasa dalam teks berita yang
ditampilkan hanya memodifikasi teks saja, kurang menyajikan realitas sebenarnya
dan hanya bermuatan politik berbasis kekuasaan aktor politik.
Penilaian tersebut
dikemukakan Dekan Fakultas Sastra Universitas Bosowa Makassar, Dr Mas’d
Muhammadiyah, setelah melakukan penelitian terhadap sejumlah media cetak yang
terbit di Makassar.
Mantan wartawan
harian Pedoman Rakyat yang meraih gelar doktor dalam bidang Bahasa Indonesia
dari Universitas Negeri Makassar (UNM) mengatakan, penerapan semiotika dalam
iklan kampanye Pilkada sebagai media
untuk mentransformasikan nilai dan pesan kepada masyarakat, juga tidak memiliki
hubungan yang signifikan, sebab hanya sebatas simbolisasi pencitraan.
“Simbolisasi berada
pada pemaknaan denotatif dan konotatif sebagai strategi persuasi iklan, dan
bukan sebagai propaganda pesan politik. Komunikasi yang dilakukan para
kandidat, pada dasarnya berada pada tataran komunikasi simbolik (semiotika),”
ungkap pria kelahiran Barru, 10 Oktober 1963.
Dengan dasar
itulah, dia menyarankan agar media massa cetak (surat kabar) sebagai alat
komunikasi politik, sebaiknya dimanfaatkan secara bijak, antara lain dengan
memberikan kesempatan yang sama kepada aktor politik dalam mengampanyekan aksi,
visi, misi, dan program kebijakannya.
Wartawan (wartawan
tulis dan wartawan foto) sebagai penyuguh berita, katanya, seyogyanya berpegang
teguh pada asas independensi dan objektivitas, dengan cara mengajak media massa
cetak untuk kembali pada poros (fungsi) sebagai salah satu pilar demokrasi,
bukan menjadi alat antidemokrasi.
Penggemar musik dan
penghobi renang ini juga menyarankan agar bahasa ragam jurnalistik dituangkan
dalam kurikulum perguruan tinggi dan diajarkan secara sistematis.
“Karena kami
melihat bahwa minat mahasiswa terhadap jurnalistik sangat tinggi, terbukti
dengan seringnya mahasiswa mengadakan pelatihan jurnalistik, baik mahasiswa
fakultas sastra maupun mahasiswa program studi lain,” kata Mas’ud.
Penilaian dan saran
tersebut dituangkan Mas’ud dalam disertasinya yang dibacakan saat mengikuti
Ujian Promosi Doktor, di Kampus Program Pascasarjana Universitas Negeri
Makassar, Selasa, 3 November 2015.
Mengangkat judul
“Analisa Semiotika Bahasa Ragam Jurnalistik dalam Surat Kabar di Indonesia”,
Mas’ud berhasil memertahankan disertasinya di hadapan tim penguji yang terdiri
atas Prof Abdullah Dola, Prof Anshari, Prof Akmal Hamsa, Prof Achmad Tolla, dan
Prof Jasruddin. (win)
Tags
Aneka