“Jika pilar gerakan
seperti ranting, Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM), dan Amal Usaha Muhammadiyah
(AUM) telah kokoh, lantas kemana orientasi perjuangannya? Ranting yang kuat,
AMM yang militan, dan AUM yang progresif adalah senjata perjuangan. Lawannya
adalah prahara yang sedang berlangsung di tengah-tengah umat, bangsa, dan dunia
kemanusiaan.”
- Hadisaputra -
(Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PW
Muhammadiyah Sulsel 2010-2015)
-------------
PEDOMAN KARYA
Ahad, 21 Februari 2016
Tiga Pilar Perjuangan
Muhammadiyah
Oleh: Hadisaputra
(Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PW
Muhammadiyah Sulsel 2010-2015)
“Tahukah kamu
orang-orang yang mendustakan Muhammadiyah? Yaitu orang-orang yang
menghardik Angkatan Muda Muhammadiyah, menggerogoti Amal
Usaha Muhammadiyah, serta tak peduli pada prahara keumatan, kebangsaan,
dan kemanusiaan.”
Kalimat di atas
tertorehkan pada sebuah stiker kumal, yang tertempel pada dinding kusam Gedung
Pusdiklat Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM), di Jalan Lompobattang
201, Makassar, sekitar awal dekade 2000-an.
Kalimat tersebut
sebenarnya cukup singkat, namun mampu merepresentasikan kegelisahan kaum muda
Muhammadiyah kala itu. Kalimat tersebut bukan sekadar menggambarkan
persoalan, namun secara tersirat juga menggambarkan strategi perjuangan yang dilakukan Muhammadiyah.
Jika Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) mensosialisasikan empat pilar bangsa (UUD 1945, Pancasila, Bhineka
Tunggal Ika, dan NKRI, maka tulisan ini ingin menawarkan tiga pilar yang kerap
dipercakapkan dalam sejumlah grup media sosial para aktivis Muhammadiyah, baik
melalui Facebook (FB) atau pun WhatsApp (WA).
Ketiga pilar tersebut
adalah Ranting Muhammadiyah, Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM), dan Amal Usaha
Muhammadiyah (AUM).
Penguatan Ranting
Ada anggapan bahwa
Muhammadiyah tak lebih dari sebuah yayasan besar, yang memiliki banyak lembaga
pendidikan, kesehatan, dan sosial. Anggapan tersebut mungkin berangkat dari
asumsi bahwa Muhammadiyah tak banyak bersentuhan dengan masyarakat di tingkat
bawah.
Bahkan di sejumlah
daerah, ada masjid Muhammadiyah diambil alih oleh gerakan Islam yang lain.
Mungkin karena, Muhammadiyah tak lagi memiliki kader di tingkat ranting, yang
mengurusi masjid tersebut.
Bagi sebagian Pimpinan
Muhammadiyah, mungkin mengorganisir ranting tidak penting. Ranting tidak
menjanjikan popularitas dan materi. Ranting tak bersentuhan dengan pejabat, dan
jauh dari hingar bingar media massa.
Ranting-lah ujung
tombak gerakan. Segala kebutuhan masyarakat, mulai dari kebutuhan pembinaan
keagamaan, sampai persoalan sosial dan ekonomi, mesti ditanggapi secara cepat
dan tepat oleh ranting.
Revitalisasi ranting
tidak cukup dengan pembentukan Lembaga Pengembangan Cabang dan Ranting (LPCR).
Jika Pimpinan Muhammadiyah memiliki komitmen terhadap ranting, seharusnya salah
satu syarat menjadi Pimpinan Persyarikatan, termasuk di level PPM dan PWM,
adalah keaktifan sebagai pegiat ranting.
Langkah yang dilakukan
oleh Dr Mustari Bosra (Wakil Ketua PWM Sulsel), merintis pendirian sejumlah
ranting di sekitar tempat tinggalnya, patut diapresiasi dan diikuti oleh
pimpinan lainnya.
Meski demikian, ada
beberapa catatan kritis terkait pemaknaan ranting. Dalam konteks masyarakat
agraris, dimana orang lebih banyak menghabiskan waktu di sekitar tempat
tinggalnya, makna ranting dalam cakupan geografis tidak menjadi persoalan.
Namun dalam masyarakat
industrial, masyarakat lebih banyak menghabiskan waktu di tempat kerja, bahkan
menghabiskan waktu luang pun lebih sering dilakukan bersama teman seprofesi,
atau dalam komunitas berbasis hobi. Dalam konteks seperti itu, mungkin ranting
perlu diorganisir dalam komunitas berbasis profesi atau hobi.
Belum lagi, dalam
masyarakat post-industrial, dimana masyarakat lebih sering berjumpa dalam
ruang-ruang virtual. Perjumpaan melalui media sosial seperti facebook,
twitter, whats-app, atau blackberry messenger,jauh lebih intensif dibanding
pertemuan fisik.
Kehadiran grup-grup di
media sosial, mungkin dapat dimaknai sebagai wajah lain ranting, sepanjang grup
itu dikelola dengan kesadaran untuk berbagi spirit pencerahan Muhammadiyah.
Pemberdayaan AMM
Strategi kaderisasi terbukti
mampu membuat Muhammadiyah bisa tetap eksis hingga menggapai usia
lebih dari satu abad. Kiai Dahlan, sang pendiri gerakan ini, sedari awal menyadari
kekuatan kaum muda dalam membangun dan mengembangkan gerakan.
Dalam perkembangannya,
kesadaran merekrut kaum muda diinstitusionalisasikan melalui pembentukan sejumlah Organisasi Otonom (Ortom), yaitu Nasyiatul ‘Aisyiyah (1916), Pemuda Muhammadiyah (1932),
Ikatan Pelajar Muhammadiyah (1961), dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (1964).
Tampaknya belakangan,
sinergitas gerak antara Persyarikatan dan AMM kurang terpadu. Kaderisasi AMM
cenderung berjalan sendiri, sesuai dengan dinamika ide dan wacana yang mereka kembangkan.
Pimpinan Muhammadiyah
pun lebih sibuk dengan agendanya sendiri, khususnya menata AUM. Bahkan sering
terjadi, Pimpinan Muhammadiyah menolak menjadi pemateri di perkaderan AMM,
dengan alasan kesibukan.
Ada pula Pimpinan
Persyarikatan yang lebih fokus menghakimi perilaku kader AMM, mengkritik model
perkaderan, sampai ungkapan “AMM kurang kreatif mencari dana.”
Cara pandang saling
menyalahkan harus diakhiri. Pimpinan Muhammadiyah dan AMM mesti bersinergi.
Investasi jangka panjang persyarikatan adalah dengan melakukan pendampingan
yang optimal terhadap AMM. Misalnya, rekomendasi Musywil Muhammadiyah ke-39,
untuk memfasilitasi pemberian beasiswa kader, maupun pembentukan biro jodoh
bagi AMM, patut menjadi program prioritas PWM Sulsel periode ini.
Amal Usaha Muhammadiyah
Sebenarnya
istilah “AUM” telah mengalami penyempitan makna, hanya berupa
lembaga formal seperti sekolah, perguruan tinggi, atau rumah sakit.AUM hanya
berasosiasi dengan dakwah secara institusional. Bahkan ada yang memaknainya
lebih sempit lagi, AUM adalah “badan usaha”, lembaga yang bukan hanya
menghasilkan pahala, melainkan juga materi.
Padahal AUM
memiliki makna yang luas, sebagai setiap aktivitas berkelanjutan demi
pencapaian tujuan Muhammadiyah.Masjid dankegiatanseperti pengajian pun,
dapat disebut sebagai AUM.
Penggunaan istilah
“menggerogoti AUM” pada awal tulisan ini, sepertinya menyadari penyimpangan
makna AUM. Kritik tersebut hadir, karena spirit kehadiran AUM (termasuk bidang
pendidikan dan kesehatan), adalah untuk menyentuh kaum dhuafa (lemah)
dan mustadhafien (terpinggirkan). Jika tidak demikian, maka
sejatinya AUM tersebut telah kehilangan alas pikir
pendiriannya.
Dalam sejumlah diskusi,
ada beberapa persoalan yang sering diulas terkait AUM. Misalnya, AUM yang tidak
menjalankan spirit ideologi Muhammadiyah, kaidah AUM yang tidak dijalankan,
pengelola yang tidak berasal dari kalangan kader, minimnya pemberdayaan AMM
mengelola AUM, privatisasi AUM, pengelolaan yang kurang profesional, AUM yang
tidak terurus atau salah urus, dan sejumlah persoalan lainnya. Inilah sejumlah
pekerjaan rumah yang menanti kearifan dan problem solving dari
PWM baru.
------------
@copyright Majalah PEDOMAN KARYA, Edisi 2, Vol. II, Februari 2016------------