“Entah apa yang sebenarnya terjadi pada malam itu. Saya tidak merasakan sakit sedikit pun. Semua terasa senyap dan seakan-akan bayangan wajah kakek yang baru saja meninggal, melintas di hadapan saya. Beliau berpesan, jadilah anak yang baik. Ingat, kamu adalah anak Bugis. Kamu jangan ke mana-mana. Kamu harus berada di sini,” tutur Doddy Amiruddin.
---------
PEDOMAN KARYA
Kamis, 10 Maret 2016
Pengalaman Spiritual:
Doddy Amiruddin: Menabrak Pohon tetapi
Selamat
“Kita
bukanlah manusia yang mengalami pengalaman-pengalaman spiritual. Kita adalah
makhluk spiritual yang mengalami pengalaman-pengalaman manusiawi.”
Begitulah
ucapan seorang ustaz puluhan tahun silam yang masih melekat di benak mantan
Anggota DPRD Sulsel dari Partai Amanat Nasional (PAN), Doddy Amiruddin.
Oleh
ibu dan ayahnya (almarhum Prof Achmad Amiruddin, mantan Rektor Unhas dan
mantan Gubernur Sulsel), dia mengaku dididik menjadi orang yang berpikiran
logis dan rasional.
Oleh
kakek dan pamannya dari pihak bapak, Doddy merasa diisi pikiran dan hatinya
dengan hal-hal yang berkaitan dengan budaya (Bugis-Makassar) dan agama.
Salah
satu ajaran dari kakek dan pamannya yaitu seorang anak Bugis baru bisa
dikatakan laki-laki kalau sudah dapat melakukan tiga hal, yakni berenang,
memanjat pohon, dan berkelahi.
Maka
Doddy pun berlatih berenang. Hasilnya, dia mampu berenang dari bibir Pantai
Losari ke Pulau Lae-lae (Makassar) pulang pergi. Ketika kuliah di Amerika
Serikat, ia juga membuat orang terheran-heran karena berhasil berenang
menyeberangi danau yang cukup luas.
Oleh
pamannya, dia dimasukkan pada tiga perguruan bela diri sekaligus, tetapi ia
tidak suka berkelahi. Meskipun demikian, ia sama sekali tidak pernah takut
berkelahi.
Dalam
hal memanjat pohon, Doddy mengaku termasuk orang takut pada ketinggian sehingga
tidak berani melakukannya. Namun ketika kakeknya meninggal, keberanian dan
kelaki-lakiannya sebagai anak Bugis-Makassar langsung muncul.
“Sewaktu
Attah (panggilan akrabnya kepada sang kakek) berpulang, saya sangat terpukul,”
ungkapnya kepada penulis.
Pada
malam harinya, dia secara sembunyi-sembunyi mengeluarkan mobil ayahnya dan
memacunya dengan kecepatan tinggi, padahal saat itu ia belum mahir mengendarai
mobil. Namun entah dari mana datangnya, sebuah sepeda motor melintas dan Doddy
berupaya menghindarinya, tetapi naas, mobilnya menabrak pohon. Mobil hancur
berantakan dan Doddy bersama saudara sepupunya tidak sadarkan diri.
“Entah
apa yang sebenarnya terjadi pada malam itu. Saya tidak merasakan sakit sedikit
pun. Semua terasa senyap dan seakan-akan bayangan wajah kakek yang baru saja
meninggal, melintas di hadapan saya. Beliau berpesan, jadilah anak yang baik.
Ingat, kamu adalah anak Bugis. Kamu jangan ke mana-mana. Kamu harus berada di
sini,” tuturnya.
Semua
orang mengira Doddy dan sepupunya meninggal dunia, tetapi keduanya ternyata
selamat. Sepupunya mengalami patah tulang hidung dan harus dioperasi, sedangkan
Doddy mendapat jahitan yang panjang di kaki kiri dan selama beberapa pekan
dirawat karena cedera.
Setelah
selamat dari tabrakan maut, Doddy lebih taat beribadah dan tidak takut lagi
memanjat pohon. Dia pun memberanikan diri memanjat pohon asam di depan
rumahnya. Meskipun kakinya agak menggigil, dia akhirnya mampu mencapai puncak
pohon. Karena penasaran, esoknya ia kembali memanjat pohon dan kali ini pohon
mangga di belakang rumahnya yang berdiameter 2 meter dan tingginya diperkirakan
15 meter.
“Saya
ternyata berhasil memanjat pohon tersebut, tetapi saya tidak bisa turun dari
pohon. Seisi rumah heboh dan mereka pun mencoba mencari orang yang dapat
menurunkan saya. Setelah beberapa lama, tiba-tiba ayah saya keluar dari dalam
rumah. Tidak seperti biasanya, kali ini dia tampak tenang lalu berkata, ayo
kamu turun sendiri. Kamu laki-laki. Membutuhkan waktu agak lama, namun akhirnya
saya berhasil turun sendiri. Setelah kejadian itu saya sadar bahwa konsep
berenang, memanjat, dan berkelahi, rupanya diajarkan secara turun-temurun di
keluarga saya," papar Doddy. (asnawin
aminuddin)
Catatan:
-
Perbincangan
dengan Doddy Amiruddin dimuat dalam bentuk feature pada Rubrik Ramadhan, Harian
Pedoman Rakyat, Makassar, edisi 13 September 2006. Rubrik Ramadhan Harian
Pedoman Rakyat ketika itu antara lain diisi dengan pengalaman spiritual
sejumlah orang-orang ternama di Makassar dan sekitarnya.