"Saat berada di dalam masjid, tiba-tiba ada suara yang mengatakan bahwa sebentar lagi saya akan bertemu Tuhan. Tak lama kemudian tiba-tiba ada cahaya dari atas dan langsung menerpa tubuh saya hingga saya terbanting. Saya langsung terbangun dan mendapati tubuh saya basah oleh keringat," tutur Prof Idris Arief MS.
-------
PEDOMAN
KARYA
Ahad,
13 Maret 2016
Prof Idris
Arief: Dijatuhi Cahaya, Punya Ilmu Kebal
Banyak pengalaman spiritual yang dialami
almarhum Prof Idris Arief semasa hidupnya. Mantan Rektor Universitas Negeri
Makassar (UNM, dulu Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan/IKIP Ujungpandang)
antara lain pernah bermimpi dijatuhi cahaya saat tengah tertidur di dalam
masjid.
Ceritanya, suatu malam ia bermimpi masuk
ke masjid Rayatul Hidayah, Sinjai, Sulawesi Selatan, yang didirikan oleh almarhum
kakeknya. Saat berada di dalam masjid, tiba-tiba ada suara yang mengatakan
bahwa sebentar lagi dirinya akan bertemu Tuhan.
“Tak lama kemudian tiba-tiba ada cahaya
dari atas dan langsung menerpa tubuh saya hingga saya terbanting. Saya langsung
terbangun dan mendapati tubuh saya basah oleh keringat. Saya tidak tahu apa
makna mimpi itu, tetapi mimpi itu tak pernah saya lupakan,” ungkapnya kepada penulis
(waktu itu bertugas melakukan wawancara sebagai wartawan harian Pedoman Rakyat), di Makassar, Rabu,
27 September 2006.
Saat ditanya apakah ada hubungan antara
kejatuhan cahaya itu dengan kariernya yang terus-menerus menanjak hingga akhirnya
menjadi rektor, dan juga mendirikan perguruan tinggi (Sekolah Tinggi Ilmu
Ekonomi Makassar/STIEM Bongaya), Idris hanya angkat bahu.
Dia juga menceritakan bahwa ketika masih
kuliah tahun pada akhir tahun 50-an hingga awal 60-an, dirinya mengalami cobaan
dan penderitaan yang luar biasa. Waktu itu, gerombolan pengacau keamanan masih
menguasai hutan-hutan dan selalu mengganggu keamanan orang di jalan dan di
laut.
“Komunikasi dengan orangtua di kampung
sangat susah. Kadang-kadang kami kehabisan bekal dan harus bekerja mencari uang
untuk menyambung hidup di Makassar,” paparnya.
Pulang kampung biasanya dilakukan sekali
dalam setahun yaitu ketika menjelang Ramadan saat sekolah dan kampus
diliburkan.
“Kalau naik mobil dari Makassar ke
Sinjai butuh waktu tiga sampai empat hari, karena mobil harus dikawal konvoi
tentara dan harus bermalam di Jeneponto, di Bantaeng, dan di Bulukumba. Kalau
kami naik perahu, itu memakan waktu enam sampai delapan hari. Di laut juga kami
kadang-kadang ditembaki oleh gerombolan,” tutur Idris.
Ketika ditanya apakah dirinya pernah
kena tembakan atau berhadapan langsung dengan gerombolan, dia mengatakan secara
kebetulan tidak pernah.
“Tapi kami memang sudah diisi dan dipagari
oleh orangtua di kampung. Selain itu, kami juga dihapalkan bacaan-bacaan
Alquran yang bertujuan sebagai ilmu kebal,” katanya.
Ketika masih sekolah dan setiap pulang
kampung, Idris Arief juga diajarkan ilmu silat, baik tangan kosong, maupun
dengan senjata.
“Artinya, kami juga sudah siap kalau
menghadapi bahaya. Tapi alhamdulillah, saya tidak pernah berhadapan langsung
dengan gerombolan. Saya juga tidak pernah berkelahi,” ujar pria kelahiran Sinjai,
1 Februari 1942, yang meninggal dunia di Makassar, 22 Juni 2013. (asnawin aminuddin)