"Secara akumulatif, jumlah dana liquid (jangka pendek) yang tersimpan pada rekening yang dimiliki Muhammadiyah dan AUM, diperkirakan Rp15.000.000.000.000,00 (lima belas triliun rupiah). Dari jumlah sebesar itu, yang baru dimanfaatkan Muhammadiyah diestimasi Rp1.500.000.000.000,00 (satu triliun lima ratus milyar rupiah) atau hanya 10%. Lantas, ke mana angka 90% atau 13.500.000.000.000,00 (tiga belas triliun lima ratus milyar rupiah) itu? Siapakah yang memanfaatkan dana sebesar itu?"
-- Mukhaer Pakkanna --
(Ketua STIE Ahmad Dahlan Jakarta)
-------
PEDOMAN
KARYA
Ahad,
23 Mei 2016
Cash Management
ala Muhammadiyah
Oleh:
Mukhaer Pakkanna
(Ketua
STIE Ahmad Dahlan Jakarta)
Pada 12-14 Mei 2016 yang lalu di
Yogyakarta, Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan (MEK) PP Muhammadiyah menggelar
hajatan strategis, Rapat Kerja Nasional (Rakernas), yang menghadirkan
tokoh-tokoh pengusaha nasional, pejabat negara, saudagar Muhammadiyah, dan pengurus
MEK se Tanah Air.
Salah satu isu strategis internal yang
dibahas dan belum bisa dipecahkan warga Muhammadiyah, berkaitan sistem
pengelolaan keuangan terpadu dan efisien, yakni arus dan saldo kas jangka
pendek (liquid) milik persyarikatan, yang oleh Mike Williams (2009) disebut
cash management.
Tentu, dengan makin membengkaknya jumlah
amal usaha Muhammadiyah (AUM) telah berdampak semakin rumitnya pengelolaan
jaringan keuangan. Bayangkan, AUM di bidang Pendidikan Dasar dan Menengah
dijumpai 7.651 sekolah dan
madrasah, di bidang Pendidikan Tinggi
174 universitas, sekolah tinggi, institut, dan akademi.
Di bidang pelayanan kesehatan dan
kesejahteraan masyarakat terdapat rumah
sakit 457, panti asuhan 318 buah, panti jompo 54 buah, dan rehabilitasi cacat
82 buah. Untuk bidang sarana ibadah terdapat masjid dan musolla sebanyak
11.198. Di samping itu, sejumlah Baitut
Tamwil Muhammadiyah (BTM), Koperasi Matahari, minimarket, semakin
memperlihatkan geliatnya yang signifikan
(Abbas, 2015).
Demikian pula, secara akumulatif, jumlah
dana liquid (jangka pendek) yang tersimpan pada rekening yang dimiliki
Muhammadiyah dan AUM, diperkirakan Rp15.000.000.000.000,00 (lima belas triliun
rupiah) (Sudibyo, 2014).
Dari jumlah sebesar itu, yang baru dimanfaatkan Muhammadiyah
diestimasi Rp1.500.000.000.000,00 (satu triliun lima ratus milyar rupiah) atau
hanya 10%. Belum lagi total aset yang dimiliki Muhammadiyah yang dikalkulasi
mendekati angka Rp200 triliun. Lantas, ke mana angka 90% atau
13.500.000.000.000,00 (tiga belas triliun lima ratus milyar rupiah) itu? Siapakah yang memanfaatkan dana sebesar itu?
Dana Menganggur?
Dalam konteks Muhammadiyah, semua AUM
harus dipahami sebagai bentuk kekayaan persyarikatan dan tidak boleh dimiliki
oleh pribadi. Semua aset tidak boleh diakui oleh pengurus, karena semua
kekayaan dan amal usaha itu adalah milik persyarikatan. Sesuai aturan di
Muhammadiyah, semua pengurus dan warga Muhammadiyah harus tunduk pada aturan
persyarikatan.
Namun sayangnya, Muhammadiyah belum bisa
menikmati manfaat maksimal dari potensi keuangan yang selama ini dikelola oleh
perbankan. Maka, sebagai organisasi modern dan berkemajuan, tawaran model
pengelolaan keuangan terpadu (cash management) dianggap tepat. Dari sisi
pertanggungjawaban publik pun, transparansi pengelolaan keuangan model ini
sangat penting untuk diterapkan oleh organisasi sekaliber Muhammadiyah.
Merujuk kembali dana
Rp13.500.000.000.000,00 (tiga belas triliun lima ratus milyar rupiah), tentu
itu adalah dana kas yang menganggur (idle cash). Sebagian besar disimpan dalam
rekening giro (48,2%) dan sisanya ditempatkan pada deposito. Dengan kata lain, dana
itu tidak dipergunakan oleh jenjang,
unsur, dan amal usaha Muhammadiyah (Yusuf, 2015).
Tak pelak lagi, dari sudut perbankan,
dana tersebut tentu bukan dana menganggur. Dana itu menjadi dana beredar
(revolving) yang dipinjamkan oleh bank kepada lembaga lain yang membutuhkannya.
Dari dana yang beredar itu, persyarikatan hanya mendapatkan nisbah bagi hasil
lebih kurang sebesar 6% saja (Abbas, 2015).
Maka, apa yang tergambar di atas
memperlihatkan, persyarikatan belum mempergunakan dananya untuk sebesar-besar
manfaat bagi persyarikatan itu sendiri. Dana beredar itu dipergunakan oleh
orang lain untuk kepentingan di luar Muhammadiyah. Sebab bila dana itu tidak
dipergunakan oleh Muhammadiyah, sudah dipastikan dana tersebut dipergunakan oleh orang lain.
Dalam konteks spirit adanya dana cair
yang menganggur itu dapat dimanfaatkan untuk sebesar-besar manfaat bagi
Muhammadiyah, maka model cash management
pun digulirkan. Ikhwal ini sejatinya telah tertuang dalam Surat Keputusan (SK)
Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor : 36/KEP/I.0/C/2012 tentang Sistem
Pengelolaan Dana Terpadu Layanan Manajemen Kas.
Dalam SK itu, PP Muhammadiyah
mengupayakan fasilitas pembiayaan mudharabah muqayyadah/back to back deposit
kepada bank syariah mitra Muhammadiyah sampai mendekati 100% dari jumlah
deposito yang diagunkan.
Penggunaan deposito sebagai agunan dilakukan dengan
mengagunkan deposito milik jenjang, unsur, atau amal usaha Muhammadiyah yang
bersangkutan atau deposito milik jenjang, unsur, atau amal usaha Muhammadiyah
yang lainnya. Dengan model itu, dalam tingkat implementasinya, sejatinya
Muhammadiyah memperoleh manfaat maksimal (Supriyanto, 2015).
Spirit ta’awun
Dana beredar dalam transaksi perbankan
mitra Muhammadiyah yang dimilki AUM tentu dapat dimanfaatkan oleh AUM yang
memerlukannya. Semangat ta’awun (saling tolong menolong) yang menjadi dasar
pijakan idealisasi persyarikatan dapat ditegakkan kembali.
Selama ini dana persyarikatan telah
disimpan pada bank konvensional yang jumlahnya sebanyak 137 bank. Dengan jumlah
bank yang sebanyak itu, membuat dana persyarikatan terserak-serak dalam jumlah
kecil pada bank tersebut. Sehingga daya
tawar (bargaining position) persyarikatan berhadapan dengan bank menjadi rendah
(Anhar, 2015).
Oleh sebab itu, diperlukan langkah
konkret agar daya tawar persyarikatan
menjadi tinggi dengan cara memperkecil
jumlah bank yang dipergunakan. Dengan memanfaatkan idle cash yang dimiliki oleh
semua jenjang, unsur, dan amal usaha Muhammadiyah, sudah dapat dipastikan tidak
akan ada pembangunan proyek persyarikatan yang terhenti.
Kepastian ini agaknya mendekati
kebenaran karena dana segar itu ada pada semua jenjang, unsur, dan amal usaha
Muhammadiyah. Agar dana itu tidak dipergunkan oleh orang lain, seyogyanya
disalurkan untuk pembiayaan proyek Persyarikatan yang sedang dilaksanakan oleh
dan tersebar berbagai kawasan dan level persyarikatan.
Dari struktur penempatan dana ini,
Muhammadiyah telah mengalami kehilangan potensial yang cukup besar. Mengapa
kehilangan potensial? Karena dananya terlalu besar ditempatkan di giro. Kalau
dana itu ditempatkan di giro, return atau tingkat keuntungan yang bisa diraih
secara kalkulatif hanya berkisar antara 0,5 – 1 %.
Oleh karena itu, supaya pendapatan
Muhammadiyah meningkat, maka Muhammadiyah seyogyanya membuat kesepakatan dengan
bank-bank mitra, untuk membuat giro minimal dan membuka tabungan bisnis (Abbas,
20015).
Dengan model baru ini, struktur
penempatan dana mereka menjadi berubah. Misalnya, perlu dibuka dan buat giro
minimal. Sebagai kasus, perlu dibuka rekening giro pada 1 s/d 3 buah rekening
giro, lalu pada masing-masing giro tersebut disepakati dengan bank, bahwa
Muhammadiyah akan membuat giro minimal, misalnya Rp10.000.000 (sepluh juta
rupiah) per giro.
Dengan demikian, jika ada murid atau
mahasiswa atau pasien yang membayar melalui rekening giro, maka uang mereka
pertama akan masuk ke giro, kemudian dana tersebut akan pindah ke rekening
tabungan bisnis secara otomatis. Wallahu ‘alam.
-----------
Keterangan:
Mukhaer Pakkanna adalah Ketua STIE
Ahmad Dahlan Jakarta. Lahir di Bantaeng, Sulawesi Selatan, 14 Januari 1969.
Menempuh pendidikan S3 di Konsentrasi Ekonomi Pembangunan dan Keuangan Lokal
pada Program Doktor Ilmu Ekonomi/PDIE Universitas Sebelas Maret Surakarta/UNS).
Selain sebagai Peneliti Centre for Information and Development Studies/CIDES,
dan pernah menjadi Analis Bursa Berjangka pada Bappebti, dan Staf Ahli Bidang
Ekonomi di DPR-RI 1999-2004, serta sebagai penulis lepas di berbagai media
cetak Nasional.)
-------
@copyright
http://www.stiead.ac.id/index.php/kolom-ketua/336
(Keterangan: Atas izin penulis, Bapak Mukhaer Pakkanna, kami memuat ulang artikel opini ini di Majalah Pedoman Karya)
Tags
Opini