"Semua momen menarik yang terjadi sepanjang pertandingan, menjadi (seperti) tidak memiliki nilai apa-apa jika pertandingan harus diakhiri dengan adu penalti. Maka adu penalti sesungguhnya adalah musibah bagi para wartawan foto, apalagi jika pertandingan yang diliput adalah partai final sekelas Liga Champion Eropa atau Piala Dunia FIFA misalnya."
-- Asnawin Aminuddin --
(Mantan Ketua Seksi Foto PWI Sulsel)
--------
Artikel Opini Harian TRIBUN TIMUR, Makassar,
Versi Cetak, Halaman 18, Kamis, 2 Juni 2016
Adu Penalti,
Musibah Bagi Wartawan Foto
Oleh:
Asnawin Aminuddin
(Mantan
Ketua Seksi Foto PWI Sulsel)
Sepakbola adalah cabang olahraga yang
paling banyak penontonnya di dunia, karena sejarahnya yang panjang,
kompetisinya berjenjang dan rutin, selalu tercipta momen-momen menarik, banyak
pemain hebat yang menampilkan permainan indah, serta kadang-kadang juga
menegangkan.
Karena ditonton dan diminati banyak
orang, maka sepakbola juga selalu menjadi sasaran liputan yang menarik dan
menantang bagi para wartawan foto.
Pada event-event besar seperti Liga
Champion Eropa, Piala Eropa, Piala Dunia Antar-klub, Olimpiade, serta Piala
Dunia FIFA, para wartawan foto bahkan berlomba-lomba mendapat jatah untuk
meliput langsung dari pinggir lapangan.
Mereka–para wartawan foto–ingin berada
di tepi lapangan, karena ada kebanggaan tersendiri bila mampu menangkap
momen-momen menarik, terutama dari pemain-pemain ternama dunia.
Selain itu, tangkapan lensa dan bidikan
rasa dari para wartawan foto pada momen-momen tertentu, kadang-kadang juga
sangat bersejarah dan selalu dikenang sepanjang masa.
Salah satu momentum yang sangat berkesan
sekaligus bersejarah yaitu ketika pemain Argentina, Diego Armando Maradona,
menciptakan “gol tangan Tuhan” ke gawang Inggris yang dikawal Peter Shilton,
pada perempatfinal Piala Dunia, tanggal 22 Juni 1986, di Estadio Azteca, Mexico
City, Meksiko.
Teknologi televisi dan teknologi yang
digunakan panitia Piala Dunia waktu itu belum secanggih sekarang. Tak ada satu
pun kamera (shoting) televisi yang mampu menunjukkan dengan jelas bahwa
Maradona menciptakan gol dengan tangan kirinya (bukan dengan kepala) dan
seharusnya ia diganjar dengan kartu merah.
Wasit asal Tunisia, Ali Bennaceur, dan
jutaan mata penonton (di stadion dan di mancanegara melalui siaran langsung
televisi) pun tertipu dengan gol tangan kiri Maradona tersebut, sehingga gol
tersebut dianggap sah. Argentina kemudian memenangi pertandingan dengan skor
2-1.
Maka Maradona dan Argentina pun
bergembira-ria, sebaliknya Inggris terpaksa menangis menerima kekalahan.
Keesokan harinya, barulah terbukti bahwa
gol Maradona tersebut memang tercipta melalui sontekan tangan kirinya, setelah
foto bidikan rasa Alenjandro Ojeda Carbajal dimuat pada harian El Heraldo,
Meksiko.
Berbeda dengan kebanyakan wartawan foto
yang meliput pertandingan itu, Alejandro Ojeda Carbajal kebetulan mengambil posisi
di belakang gawang Inggris dan berhasil mengabadikan momen “gol tangan Tuhan”
yang berlangsung hanya sepersekian detik tersebut.
Musibah
Seandainya pertandingan tersebut
berakhir imbang dan harus diakhiri dengan adu penalti, maka foto bidikan rasa
Alejandro Ojeda Carbajal mungkin tidak terlalu bernilai dan tidak akan
bersejarah, karena pasti momentum adu penalti itulah yang akan ditampilkan di
media cetak (waktu itu belum ada media online).
Kalau pun bukan momentum adu penalti
yang ditampilkan, maka media cetak pasti akan memilih momen saat pemain
meluapkan kegembiraaanya atau momen saat pemain berduka setelah pertandingan
berakhir, bukan momen-momen menarik yang terjadi sepanjang pertandingan.
Semua momen menarik yang terjadi
sepanjang pertandingan, menjadi (seperti) tidak memiliki nilai apa-apa jika
pertandingan harus diakhiri dengan adu penalti.
Maka adu penalti sesungguhnya adalah
musibah bagi para wartawan foto, apalagi jika pertandingan yang diliput adalah
partai final sekelas Liga Champion Eropa atau Piala Dunia FIFA misalnya.
Bukti tersebut dapat dilihat seusai
final Liga Champion Eropa Tahun 2016 antara Real Madrid versus Atletico Madrid,
di Stadion San Siro, Milan, Italia, Sabtu, 28 Mei 2016 waktu setempat, yang
berakhir imbang 1-1 dan harus diakhiri dengan adu penalti.
Semua media cetak dan media online (yang
meliput atau memberitakan partai final tersebut) menyajikan momentum saat adu
penalti, atau memilih momentum suasana gembira dari pemain dan pendukung Real
Madrid. Sebagian media juga menampilkan foto suasana duka atau sedih dari
pemain dan pendukung tim Atletico Madrid.
Ratusan atau bahkan ribuan momentum
menarik yang terjadi sepanjang pertandingan dan berhasil diabadikan para
wartawan foto, menjadi tidak memiliki arti apa-apa dibandingkan momentum adu
penalti serta suasana gembira dan suasana duka seusai pertandingan.
Adu Penalti
Itu pulalah yang terjadi pada 10 partai
final Liga Champion sebelumnya yang berakhir imbang. Sejarah mencatat, sejak
digulirkan pertama kali pada musim 1955/1956, sudah 11 kali partai final
berakhir imbang dan harus diakhiri melalui adu penalti.
Ke-11 partai final tersebut adalah Liverpool
vs AS Roma (1-1, Liverpool menang adu penalti 4–2, musim kompetisi 1983/1984),
Steaua Bucureşti vs Barcelona (0-0, Steau Bucuresti menang 2–0, 1985/1986), PSV
Eindhoven vs Benfica (0-0, PSV Eindhoven menang 6–5, 1987/1988), Red Star
Belgrade vs Marseille (0-0, Red Star Belgrade menang 5–3, 1990/1991).
Juventus vs Ajax (1-1, Juventus menang
4–2, 1995/1996), Bayern München vs Valencia (1-1, Bayern München menang 5–4, 2000/2001),
AC Milan vs Juventus (0-0, AC Milan menang 3–2, 2002/2003), Liverpoolvs AC
Milan (3-3, Liverpool menang 3–2, 2004/2005).
Manchester United vs Chelsea (1-1,
Manchester United menang 6–5, 2007/2008), Chelsea vs Bayern Munchen (1-1,
Chelsea menang 4–3, 2011/2012), serta Real Madrid vs Atletico Madrid (1-1, Real
Madrid menang 5-3, 2015/2016).
Final Piala Dunia FIFA sudah dua kali
diakhiri dengan adu penalti. Pertama pada 1994 antara Brasil versus Italia, di
Rose Bowl, Pasadena, California, Amerika Serikat, 17 Juli 1994. Brasil
mengalahkan Italia 3–2 pada adu penalti setelah pertandingan normal dan
perpanjangan waktu berakhir 0–0.
Kedua, final Piala Dunia 2006 antara
Italia versus Perancis, di Olympiastadion, Berlin, 9 Juli 2006. Italia
mengalahkan Perancis dengan skor 5-3 melalui adu penalti, setelah pertandingan perpanjangan
waktu berakhir 1–1.
Dari dua partai final Piala Dunia
tersebut, momentum kegagalan Roberto Baggio mengeksekusi penalti ke gawang
Brasil yang dikawal Caludio Taffarel, tahun 1994, yang paling banyak dikenang,
karena Roberto Baggio pada saat itu berada pada puncak popularitas dan nasib
Italia bergantung kepadanya.
Pada pertandingan final tersebut, ada
empat pemain yang gagal mengeksekusi penalti, yaitu Marcio Santos dari Brasil,
serta Franco Baresi, Daniele Massaro, dan Roberto Baggio dari Italia, tetapi
kegagalan Roberto Baggio-lah yang paling berkesan dan dikenang sepanjang masa.
Media cetak pun ramai-ramai menampilkan
foto momentum kegagalan Roberto Baggio mengeksekusi penalti-lah. Ada yang
memuat foto saat Baggio menendang bola ke gawan Brasil, dan ada pula yang
memuat foto saat Baggio tertunduk lesu setelah gagal mengeksekusi penalti.
Ribuan momentum menarik yang terjadi
sepanjang pertandingan, menjadi tidak menarik dan tenggelam oleh kegagalan
Baggio mengeksekusi penalti ke gawang Brasil.
Sudah konsentrasi dan berlomba-lomba
mengabadikan berbagai momen menarik di sepanjang pertandingan, tetapi semua
hasil jepretan itu terpaksa disimpan sebagai dokumentasi belaka, karena foto
yang dimuat pastilah momentum adu penalti, terutama kegagalan tendangan penalti
Roberto Baggio. Sungguh merupakan musibah bagi para wartawan foto.