Museum La Galigo, Museum Pertama di Sulawesi Selatan


BENDI ini merupakan salah satu koleksi yang ada di Museum La Galigo, Benteng Ujungpandang, Makassar. Koleksi adalah benda mati, tetapi benda itu akan hidup bila dikelola dengan baik oleh kuratornya. Benda itu akan berbicara tentang dirinya dan tentang manusia pendukungnya. Benda-benda koleksi museum adalah kunci untuk mengetahui kebudayaan suatu bangsa, karena benda-benda itu merupakan simbol dari aspek-aspek kebudayaan manusia pendukungnya. (int)


------------ 

PEDOMAN KARYA

Rabu, 22 Juni 2016

 

Museum La Galigo, Museum Pertama di Sulawesi Selatan

 

(Bagian Kedua dari Tiga Tulisan)

 

Laporan: Asnawin Aminuddin

 

Museum di Eropa pada mulanya merupakan museum pribadi dari para raja atau orang-orang kaya dan tidak dibuka untuk umum. Museum seperti itu diberi nama “Cabinet of Curiosities.”

Museum modern seperti sekarang ini, pendiriannya mula-mula dirintis oleh Dr Von Sibold, seorang doktor yang pernah bertugas di Pulau Desima, Jepang. Ia mendirikan sebuah museum di Leiden, Belanda pada 1837, dan diberi nama: “Ryks Museum”, serta terbuka untuk umum.

Di Indonesia, museum pertama yang dibangun pada 1778, dan sampai saat ini masih berfungsi yaitu “Museum Bataviaasch Cenootschap”, yang kini berganti nama menjadi “Museum Nasional Depdikbud Republik Indonesia.”

“Di Sulawesi Selatan, museum pertama adalah Museum La Galigo yang secara resmi beroperasi pada 1970,” kata Muhammad Yamin Data, yang tampil membawakan materi berjudul: “Museum sebagai Sarana Pendidikan” pada acara Sosialisasi Museum yang diadakan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan, di Aula Museum La Galigo Benteng Ujungpandang, 28 Juni 2007.

International Council Of Museum (ICOM) atau Badan Museum Internasional menegaskan sembilan fungsi museum (Nawa Darma), yaitu tempat pengumpulan dan pengamanan warisan budaya dan alam, tempat dokumentasi dan penelitian ilmiah, dan tempat konservasi dan proparasi.

Selain itu, museum berfungsi sebagai media penyebaran dan peralatan ilmu untuk umum, tempat pengenalan dan penghayatan kesenian, visualisasi warisan budaya dan alam, media perkenalan budaya antardaerah dan antarbangsa, cermin pertumbuhan dan peradaban umat manusia, serta pembangkit rasa bertakwa dan bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Benda-benda yang disimpan di museum, kata Yamin, harus memenuhi beberapa persyaratan, yakni bernilai budaya dan ilmu pengetahuan, bernilai sejarah, dapat diidentifikasi, bernilai seni, serta dapat dijadikan monumen mewakili zamannya.

“Benda-benda yang berhasil dikumpulkan sesuai persyaratan, harus melalui perawatan dan pengawetan agar tidak rusak atau musnah,” tandasnya.

 

Kurator dan Preparator Konservator

 

Setelah dirawat dan diawetkan, benda-benda di museum harus diteliti dengan cermat untuk mengetahui makna (meaning), fungsi (fungction), dan nilai (value) yang terkandung di dalamnya.

Keterangan-keterangan yang berhasil dikumpulkan dalam penelitian koleksi museum tersebut, sangat diperlukan untuk penyajian (pameran) sebagai bahan informasi kepada pengunjung.

“Kalau perlu, hasil penelitian itu dapat diterbitkan berupa brosur, buku, atau lembaran-lembaran informasi yang dapat dibagikan kepada pengunjung,” tutur Yamin.

Tujuan utama dalam penelitian benda-benda koleksi museum yaitu untuk mengungkapkan tentang tingkat dan kemampuan budaya bangsa di masa lampau, karena benda-benda budaya tersebut merupakan kunci untuk mengetahui kebudayaan masyarakat pendukungnya.

“Pengetahuan itu sangat penting dalam pembinaan kepribadian dan ketahanan nasional, khususnya di bidang budaya,” katanya.

Kegiatan pengelolaan yang bersifat perawatan, pengawetan, dan penelitian, dikategorikan sebagai kegiatan di belakang layar yang merupakan tugas utama para kurator dan preparator konservator.

Setelah benda-benda koleksi museum naik pentas atau dipamerkan untuk masyarakat, maka tibalah saatnya kegiatan bimbingan kepada pengunjung, baik perorangan maupun kelompok.

“Kegiatan bimbingan edukatif kultural ini disebut kegiatan di depan layar yang menjadi tugas utama dari edukator atau instruktur museum,” papar Yamin.

 

Pameran dan Bimbingan

 

Pameran museum berbeda dibanding pameran dagang. Pameran dagang bertujuan membuat pengunjung mengenal barang yang dipajang dan tertarik untuk membeli atau memilikinya, sedangkan pameran koleksi museum bertujuan memperkenalkan untuk diketahui, diteliti, dan dinikmati.

“Pameran yang diadakan museum harus indah dan menarik, serta terikat pada konsep pesan dan tema yang akan disampaikan kepada masyarakat,” tutur Yamin.

Selain berpameran, museum dapat pula mengadakan kegiatan bimbingan khusus kepada pengunjung yang berminat tentang satu jenis keterampilan atau kerajinan tangan, misalnya bimbingan kepada siswa atau anak-anak yang ingin mengetahui tentang penggunaan alat bunyi-bunyian tradisional seperti kecapi atau suling.

Koleksi adalah benda mati, tetapi benda itu akan hidup bila dikelola dengan baik oleh kuratornya. Benda itu akan berbicara tentang dirinya dan tentang manusia pendukungnya.

“Benda-benda koleksi museum adalah kunci untuk mengetahui kebudayaan suatu bangsa, karena benda-benda itu merupakan simbol dari aspek-aspek kebudayaan manusia pendukungnya,” urainya mengutip tulisan Prof Dr A A Gerbrands, 1979.

Para pencinta museum sering mengatakan bahwa kurator adalah jiwa atau jantung museum, preparasi dan konservasi adalah anggota tubuhnya, sedangkan edukator adalah wajahnya.

Pengunjung, kata Yamin, adalah manusia yang hidup, mempunyai keinginan, kebiasaan, cita-cita, kemampuan ekonomi, dan pendidikan yang berbeda. Semua harus mendapatkan pelayanan. Mereka datang ke museum dengan bermacam-macam motivasi.

“Ada yang ingin menambah pengetahuan, ada yang ingin menghayati benda-benda koleksi tertentu, ada yang ingin menikmati keindahan benda-benda koleksi tertentu, ada pula yang datang hanya ingin berekreasi,” urai Yamin. (bersambung)


-----

Tulisan Bagian ke-1: Museum, Pintu Masuk Pertama Bagi Wisatawan

Tulisan Bagian ke-3: Bila Pengunjung Tidak Datang, Museum yang Mendatangi Pengunjung


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama