AGUS DAN IWAN duduk satu bangku di kelas satu hingga kelas dua SMP di sebuah kabupaten. Meski sebangku dan sepermainan, ada perbedaan di antara dua bocah belasan tahun itu. Agus agak serius, rajin membaca, dan suka ke masjid. Iwan agak santai, hanya membaca yang disukai, dan jarang ke masjid. Kalau guru menerangkan pelajaran di kelas, Agus mengikuti dengan seksama, sedangkan Iwan lebih banyak bermain-main. Bukunya pun tak pernah lengkap, baik buku tulis, maupun buku cetak.
---------
PEDOMAN KARYA
Ahad,
10 Juli 2016
Ketika Dua Sahabat
Kecil Bertemu Kembali
Oleh:
Asnawin Aminuddin
Agus dan Iwan duduk satu bangku di kelas
satu hingga kelas dua SMP di sebuah kabupaten. Meski sebangku dan sepermainan,
ada perbedaan di antara dua bocah belasan tahun itu.
Agus agak serius, rajin membaca, dan
suka ke masjid. Iwan agak santai, hanya membaca yang disukai, dan jarang ke
masjid.
Kalau guru menerangkan pelajaran di
kelas, Agus mengikuti dengan seksama, sedangkan Iwan lebih banyak bermain-main.
Bukunya pun tak pernah lengkap, baik buku tulis, maupun buku cetak.
Anehnya, Iwan selalu juara kelas dan
dengan mudahnya menjawab secara benar jika guru menanyakan sesuatu, sebaliknya
Agus tidak pernah juara kelas dan kerap gagap bila menjawab pertanyaan guru.
Di luar sekolah, Agus dan Iwan adalah
dua bocah bahagia. Mereka sepermainan meski rumah mereka berjarak kurang lebih
satu kilometer. Agus sering bermain dan belajar di rumah Iwan, karena kebetulan
Iwan punya kamar sendiri dan orangtuanya cukup berada.
Pada semester genap kelas dua SMP, Iwan
dipindahkan ke sekolah di
ibukota
provinsi. Sejak saat itu, mereka tidak pernah lagi berkomunikasi, apalagi
bertemu.
Mereka baru bertemu kembali 26 tahun
kemudian, saat keduanya berusia 40 tahun. Agus sudah punya empat anak,
sedangkan Iwan punya tiga anak. Agus bekerja pada sebuah perusahaan swasta di
ibukota provinsi, sedangkan Iwan sudah empat kali meninggalkan perusahaan
tempatnya bekerja dan kemudian membangun tiga perusahaan yang cukup sukses di
ibukota negara.
Agus hanya berijazah sarjana, sedangkan
Iwan magister lulusan perguruan tinggi ternama di luar negeri.
Keduanya bertemu di sebuah warung kopi.
Setelah berjabat tangan dan berpelukan, mereka pun larut dalam obrolan yang
dipenuhi suasana reuni.
Pilihan-pilihan
Sekitar pukul 14.00 waktu setempat, Iwan
mengajak Agus makan siang di sebuah plasa. Mereka tak pernah berhenti ngobrol,
mulai dari masa-masa mereka bersama-sama di kampung, masalah pekerjaan, masalah
keluarga, pemilihan kepala daerah (Pilkada), hingga prinsip hidup.
“Dalam hidup ini, tidak ada yang salah,
dan tidak ada yang benar,” kata Iwan.
Yang penting, kata Iwan, apapun yang
kita lakukan, harus disadari konsekuensinya.
Ketika
seseorang memilih suatu bidang pekerjaan atau suatu profesi dan sukses dalam
melakoni pekerjaan atau profesinya, maka orang itu tidak boleh mengatakan
pilihannya itulah yang paling benar, sedangkan orang lain yang tidak sukses
dalam pekerjaan atau profesi lain, dianggap salah.
Begitu juga kalau seseorang masuk dalam
salah satu organisasi, maka ia tidak boleh mengatakan diri dan organisasinyalah
yang benar, sedangkan orang lain dan organisasi lain salah.
“Agama juga sebenarnya tidak mengajarkan
benar dan salah, tetapi Tuhan memberikan kepada kita pilihan-pilihan,” ujar
Iwan.
Dalam menentukan pasangan calon gubernur
dan calon wakil gubernur yang akan dipilih pada Pilkada, siapa pun berhak
memilih pasangan manapun. Tidak boleh ada yang mengatakan bahwa pilihannya yang
benar, sedangkan pilihan orang lain salah.
“Yang penting, kita harus tahu siapa
yang akan dipilih dan bertanggungjawab sesudahnya,” kata Iwan.
Sebelum menentukan pilihan, seseorang
harus mengenal para cagub dan cawagub, sehingga bisa menanggung risiko atau
konsekuensi terhadap apapun yang akan terjadi setelah gubernur dan wagub
pilihannya kelak menjalankan pemerintahan.
“Tetapi bagaimana caranya
bertanggungjawab, kalau kemudian gubernur dan wagub pilihan kita ternyata tidak
becus dalam menjalankan pemerintahan?” tanya Agus.
“Jangan pilih lagi pada Pilkada berikutnya,”
jawab Iwan.
...
Keterangan:
Artikel
bergaya kisah cerita ini, saya tulis di Makassar, pada 2 September 2007, dan
dimuat pada rubrik “Lanskap” harian Pedoman Rakyat, edisi Senin, 3 September
2007, dengan judul: “Tak Ada yang Salah, Tak Ada yang Benar.”