SYECH YUSUF. Pesan-pesan terselubung Syech Yusuf kepada Raja Banten dan Raja Makassar (Gowa) akhirnya tercium oleh Kompeni di Batavia. Pemerintah Kompeni terkejut atas terjadinya pemberontakan rakyat Banten, pemberontakan Haji Miskin di Sumatera Barat, dan pemberontakan Sultan Abdul Jalil (Raja Gowa yang ke-19) yang menggugat perjajian Bungaya dan menginginkan agar Fort Rotterdam dikembalikan kepada Kerajaan Gowa. (foto: wikipedia.org)
--------
PEDOMAN
KARYA
Sabtu,
16 Juli 2016
Sejarah Kota Makassar (6):
Pesan-pesan Terselubung kepada Raja Banten dan Raja Makassar
Jemaah haji dari Hindia Timur
(Indonesia), sekembalinya dari Mekah, biasanya singgah di Srilanka selama
kurang lebih tiga bulan. Mereka menggunakan kesempatan itu dengan belajar dan
memperdalam ilmunya, serta meminta berkah dari Syech Yusuf.
Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Syech
Yusuf untuk menyampaikan pesan-pesan politik kepada jemaah haji, agar tetap
mengadakan perlawanan kepada Kompeni Belanda.
Ia juga menitipkan pesan-pesan agama
agar para jemaah haji Indonesia tetap berpegang teguh pada jalan Allah. Kepada
sultan dan rakyat Banten, serta kepada raja dan rakyat Makassar, ia berpesan
agar tetap waspada, berpegang teguh kepada kitabullah, selalu berdzikir,
berbuat jujur, dan berbudi luhur.
“Pesan-pesan kepada raja di Makassar
adalah pesan kekeluargaan,” papar Abu Hamid.
Pesan-pesan terselubung Syech Yusuf
kepada Raja Banten dan Raja Makassar (Gowa) akhirnya tercium oleh Kompeni di
Batavia.
Pemerintah Kompeni terkejut atas
terjadinya pemberontakan rakyat Banten, pemberontakan Haji Miskin di Sumatera
Barat, dan pemberontakan Sultan Abdul Jalil (Raja Gowa yang ke-19) yang
menggugat perjajian Bungaya dan menginginkan agar Fort Rotterdam dikembalikan
kepada Kerajaan Gowa.
Setelah melakukan penyelidikan, Kompeni
akhirnya mengambil kesimpulan bahwa peristiwa itu dipicu oleh surat-surat dan
pesan-pesan terselubung dari orangtua yang ada di Ceylon (Srilanka).
Kompeni kemudian menemukan nama samaran
yang digunakan oleh rakyat, seperti Tuan LoEta, Pasanna Tuanta, Tuanta
Salamaka. Di Jawa Barat, orangtua itu diberi nama Ngelmu Aji Karang, dan Tuan
Syeh.
Nama-nama itu tak lain adalah nama
samaran Syech Yusuf yang wibawa dan pengaruhnya masih beredar di kalangan
masyarakat Hindia Timur dan Ceylon, hingga ke India.
Pemerintah Tinggi Kompeni kemudian
memindahkan Syech Yusuf bersama murid-murid dan keturunannya ke Kaap (Cape
Town, Afrika Selatan), agar nama dan wibawanya menjadi kabur sehingga keluarga
dan murid-muridnya tidak mewarisi kebanggaan atas kecendekiaan dan pengaruhnya.
Ketika itu, Syech Yusuf sudah berusia 68 tahun.
Ironisnya, kedatangan Syech Yusuf (2
April 1694, pukul 15.00 waktu setempat) sebagai orang buangan politik, malah
disambut dengan ramah oleh Gubernur Simon Van Der Stel.
Hari itu juga Syech Yusuf bersama
rombongannya yang berjumlah 49 orang, melakukan salat magrib pertama di dalam
kastle (benteng). Hanya dalam tempo 72 hari, para tentara sewaan Kompeni dari
India dan penjaga kastle (benteng) sudah akrab dan tertarik atas kepribadian
Syech Yusuf.
Karena dikhawatirkan terjadi
pemberontakan, Kompeni kemudian memindahkan Syech Yusuf ke daerah Zandvleit, 36
km dari pusat kota Cape.
Singkat cerita, Syech Yusuf malah
berhasil memperluas pengaruhnya dan menyebarkan agama Islam di Cape Town,
sehingga banyak yang percaya bahwa Syech Yusuf bersama para santrinyalah yang
pertama kali membawa Islam di sana.
Syech Yusuf meninggal dunia pada usia 73
tahun (1699). Makamnya berada di daerah Zemplit, 36 km sebelah selatan pusat
kota Cape Town, yang kemudian disebut Makassar Dawn atau Desa Makassar.
“Komunitas Islam di Cape Town
menghormatinya sebagai Tuan Keramat beradal dari Makassar,” urai Abu Hamid.
Syech Yusuf diangkat menjadi Pahlawan
Nasional di Afrika Selatan pada 1925, dan 70 tahun kemudian diangkat menjadi
Pahlawan Nasional di Indonesia (1995).
Tahun 2005, pemerintah Afrika Selatan
yang sudah merdeka, mengangkat kembali Syech Yusuf sebagai Pahlawan Nasional. (asnawin/bersambung)
Keterangan:
-- Artikel ini dimuat di harian Pedoman Rakyat,
Makassar, Selasa, 14 Agustus 2007, halaman 17/Humaniora, dengan judul: “Sejarah
Kota Makassar (6): Pesan Terselubung kepada Raja Makassar” (http://pedomanrakyat.blogspot.co.id/2007/08/pesan-terselubung-kepada-raja-makassar.html)
--
-- Materi tulisan diambil dari makalah antropolog Univesitas Hasanuddin (Unhas)
Makassar, budayawan, dan penulis buku, Prof Abu Hamid Hamid (lahir di Sinjai, 3
Maret 1934, dan meninggal dunia di Makassar, 23 Mei 2011), pada Seminar
Nasional 400 Tahun Makassar, di Hotel Sahid Makassar, 30 Juni 2007.
--
Seminar dengan tema ''Menemukenali dan Merangkai Sejarah dan Budaya
Makassar" itu menghadirkan 400 tokoh dan menampilkan beberapa pembicara.