PEDOMAN KARYA
Sabtu, 16 Juli 2016
Sejarah Kota
Makassar (6):
Pesan-pesan
Terselubung Syech Yusuf kepada Raja Banten dan Raja Makassar
Jemaah haji dari Hindia Timur
(Indonesia), sekembalinya dari Mekah, biasanya singgah di Srilanka selama
kurang lebih tiga bulan. Mereka menggunakan kesempatan itu dengan belajar dan
memperdalam ilmunya, serta meminta berkah dari Syech Yusuf.
Kesempatan itu dimanfaatkan
oleh Syech Yusuf untuk menyampaikan pesan-pesan politik kepada jemaah haji,
agar tetap mengadakan perlawanan kepada Kompeni Belanda.
Ia juga menitipkan pesan-pesan
agama agar para jemaah haji Indonesia tetap berpegang teguh pada jalan Allah.
Kepada sultan dan rakyat Banten, serta kepada raja dan rakyat Makassar, ia
berpesan agar tetap waspada, berpegang teguh kepada kitabullah, selalu
berdzikir, berbuat jujur, dan berbudi luhur.
“Pesan-pesan kepada raja di
Makassar adalah pesan kekeluargaan,” papar Abu Hamid.
Pesan-pesan terselubung Syech
Yusuf kepada Raja Banten dan Raja Makassar (Gowa) akhirnya tercium oleh Kompeni
di Batavia.
Pemerintah Kompeni terkejut
atas terjadinya pemberontakan rakyat Banten, pemberontakan Haji Miskin di
Sumatera Barat, dan pemberontakan Sultan Abdul Jalil (Raja Gowa yang ke-19)
yang menggugat perjajian Bungaya dan menginginkan agar Fort Rotterdam dikembalikan
kepada Kerajaan Gowa.
Setelah melakukan
penyelidikan, Kompeni akhirnya mengambil kesimpulan bahwa peristiwa itu dipicu
oleh surat-surat dan pesan-pesan terselubung dari orangtua yang ada di Ceylon
(Srilanka).
Kompeni kemudian menemukan
nama samaran yang digunakan oleh rakyat, seperti Tuan LoEta, Pasanna Tuanta,
Tuanta Salamaka. Di Jawa Barat, orangtua itu diberi nama Ngelmu Aji Karang, dan
Tuan Syeh.
Nama-nama itu tak lain adalah
nama samaran Syech Yusuf yang wibawa dan pengaruhnya masih beredar di kalangan
masyarakat Hindia Timur dan Ceylon, hingga ke India.
Pemerintah Tinggi Kompeni
kemudian memindahkan Syech Yusuf bersama murid-murid dan keturunannya ke Kaap
(Cape Town, Afrika Selatan), agar nama dan wibawanya menjadi kabur sehingga
keluarga dan murid-muridnya tidak mewarisi kebanggaan atas kecendekiaan dan
pengaruhnya. Ketika itu, Syech Yusuf sudah berusia 68 tahun.
Ironisnya, kedatangan Syech
Yusuf (2 April 1694, pukul 15.00 waktu setempat) sebagai orang buangan politik,
malah disambut dengan ramah oleh Gubernur Simon Van Der Stel.
Hari itu juga Syech Yusuf
bersama rombongannya yang berjumlah 49 orang, melakukan shalat magrib pertama
di dalam kastle (benteng). Hanya dalam tempo 72 hari, para tentara sewaan
Kompeni dari India dan penjaga kastle (benteng) sudah akrab dan tertarik atas
kepribadian Syech Yusuf.
Karena dikhawatirkan terjadi
pemberontakan, Kompeni kemudian memindahkan Syech Yusuf ke daerah Zandvleit, 36
km dari pusat kota Cape.
Singkat cerita, Syech Yusuf
malah berhasil memperluas pengaruhnya dan menyebarkan agama Islam di Cape Town,
sehingga banyak yang percaya bahwa Syech Yusuf bersama para santrinyalah yang
pertama kali membawa Islam di sana.
Syech Yusuf meninggal dunia
pada usia 73 tahun (1699). Makamnya berada di daerah Zemplit, 36 km sebelah
selatan pusat kota Cape Town, yang kemudian disebut Makassar Dawn atau Desa
Makassar.
“Komunitas Islam di Cape Town
menghormatinya sebagai Tuan Keramat beradal dari Makassar,” urai Abu Hamid.
Syech Yusuf diangkat menjadi
Pahlawan Nasional di Afrika Selatan pada 1925, dan 70 tahun kemudian diangkat
menjadi Pahlawan Nasional di Indonesia (1995).
Tahun 2005, pemerintah Afrika
Selatan yang sudah merdeka, mengangkat kembali Syech Yusuf sebagai Pahlawan
Nasional. (asnawin/bersambung)
…..
Artikel Bagian 5:
Syech Yusuf Ditangkap di Banten, Pasukannya Dipulangkan ke Makassar
Artikel Bagian 7:
VOC Belanda Ingin Kuasai Makassar, Sultan Hasanuddin Tidak Beri Peluang
.....
Keterangan:
-- Artikel ini dimuat di
harian Pedoman Rakyat, Makassar, Selasa, 14 Agustus 2007, halaman 17/Humaniora,
dengan judul: “Sejarah Kota Makassar (6): Pesan Terselubung kepada Raja
Makassar”
-- Materi tulisan diambil dari
makalah antropolog Univesitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, budayawan, dan
penulis buku, Prof Abu Hamid Hamid (lahir di Sinjai, 3 Maret 1934, dan
meninggal dunia di Makassar, 23 Mei 2011), pada Seminar Nasional 400 Tahun Makassar,
di Hotel Sahid Makassar, 30 Juni 2007.
-- Seminar dengan tema
''Menemukenali dan Merangkai Sejarah dan Budaya Makassar" itu menghadirkan
400 tokoh dan menampilkan beberapa pembicara.