SULTAN HASANUDDIN. Patung Sultan Hasanuddin di Benteng Rotterdam, Makassar. VOC (Belanda) ingin menaklukkan wilayah-wilayah di nusantara, termasuk pelabuhan Makassar, tetapi Sultan Hasanuddin sebagai Raja Gowa tidak memberi peluang. (Foto: Asnawin Aminuddin)
PEDOMAN KARYA
Senin,
18 Juli 2016
Sejarah Kota
Makassar (7-habis):
VOC Belanda
Ingin Kuasai Makassar, Sultan Hasanuddin Tidak Beri Peluang
Pertumbuhan Makassar tidak dapat
dipisahkan dengan pelbagai peristiwa yang dilahirkan oleh tingkah laku
bangsa-bangsa kolonial, antara lain Portugis, Inggris, dan Belanda.
Portugis adalah bangsa kolonial awal
yang memberikan pengaruh besar bagi pertumbuhan dan perkembangan Makassar,
walaupun pengaruh itu tidak oleh karena mereka datang menaklukkan kota
pelabuhan ini.
Pengaruh yang diberikan Portugis terjadi
ketika pasukan mereka berhasil menaklukkan pelabuhan Malaka yang merupakan
pelabuhan utama dan emporium di Asia Tenggara, pada 1511.
Sejak itu, para pedagang merasa tidak
nyaman melakukan aktivitasnya di Pelabuhan Malaka dan akhirnya memindahkan
aktivitas dagangnya ke pelabuhan Makassar.
“Kedatangan para pedagang Asia Tenggara
itu menjadikan Makassar sebagai kota, tidak sekadar sebagai kota pelabuhan
untuk persinggahan, melainkan juga berkembang menjadi kota pelabuhan yang
menjadi wilayah pemukiman bagi para pedagang usiran dari kolonialis Portugis,”'
tutur sejarawan Prof Dr Anhar Gonggong.
VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie, persekutuan dagang asal Belanda yang didirikan pada tanggal 20 Maret 1602 dan memiliki monopoli untuk aktivitas perdagangan di Asia) Belanda yang datang belakangan,
ingin menaklukkan wilayah-wilayah di nusantara, termasuk pelabuhan Makassar,
tetapi Sultan Hasanuddin sebagai Raja Gowa tidak memberi peluang.
Sultan Hasanuddin membuka peluang yang
sangat luas bagi para pedagang untuk melakukan aktivis dagang tanpa
mempersoalkan asal kebangsaannya, termasuk VOC, tetapi VOC ingin lebih dari itu
yakni ingin menguasai jalur-jalur perdagangan di wilayah timur.
Akhirnya perang pun tidak bisa
dihindarkan, tetapi tentara VOC yang dibantu oleh Raja Bone, Arung Palakka,
terlalu kuat untuk dilawan dan Sultan Hasanuddin bersama pasukannya pun
menyerah. Kemudian dibuatlah Perjanjian Bungaya pada 1676, dan Raja Arung
Palakka menjadi penguasa baru di wilayah Sulawesi Selatan.
Setelah itu, Makassar mengalami berbagai
perubahan, pertumbuhan, dan perkembangan. Makassar “selalu” mempunyai peran
sebagai ibukota provinsi.
“Hal yang menarik dari
perubahan-perubahan itu adalah masyarakatnya pun mengalami dinamika sesuai
dengan dampak yang dilahirkan oleh perubahan itu,” kata Anhar.
Perubahan-perubahan itu antara lain
Makassar menjadi pusat kegiatan politik dan ekonomi di tengah situasi
mempertahankan kemerdekaan (1945-1950).
Makassar juga sempat menjadi pusat
pemerintahan Negara Indonesia Timur (NIT) ketika terjadi ketegangan antara dua
kekuatan, yakni kekuatan yang mendukung bentuk Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) dan kekuatan yang menghendaki bentuk negara federal. Ketegangan
itu mencapai puncaknya ketika terjadi peristiwa Andi Azis pada 5 April 1950.
Dinamika perubahan dan perkembangan
Makassar kemudian menjadikan kota ini didominasi oleh empat etnis utama, yakni
Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja, tetapi belakangan etnis Jawa juga mulai “membanjiri’
Kota Makassar.
Penamaan Soekarno-Hatta kepada pelabuhan
Makassar merupakan bagian dari upaya peng-Indonesia-an sebagai “hidup
bersamanya”masyarakat berbagai etnis.
Menurut Anhar Gonggong, perubahan dan
perkembangan Kota Makassar juga tidak bisa dilepaskan dari terjadinya
pemberontakan Abdul Qahhar Muzakkar dengan DI/TII-nya.
Perubahan lain yaitu pergantian nama
Makassar menjadi Ujung Pandang, yang sebenarnya ditentang oleh banyak pihak,
terutama tiga cendekiawan terkemuka di daerah ini, yakni Prof Andi Zaenal
Abidin, Dr Mattulada, dan Drs HD Mangemba. Beruntung kemudian nama Makassar
dikembalikan lagi.
Anhar Gonggong berharap warga kota
Makassar bersama para cendekiawan di daerah ini, mengambil prakarsa untuk
menjadikan kota ini mempunyai perbedaan dengan ibukota provinsi lainnya di
Indonesia.
Dia berharap Makassar tampil dengan
wajah khas dalam berbagai bidang kehidupannya, sehingga nyaman untuk didiami maupun
untuk dikunjungi. (asnawin)
----
Keterangan:
--
Artikel ini dimuat di harian Pedoman Rakyat, Makassar, Rabu, 15 Agustus 2007,
halaman 17/Humaniora, dengan judul: “Sejarah Kota Makassar (7-habis): Makassar
dengan Perubahan dan Dinamikanya” (https://pedomanrakyat.blogspot.co.id/2007/08/makassar-dengan-perubahan-dan.html)
--
Materi tulisan diambil dari makalah sejarawan Universitas Indonesia (UI), Anhar
Gonggong, pada Seminar Nasional 400 Tahun Makassar, di Hotel Sahid Makassar, 30
Juni 2007.
--
Seminar dengan tema ''Menemukenali dan Merangkai Sejarah dan Budaya
Makassar" itu menghadirkan 400 tokoh dan menampilkan beberapa pembicara.