“Jangan bersedih saudaraku, karena saya seorang wartawan, maka saya sudah sangat bahagia kalau karya jurnalistik saya, berita yang saya buat, termuat, dibaca, dan dinikmati oleh orang banyak di media massa. Ingat saudaraku, kepuasan tertinggi yang tak bisa diukur dari seorang wartawan, yaitu ketika karya jurnalistiknya dibaca dan dinikmati orang banyak.”
--------
PEDOMAN KARYA
Rabu,
26 Oktober 2016
Kepuasan
Tertinggi Seorang Wartawan
Oleh:
Muhammad Said Welikin
(Bendahara
PWI Kabupaten Takalar)
Sore itu, saya bertemu dengan seorang
teman, seorang sahabat, sekaligus saudara, di rumah seorang sahabat yang lain,
di daerah selatan Kota Makassar. Sahabat pemilik rumah lagi keluar kota, tetapi
karena sudah seperti keluarga, maka kami pun tidak canggung berada di rumah
tersebut.
Kami berdua duduk di teras sambil
menikmati dua cangkir kopi hangat dan sepiring pisang goreng yang disuguhkan isteri
sahabat kami. Cuaca kota Makassar sore itu terasa sejuk dan suasana agak
lengang, mungkin karena rinai baru saja beranjak.
Dalam suasana santai, sahabat saya ini
menceritakan berbagai hal dan saya lebih banyak mendengar, maklum secara raga
kami tidak bersua selama 14 hari, 6 jam, dan 15 menit.
Dia menceritakan bahwa dirinya baru saja
pulang dari Kota Malang di Jawa Timur, untuk menghadiri acara ujian promosi doktor
salah seorang pimpinan organisasi Islam yang cukup besar di Sulawesi Selatan, dan
juga ketua yayasan salah satu perguruan tinggi, tempat sahabat saya itu bekerja
sebagai karyawan.
“Saya masih agak capek. Saya baru tiba
tadi malam sekitar jam satu. Tidur hanya sekitar empat jam dan pagi tadi sudah
harus beraktivitas lagi seperti biasa, mengantar anak ke sekolah dan langsung masuk
kantor,” tutur sahabat saya dengan suara datar.
“Wah, lagi banyak uang ini saudaraku.
Bolak-balik Makassar-Surabaya-Malang,” tanya saya.
Saya bertanya seperti itu, karena saya
tahu, sebagai sesama wartawan yang kebetulan dia juga diangkat menjadi karyawan
biasa di sebuah perguruan tinggi, sahabat saya ini bukan orang berlebih, bahkan
sering kekurangan dan harus pontang-panting cari uang tambahan untuk memenuhi
kebutuhan hidup rumah-tangganya dengan beban lima orang anak.
Sambil tersenyum ia mengisahkan bahwa kepergiannya
ke Kota Malang bukan karena banyak uang, tetapi semata-mata atas pertolongan
Allah SWT.
“Saya malah tidak punya uang. Saya tepaksa
pinjam uang lima ratus ribu untuk transport darat dan berjaga-jaga kalau
tiba-tiba ada yang harus dibayar atau dibeli,” ungkapnya.
“Tiket pesawatnya dari mana? Apakah dari
pimpinan saudara, atau dari perguruan tinggi tempat saudaraku bekerja?” tanya
saya.
“Bukan! Tiket pesawat saya dibelikan
oleh seorang teman yang berbaik hati,” jawabnya.
Sahabat saya itu mengaku kebetulan
bertemu dengan orang yang disebutnya “teman yang berbaik hati” pada sebuah
kegiatan di salah satu hotel. Ketika itu, sahabat saya mendampingi pimpinannya
menghadiri kegiatan tersebut.
“Teman itu kebetulan juga berteman
dengan ketua yayasan perguruan tinggi yang akan mengikuti ujian promosi doktor
di Malang. Dia tanya, apakah saya juga ikut berangkat ke Malang untuk menghadiri
ujian promosi doktor tersebut. Saya bilang, sebenarnya saya mau, tapi agak
berat diongkos. Dia bilang pergi saja, nanti kita sama-sama ke sana, tetapi dengan
halus saya menolak tawarannya. Beberapa jam setelah kami berpisah, tiba-tiba dia
kirim sms (pesan singkat) kode booking tiket pesawat Makassar – Surabaya,
lengkap dengan jenis pesawat dan jam berangkatnya,” tuturnya.
“Baik hati juga teman saudaraku itu.
Tapi, kenapa pimpinan saudaraku atau yang punya hajat tidak mengajak ke Malang.
Bukankah keberadaan saudaraku diperlukan untuk bisa meliput dan mengirim rilis berita
ke berbagai media, agar ujian promosi doktor tersebut dapat terekspos di media?”
tanya saya.
“Itu pikiran kita, tetapi belum tentu
apa yang kita pikirkan, sama dengan yang dipikirkan oleh mereka. Mungkin kita
saja yang merasa dibutuhkan, tetapi belum tentu benar-benar dibutuhkan oleh
mereka,” ujarnya.
Sahabat saya itu mengaku bahwa beberapa
hari sebelumnya, dirinya sudah pernah menyampaikan kepada pimpinannya dan
kepada ketua yayasan perguruan tinggi yang juga pimpinan ormas Islam yang akan
ujian promosi doktor, bahwa ujian promosi doktor tersebut perlu dipublikasikan
di berbagai media massa.
“Saya bilang ini perlu dipublikasikan di
media massa untuk promosi kampus dan juga untuk mengangkat citra organisasi, tapi
rupanya tidak ditanggapi. Namun rupanya, rezeki itu tidak kemana. Kalau kita selalu
berikhtiar baik kepada sesama, ada-ada saja jalan yang Allah berikan,” ujarnya.
“Oh, begitu ya. Jadi, saudaraku
berangkat ke Malang, lengkap dengan senjata laptop dan kamera?” tanya saya.
“Tidak, saya tidak bawa laptop dan juga
tidak bawa kamera, karena kamera saya sudah lama rusak,” katanya.
“Jadi bagaimana caranya saudaraku mengambil
gambar dan bikin beritanya?” tanya saya lagi.
“Saya pinjam hape teman yang hadir, lalu
fotonya saya kirim ke akun FB. Jadi, fotonya saya ambil di FB. Laptop saya pinjam
dari salah seorang teman lain, sekalian dengan kuota internetnya.
Alhamdulillah, semua bisa teratasi, dan hari ini, beritanya sudah termuat di
koran dan juga di media online,” tutur sahabat saya sambil tersenyum.
“Bagaimana dengan oleh-oleh untuk isteri
dan anak-anak di rumah?” tanya saya.
“Karena saya hanya mengantongi uang
pinjaman dan juga sisanya tidak seberapa, maka saya tidak beli apa-apa. Saya
hanya membawa tiga biji beng-beng yang kebetulan diberikan seorang teman dalam
perjalanan. Itulah oleh-oleh yang saya bawa pulang ke rumah, tetapi isteri saya
maklum dan anak-anak kami juga tidak protes, karena mereka tahu kondisi
orangtuanya,” ungkapnya.
Saya menatap matanya dengan penuh rasa
penasaran. Berbagai macam pertanyaan dan juga dugaan-dugaan positif bermunculan
di benak saya.
Mungkin sahabat saya tahu arti tatapan
saya, maka ia pun langsung berujar: “Jangan bersedih saudaraku, karena saya seorang
wartawan, maka saya sudah sangat bahagia kalau karya jurnalistik saya, berita
yang saya buat, termuat, dibaca, dan dinikmati oleh orang banyak di media massa.
Ingat saudaraku, kepuasan tertinggi yang tak bisa diukur dari seorang wartawan,
yaitu ketika karya jurnalistiknya dibaca dan dinikmati orang banyak.”
Mendengar penuturan sahabat saya itu,
saya kembali manggut-manggut sambil tetap menatap wajahnya. Saya tak mampu
bicara saat mendapat penjelasan dari saudaraku ini. (Makassar, 26 Oktober 2016)
Tags
Opini