DUA MASJID TUA. Foto atas: Masjid Tua Katangka, Gowa. Foto bawah: Masjid Tua Palopo. Kedua masjid tua ini memiliki ikatan sejarah yang sangat kuat dengan masyarakat Sulawesi Selatan, karena disebut-sebut sebagai masjid tertua di Sulawesi Selatan. (Foto atas: Asnawin; foto bawah: internet)
------
PEDOMAN KARYA
Senin,
21 November 2016
Sejarah
Muhammadiyah di Sulawesi Selatan (2):
Proses Islamisasi Raja dan Masyarakat di Sulawesi Selatan
Oleh:
Asnawin Aminuddin
(Wakil
Ketua Majelis Pustaka dan Informasi/Humas Muhammadiyah Sulsel)
Proses Islamisasi raja dan masyarakat di
Sulawesi Selatan sering dihubungkan dengan kedatangan dan peranan tiga orang
ulama asal Minangkabau, yang secara khusus dikirim oleh Sultan dari Kerajaan
Aceh.
Ketiga ulama itu ialah Abdul Makmur
Khatib Tunggal (Datuk ri Bandang), Khatib Sulaiman (Datuk Patimang), dan Abdul
Jawab Khatib Bungsu (Datuk Tiro).
Untuk penyebaran Islam secara efektif,
ketiga ulama itu memandang perlu menggunakan pengaruh Raja Luwu, karena Luwu
adalah kerajaan tertua dan rajanya masih memiliki kharisma di kalangan
raja-raja.
Salah satu tonggak sejarah dalam awal
periode Islamisasi ini, bahwa raja yang mula-mula memeluk Islam di Sulawesi
Selatan ialah Datu Luwu La Patiware’ Daeng Parabbung, diberi gelar Sultan
Muhammad, pada tanggal 13 Ramadhan 1013 H (1603 M).
Ketiga ulama tersebut selanjutnya
meminta kepada Raja Luwu petunjuk tentang upaya dakwah Islam di kerajaan
lainnya. Datu Luwu memberi pertimbangan, bahwa sebaiknya beliau bertiga
menghubungi kerajaan kembar Gowa – Tallo (Kerajaan Makassar), yang sangat terkenal
sebagai yang terkuat memiliki supremasi politik di Sulawesi Selatan.
Ketiga ulama itu segera berangkat menuju
Gowa Tallo. Tapi kemudian mereka sepakat untuk berpisah guna menunaikan dakwah
Islam.
Abdul Jawab Khatib Bungsu singgah di
daerah Tiro (sekarang Kecamatan Bontotiro, Kabupaten Bulukumba). Beliau
mengembangkan Islam dengan pendekatan tasawuf.
Sulaiman Khatib Sulung, setelah tiba
bersama Abdul Makmur Khatib Tunggal di Gowa, kembali lagi ke Luwu untuk
mengajarkan agama Islam di sana dengan mengutamakan keimanan (tauhid), serta
mempergunakan konsep ke-Tuhan-an Dewata Seuwae yang telah berkembang sebelumnya
sebagai metode pendekatan. Yang menetap di Gowa ialah Abdul Makmur Khatib
Tunggal (Datuk Ri Bandang).
Abdul Makmur Khatib Tunggal berhasil
meng-Islam-kan Raja Tallo I Malingkaan Daeng Manyonri dan Raja Gowa I
Mangarangi Daeng Manrabia.
Raja Tallo diberi gelar Sultan Abdullah
Awwalul Islam, sedangkan Raja Gowa diberi gelar Sultan Alauddin. Peristiwa
bersejarah ini terjadi pada tanggal 9 Jumadil Awal 1015 H, bertepatan dengan 22
September 1605 M, pada malam Jumat.
Kerajaan Tallo dan Kerajaan Gowa adalah
kerajaan kembar dan lazim disebut Kerajaan Makassar saja.
Dua tahun kemudian, seluruh rakyat Gowa
dan Tallo dinyatakan memeluk Islam. Dilaksanakan dengan upacara shalat Jumat
bersama yang pertama di Masjid Tallo pada tanggal 9 November 1607.
Kerajaan Makassar dengan resmi
memproklamirkan Islam sebagai agama resmi kerajaan. Dengan demikian Makassar
adalah kerajaan Islam yang pertama di Sulawesi Selatan.
Pada masa sebelum datangnya Islam, ada
suatu konvensi raja-raja Bugis dengan raja Makassar, suatu paseng (ikrar) bahwa
siapa di antara mereka menemukan jalan yang lebih baik, maka hendaklah di
antara mereka menyampaikannya kepada yang lainnya. Sebab itu Makassar mendapat
kehormatan sejarah untuk menjadi pusat dakwah Islam di Sulawesi Selatan pada
awal abad ke-17.
Atas dasar paseng itu, Sultan Alauddin
mengirim utusan kepada segenap raja-raja di seluruh Sulawesi Selatan. Beberapa
kerajaan kecil menerima seruan Islam itu dengan baik dan sebagiannya menolak,
karena curiga tentang kemungkinan adanya tujuan-tujuan politis dari Raja Gowa –
Tallo, termasuk yang menolak ialah Raja Bone, Raja Wajo, dan Raja Soppeng, yang
dikenal dengan sebutan Tellumpoccoe, tiga serangkai yang besar.
Akibatnya Kerajaan Makassar mengangkat
senjata menghadapi mereka, terkenal dalam sejarah Bugis sebagai peperangan
Islam (musu sellengnge). Selama empat tahun Sulawesi Selatan berhasil di-Islam-kan
secara resmi sampai kepada masyarakat Toraja.
Berturut-turut menerima Islam, Kerajaan
Sidenreng dan Rappang pada tahun 1608, Kerajaan Soppeng pada tahun 1609, Kerajaan
Wajo pada tahun 1610, dan Kerajaan Bone pada tahun 1611.
Raja Wajo Lasangkuru Mulajaji ketika
akan menerima Islam mengajukan syarat dan disepakati oleh raja Gowa bahwa: “Tenna reddu muiwesseku, tenna timpa
salewoku, tenna sesse balaori tampukku”, artinya, tidak merampas
kerajaanku, tidak mengambil harta rakyatku, dan tidak mengambil barang-barang
milikku.
Selanjutnya Islam menanamkan terus
pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat, sehingga adat dan agama menyatu dalam
sistem nilai dalam masyarakat Sulawesi Selatan. Islam telah menjadi jiwa
pertahanan rakyat, sehingga daerah ini termasuk paling akhir dijamah oleh
Belanda.
Suatu bukti, bahwa barulah pada tahun
1905 Kerajaan Sidenreng dan Rappang di bawah Addatuang La Sadapotto menyerah
setelah melalui peperangan seru yang menyebabkan banyak korban jiwa, karena
rakyat tidak mau dijajah oleh orang kafir.
Adanya penganut agama Nasrani di daerah
ini, karena agama itu terbawa oleh penjajah Belanda. Jumlahnya pun relatif
sedikit, tidak terdapat pada Suku Makassar, Suku Bugis, dan Suku Mandar,
sebagai suku terbesar di Sulawesi Selatan.
Mandar, Toraja,
Mamasa
Berbeda dengan kerajaan-kerajaan Bugis,
kerajaan-kerajaan Mandar (sekarang Provinsi Sulawesi Barat) sejak sebelum Islam
datang, memang sudah takluk kepada Raja Gowa. Karena itulah, proses Islamisasi
di daerah Mandar tidak berlangsung dengan kekerasan.
Bersamaan atau segera setelah
kerajaan-kerajaan Bugis diperangi, Kerajaan Gowa pun berupaya meng-Islam-kan
kerajaan-kerajaan Mandar secara damai melalui pengiriman muballigh-muballigh ke
Mandar.
Sejak saaat itulah (awal abad ke-17),
dapatlah dikatakan bahwa Islam telah merata diterima oleh seluruh penduduk
Sulawesi Selatan. Daerah yang belum berhasil di-Islam-kan hanyalah penduduk
yang bermukim di daerah yang jauh ke pedalaman, seperti daerah pegunungan Tana Toraja
dan Mamasa.
Terabaikannya daerah-daerah tersebut,
disebabkan proses alamiah dan faktor politis. Secara alamiah, daerah-daerah
tersebut sanbgat sulit dijangkau, sedangkan secara politis, Kerajaan Gowa
sebagai pemimpin Islamisasi, merasa tidak terlalu berkepentingan, karena di
daerah-daerah tersebut tidak ada kesatuan politik berupa kerajaan besar yang
berpengaruh.
Di belakang hari, sejak akhir abad
ke-19, daerah-daerah yang belum sempat di-Islam-kan tersebut (Mandar, Toraja,
Mamasa), justru menjadi sasaran Kristenisasi oleh para misionaris Katolik dan Zending
Protestan yang membonceng dan menumpang pengaruh serta mendapatkan berbagai
macam fasilitas dari Pemerintah Kolonial Belanda. (bersambung)
-------
@Tulisan bagian pertama: "Awal Masuknya Islam di Sulawesi Selatan" (http://www.pedomankarya.co.id/2016/11/awal-masuknya-islam-di-sulawesi-selatan.html)
------
------
Sumber referensi:
Assagaf, S.
Jamaluddin; Kafaah dalam Perkawinan dan Dimensi Masyarakat Sulsel
Bosra, Mustari,
dkk; Menapak Jejak Menata Langkah: Sejarah Gerakan dan Biografi Ketua-Ketua
Muhammadiyah Sulawesi Selatan; 2015; Yogyakarta, Suara Muhammadiyah
Idrus, Mubarak, Jejak
Islam di Sulawesi Selatan; Menemukan Jejak Jamaluddin al Husaini, https://maulanusantara.wordpress.com/2011/08/29/jejak-islam-di-sulawesi-selatan-menemukan-jejak-jamaluddin-al-husaini/
Lambe, Sawaty, (2012), Masuknya Agama Islam ke Sulawesi
Selatan, Parepare, makalah, http://sawatyl.blogspot.co.id/2012/02/blog-post_26.html
Menelusuri Awal Masuknya Islam di Sulsel, (2014); http://kabarmakassar.com/menelusuri-awal-masuknya-islam-di-sulsel/
Sejarah Muhammadiyah di Sulawesi Selatan; http://sulsel.muhammadiyah.or.id/content-3-sdet-sejarah.html
Sejarah Muhammadiyah di Sulawesi Selatan (1):
BalasHapusAwal Masuknya Islam di Sulawesi Selatan
...
http://www.pedomankarya.co.id/2016/11/awal-masuknya-islam-di-sulawesi-selatan.html
Sejarah Muhammadiyah di Sulawesi Selatan (3):
BalasHapusSulawesi Selatan Menjelang Kehadiran Muhammadiyah
...
http://www.pedomankarya.co.id/2016/11/sulawesi-selatan-menjelang-kehadiran.html