AKSI BELA ISLAM. Anggota DPD/MPR RI, AM Iqbal Parewangi, dengan latar-belakang jutaan massa dalam Aksi Bela Islam II, di Jakarta, Jumat, 4 November 2016. Gambar pada bagian lain, AM Iqbal Parewangi, juga hadir pada gerakan Aksi Bela Islam III di Monas Jakarta, Jumat, 2 Desember 2016. (ist)
-------
PEDOMAN
KARYA
Jumat,
09 Desember 2016
Ghirah 212,
Mengalirlah Sampai Jauh
Oleh:
AM Iqbal Parewangi
(Anggota
DPD/MPR RI)
Super akbar, super damai, super tertib.
Penuh kesabaran, penuh kesadaran. Tanpa mahar, apalagi makar. Berlimpah energi,
berkelopak sinergi. Sehamparan ikhtiar insani yang beresonansi dengan tarian
alam, dalam ridha Ilahi. Tak dimasai berita, juga tak usai dicerita. Beranjak
dari ghirah keislaman, identitas gerakannya tak sulit dieja: dari umat untuk
daerah, bangsa dan umat––untuk NKRI.
Dunia pun dikesima pengalaman baru:
ghirah 212 memahat tebing sejarah. Dan terpahat di begitu banyak hati.
Masing-masing hati punya pahatan kesaksian khasnya, lalu seluruh pahatan itu
membentuk mozaik kesaksian nan indah jumawa, juga harapan baru. Mozaik
kesaksian tentang ghirah 212: ghirah penuh gairah, gairah penuh ghirah.
Kesaksian demi kesaksian mengalir dari 7
juta lebih insan berghirah yang memadati Monas, Bundaran HI, dan ruas-ruas
jalan utama Jakarta dalam radius yang luas..... Dari jutaan insan seghirah yang
menggelar Aksi Super Damai 212 serupa di Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara,
Sulawesi, Kalimantan, hingga Maluku..... Dari lebih banyak lagi anak negeri
berghirah sama, yang menyimak penuh doa dan empati lewat beragam media.....
Bahkan, ada begitu banyak kesaksian berlimpah kekaguman dari manca negara.
Tak terpungkiri, ghirah 212 menjelma
sebentuk interupsi sangat bernas. Interupsi terhadap tatanan kehidupan modern,
termasuk demokrasi juga makna toleransi. Interupsi terhadap keindonesiaan kita
yang kian terjauhkan dari kesadaran “atas berkat rahmat Allah” dan dasar “Ketuhanan
Yang Maha Esa”. Juga, interupsi terhadap lelaku imaniah kita yang kian
terbelah, keasyikan bersekuler ria, termasuk asyik mementang jarak antara
masjid dan istana.
Hamparan luas area utama Monas sudah
dipenuhi mujahid, shaf-shaf sudah rapi, padahal baru jam 8 pagi. Bersyukur
sajadah saya dan keluarga yang datang jauh-jauh dari Serambi Madinah dapat
ruang gelar meski terbatas, di tengah semesta keindahan ghirah 212 yang tak
terbatas.
Teramat indah, memang! Setelah berusaha
meyakinkan diri untuk tidak menuliskan kesaksian, agar dapat menikmati
keindahan ghirah 212 yang tak terlukiskan itu secara utuh, bukan cuma mencuil
senoktah demi senoktah, toh akhirnya saya tak kuasa untuk tidak menorehkan
segurat munajat.....
Semata karena anugerahMU, ya Allah,
jutaan manusia menyaksikan sejarah itu kembali terhampar. Sejarah tentang
"atas berkat rahmat Allah" yang membuat negeri ini merdeka dari
cengkeraman kaum penjajah. Sejarah tentang ketulusan dan pengorbanan. Sejarah
tentang harkat dan martabat. Sejarah tentang ghirah imani. Sejarah yang, Allahu
Akbar, dalam balutan ghirah 212 kembali terhampar indah oleh sebentuk
“triumvirat” : kepemimpinan ulama, potensiasi energi umat, dan kebangkitan
kesadaran hakiki.
Jutaan manusia menyaksikan dengan penuh
takzim para pewaris NabriMU, ulama-ulama bermarwah itu, memimpin dengan penuh
keteladanan. Kepemimpinan bernas yang sudah lama dilaburi polusi zaman itu,
oleh ghirah 212 kembali tersiangi, merona tepat di jantung negeri para syuhada
bersyahadatain ini.
Kepemimpinan berporos "Allahu
Akbar!" yang mengingatkan pada pekik agung Bung Tomo ketika mengusir
penjajah negerinya. Kepemimpinan yang dinafasi shiddiq, amanah, fathanah dan
tabligh. Kepemimpinan yang dimarwah ushwah dan ukhuwah.
Jutaan manusia menyaksikan dengan
kesadaran terkesiap betapa melimpah energi potensial umat Islam di negeri
jamrud khatulistiwa ini. Ketika seorang penista mengusik 1 dari 6.666 ayat
Al-Qur’an, katup energi itu terbuka. Energi imani pun meluap. Hampir dua juta
mujahid di 411 Istiqlal, itu saja sudah memerangah. Belum pernah terjadi dalam
sejarah modern aksi damai seakbar itu.
Lalu di 212 Monas malah melonjak empat
kali lipat menjadi 7 juta lebih. Jika direrata setiap mujahid merogoh koceknya
500 ribu rupiah saja, total biaya menghadiri Aksi Bela Islam 212 di Monas tidak
kurang dari 3,5 triliun rupiah. Dan itu swadana, tanpa sponsor!
Penerbangan hingga angkutan darat menuju
Jakarta pun dijubeli mujahid 212. Tak sedikit yang super heroik. Kafilah
Mujahid Ciamis berjalan kaki menempuh jarak 300 kilometer, tentu bukan untuk
datang melihat rombongan Presiden berjalan kaki 300 meter dari Istana ke
panggung 212.
Jutaan manusia menyaksikan dengan takjub
kebangkitan sebentuk kesadaran hakiki, kesadaran yang seharusnya menginspirasi
para pecinta sejati NKRI. Bahwa harus damai, bukan mencontoh elit yang suka
gaduh. Harus bersih, jauh dari hidup jorok seperti korupsi. Harus jujur, tidak
dipenuhi lelaku pencitraan, sikap pura-pura, apalagi munafik. Harus tertib,
agar kebijakan tidak tumpang-tindih apalagi blunder.
Sadar ukhuwah, karena umat ibarat satu
tubuh. Sadar soliditas, karena sapu lidi pun lebih kuat dari seribu lidi. Sadar
solidaritas, karena saling memuliakan itu mulia. Harus percaya diri sekaligus
rendah hati. Harus militan sekaligus pemaaf. Harus santun sekaligus lugas dan
tegas. Juga harus ikhlas, agar tarian alam pun turut beresonansi dengan ikhtiar
insani umat.
Selain menjelma interupsi bernas terhadap
tatanan kehidupan modern, keindonesiaan kita, dan juga lelaku imaniah kita,
Aksi Bela Islam 212 pun 411 secara meyakinkan membuat melek banyak pihak
tentang pentingnya “triumvirat” kepemimpinan ulama, potensiasi energi umat, dan
kebangkitan kesadaran hakiki.
Berbeda dengan segelintir pemelintir
kesadaran, yang keranjingan memojok-mojokkan Islam, saya justru semakin
menyadari bahwa: sesungguhnya, “triumvirat” itu adalah masadepan Indonesia
bermasadepan.
Pada puncaknya ghirah 212 diharapkan
dapat mengakselerasi kita menuju satu harapan bersama: masadepan Indonesia
bermasadepan—bukan sekadar masadepan Indonesia, bukan pula masadepan Indochina,
bukan juga masadepan Indonesia yang tergadai, dan tentu saja bukan masadepan
Indonesia yang tak bermasadepan.
Yang saya bayangkan ketika
mengkata-kerjakan frase ritmiknya Gesang menjadi “mengalirlah sampai jauh”
adalah bahwa ghirah 212 akan terus mengalir sampai ke masadepan yang jauh,
mengalirkan kesadaran berghirah pada umat Islam untuk bertanggungjawab
sepenuhnya menjaga dan merawat Indonesia, serta mengaliri setiap sektor
kehidupan berbangsa dan bernegara kita dengan ghirah ber”triumvirat”
itu—kepemimpinan ulama, potensiasi energi umat, dan kebangkitan kesadaran hakiki.
Itu juga bermakna bahwa ghirah 212 tak
boleh berhenti di sini kini, di secawan eforia. Pasca Aksi Super Damai 212, ada
banyak agenda umat dalam rangka “ghirah 212, mengalirlah sampai jauh”.
Diantaranya meretas impotensi ekonomi, hegemoni informasi, miopia politik,
amnesia ideologis, dan juga puritanisasi pendidikan.
Sebutlah impotensi ekonomi. Sektor
ekonomi memegang peran super-vital di era negara modern. Siapa menguasai
ekonomi suatu negara akan menguasai negara itu. Maka untuk dapat menjaga dan merawat
Indonesia, ekonomi umat harus kuat.
Fakta kekiniannya, ekonomi umat
terbilang rentan. Di perdagangan, misalnya, hampir seluruh lini importasi dan
distribusi dalam negeri, hingga sebagian besar penjualan grosiran bahkan
eceran, dikuasai sekelompok “naga dan samurai”. Jelasnya, kuasa ekonomi kini
bukan di tangan umat.
Hegemoni
Informasi
Sebutlah satu lagi, hegemoni informasi.
Informasi merupakan sumber daya keempat, dan media informasi adalah pilar
keempat demokrasi. Penguasa media informasi leluasa mengendalikan arah dan
warna demokrasi, begitupun sumber daya informasi dengan segala potensi luar
biasanya.
Media informasi sangat menentukan! Dalam
salah satu tulisan saya saat masih merenda ilmu di Fisika UGM, tiga dasawarsa
lalu, saya gambarkan kedahsyatan media informasi dalam sepenggal kalimat
singkat : “media dapat mengubah cecak menjadi dinosaurus dalam sekejap, dan
pada sekejap yang sama merobah dinosaurus menjadi cecak.” Bahwa umat begitu
mudah dibully di medsos, sekaligus begitu susah mendapat porsi headline di
media cetak maupun di primetime media visual, itu dapat menunjukkan bagaimana
sesungguhnya kuasa informasi kini jauh dari sentuhan umat.
Ada banyak lagi agenda strategis umat
untuk Indonesia. Kesemua itu mendesak, mendesak, dan mendesak! Mendesak untuk
mulai diterjuni dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, mendesak agar “ghirah
212, mengalirlah sampai jauh” menggerakkan Indonesia menuju baldatun
thayyibatun wa rabbun ghafur, dan juga mendesak lebih banyak lagi munajat
diguratkan..... Salam takzim