BUYA HAMKA DI MAKASSAR. Buya Hamka dalam KTT Islam di Thaif, Mekah, Arab Saudi, 1981 (kiri). Hamka sebagai guru dan muballigh Muhammadiyah di Makassar, 1931 (kanan). Buya Hamka bersama pengurus Muhamamdiyah Cabang Makassar menyiapkan penyelenggaraan Kongres Muhamadiyah ke-21 pada bulan Juni 1932 di Makassar. (Foto: koleksi keluarga Hamka)
--------
PEDOMAN
KARYA
Senin,
05 Desember 2016
Sejarah Muhammadiyah
di Sulawesi Selatan (5):
Muhammadiyah Tetap
Berkembang di Tengah Tantangan
Oleh:
Asnawin Aminuddin
(Wakil
Ketua Majelis Pustaka dan Informasi/Humas Muhammadiyah Sulsel)
Muhammadiyah Group Makassar diresmikan dan
dilantik pengurusnya pada 21 Dzulhijjah 1344 Hijriyah atau 2 Juli 1926, dalam
suatu pertemuan umum terbuka (open bare vergadering) di gedung Bioskop G
Wienland, Jalan Komedian (sekarang Jalan Botolempangan).
Segera setelah dilantik, pengurus
Muhammadiyah Group Makassar langsung memulai aktivitasnya. Kegiatan pertama
yang dilakukan yaitu menyelenggarakan vergadering
(rapat umum) yang oleh orang Makassar disebut parahadele, membicarakan berbagai hal mengenai pengembangan
organisasi Muhammadiyah dan masalah-masalah yang berkaitan dengan ajaran agama
Islam yang dikenal dengan istilah tabligh.
Muhammadiyah Group Makassar memanfaatkan
keberadaan Muhammad Yunus Anis (Secretaris Hoofbestuur Muhammadiyah yang
mewakili Pimpinan Pusat untuk melantik pengurus Muhammadiyah Group Makassar),
yang menetap selama sekitar sepuluh hari di Makassar, untuk bertabligh dalam
pertemuan-pertemuan yang diadakan oleh Muhammadiyah pada hari-hari pertama
kegiatannya.
Melalui perantaraan Muhammad Yunus Anis
pula, pengurus Muhammadiyah Group Makassar menitip pesan dan harapan kepada Pimpinan
Pusat Muhammadiyah agar mengirimkan tenaga guru ke Makassar untuk membina
sekolah yang segera akan didirikan.
Beberapa bulan kemudian, datanglah dua
guru utusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah dari Yogyakarta, yaitu Raden Hilman dan
Sangadi Kusumo.
Untuk memanfaatkan tenaga kedua guru
tersebut, pada tahun 1928, pengurus Muhammadiyah Group Makassar membuka sebuah
sekolah setingkat sekolah dasar sekarang, yaitu Honlandsche Inlandsche School
med de Al-Qur’an (HIS).
Sekolah tersebut dipimpin oleh Yahya bin
Abdul Rahman Bayasut, seorang keturunan Arab yang pernah cukup lama mengajar di
sekolah Pemerintah Hindia Belanda.
Pada tahun yang sama, Muhammadiyah Group
Makassar kembali membuka satu sekolah, yaitu Munir School, semacam madrasah
ibtidaiyah sekarang.
Kalau pengajaran di HIS (Honlandsche
Inlandsche School med de Al-Qur’an) menitik-beratkan pada ilmu pengetahuan umum
dan Bahasa Belanda dengan sedikit tambahan pelajaran agama, Munir School
menekankan pada pelajaran agama dengan sedikit tambahan pengetahuan umum.
Selain mendirikan sekolah, Muhammadiyah
Group Makassar juga menggalakkan pemberantasan buta huruf di kalangan anggota
Muhammadiyah, baik laki-laki maupun perempuan. Maka Muhammadiyah Group Makassar
pun membuka sebuah sekolah khusus yang disebut “Menyesal School.”
Di bawah kepemimpinan Haji Muhammad
Yusuf Daeng Mattiro, Muhammadiyah Group Makassar berkembang cukup pesat, namun karena
satu dan lain hal, setelah berjalan kurang lebih satu tahun, Yusuf Daeng
Mattiro kemudian mengundurkan diri dan digantikan oleh Kiyai Haji Abdullah.
Meningkat Menjadi
Cabang
Di tangan KH Abdullah, Muhammadiyah
Group Makassar dtingkatkan statusnya menjadi cabang yang mengkoodinir
group-group yang telah ada di Celebes Selatan, hingga akhirnya menjadi Konsoelat
pada tahun 1931, setelah beberapa group yang tersebar di beberapa daerah
ditingkatkan statusnya menjadi cabang.
Ada dua persyaratan utama yang harus
dipenuhi oleh suatu group untuk dapat ditingkatkan statusnys menjadi cabang.
Pertama, telah membentuk dan membina sekurang-kurangnya tiga group. Kedua,
telah memiliki amal usaha nyata berupa sekolah, masjid, dan panti asuhan.
Karena itulah, berbarengan dengan
peningkatan jumlah cabang dan group, berkembang pula amal-amal usaha
Muhammadiyah dalam bentuk sekolah, masjid, dan panti asuhan.
Dengan demikian, Muhammadiyah telah
turut serta mewarnai jalannya pembangunan dalam bidang pendidikan di Sulawesi
Selatan, sebagai salah satu alternatif di luar sekolah pemerintah, serta
sekolah Kristen dan sekolah Katolik.
Kedatangan Buya
Hamka
Pembukaan sekolah atau madrasah di
daerah-daerah, diimbangi oleh Muhammadiyah Cabang Makassar dengan mendatangkan
ulama-ulama muda dari Jawa dan Sumatera, yang akan menjadi guru sekaligus
memimpin madrasah atau sekolah yang didirikan Muhammadiyah. Tugas pokok
ulama-ulama tersebut yaitu mengajar dan berdakwah.
Kehadiran para ulama tersebut semakin
diperkuat dengan kedatangan Haji Abdul Malik Karim Amrullah (yang kemudian
dikenal dengan nama Buya Hamka) yang dikirim oleh Pimpinan Pusat (Hoofbestuur) Muhammadiyah
atas permintaan Muhammadiyah Cabang Makassar.
Selain sebagai guru dan muballigh, Buya
Hamka bersama pengurus Muhamamdiyah Cabang Makassar juga diharapkan
mempersiapkan penyelenggaraan Kongres Muhamadiyah ke-21 pada bulan Juni 1932 di
Makassar.
Kongres ke-21
Muhammadiyah
Sebagaimana dituangkan dalam “buah
kongres”, Pimpinan Pusat Muhammadiyah menilai penyelenggaraan Kongres ke-21 Muhamadiyah
di Makassar, berlangsung sukses, dan penilaian itu diperkuat dengan pemberitaan
positif oleh surat kabar “Tentara Islam” dan majalah Suara Muhammadiyah.
Kedua media cetak tersebut melaporkan
bahwa Kongres ke-21 Muhammadiyah yang ditempatkan di Makassar sangat menarik
perhatian dan minat masyarakat Makassar dan sekitarnya, bahkan disebutkan bahwa
ribuan orang berduyun-duyun datang ke arena kongres.
Ketertarikan masyarakat itu antara lain
karena ingin menyaksikan dari dekat kegiatan Muhammadiyah yang selama ini
dianggap sebagai suatu gerakan yang membawa praktek agama baru, menentang adat
istiadat negeri, bid’ah, takhayul, dan khurafat.
Kongres ke-21 Muhammadiyah di Makassar
berdampak luas terhadap perkembangan Muhammadiyah di Celebes Selatan, yang
antara lain ditunjukkan dengan bertambahnya cabang dan group Muhamamdiyah.
Muhammadiyah Cabang Makassar juga membuka
Madrasah Muhallimin di Jalan Muhammadiyah dengan mengangkat Buya Hamka sebagai
kepala sekolah.
Selanjutnya, Muhammadiyah Cabang Majene
(sekarang Sulawesi Barat) membuka Madrasah Tsanawiyah, dan kemudian berkembang
pula berbagai macam amal usaha Muhammadiyah.
Tantangan Dakwah
Perkembangan tersebut tentu juga
diimbangi dengan gencarnya kegiatan dakwah amar ma’ruf nahi munkar, baik berupa
tabligh, maupun dengan cara berdiskusi dan berdebat dengan para ulama
tradisional yang menentang Muhammadiyah.
Masalah yang diperdebatkan biasanya
berkisar pada masalah-masalah keagamaan yang dinilai bid’ah, seperti shalat
tarawih dua puluh rakaat, qunut subuh terus-menerus, bacaan talqin di kuburan,
dan lain-lain.
Perdebatan dan pertentangan lainnya,
terjadi antara Muhammadiyah dengan pejabat parewa sara’ ketika Muhammadiyah
mendirikan masjid dan hendak melaksanakan shalat Jumat.
Menurut adat, dalam satu kampung hanya boleh
ada satu masjid dan yang menjadi penyelenggara ibadah di dalam masjid adalah
parewa sara’. Khutbahnya pun harus dalam bahasa Arab.
Muhammadiya kemudian menjelaskan bahwa
siapa saja dapat menjadi imam, menjadi khatib, dan memimpin penyelenggaraan
ibadah lainnya. Khutbah pun dapat disampaikan dalam bahasa Melayu atau bahasa
daerah yang dimengerti oleh jamaah.
Demikianlah berbagai tantangan yang
dihadapi Muhammadiyah, namun kenyataannya, Muhammadiyah tetap saja berkembang
dengan pesat yang ditandai dengan bertambahnya cabang dan group, serta semakin
banyaknya anggota dan amal usahanya. (bersambung)
.................
Tulisan
Bagian Pertama:
Sejarah
Muhammadiyah di Sulawesi Selatan (1):
Awal
Masuknya Islam di Sulawesi Selatan
http://www.pedomankarya.co.id/2016/11/awal-masuknya-islam-di-sulawesi-selatan.html
Tulisan
Bagian Kedua:
Sejarah
Muhammadiyah di Sulawesi Selatan (2):
Proses
Islamisasi Raja dan Masyarakat di Sulawesi Selatan
http://www.pedomankarya.co.id/2016/11/proses-islamisasi-raja-dan-masyarakat.html
Tulisan
Bagian Ketiga:
Sejarah
Muhammadiyah di Sulawesi Selatan (3):
Sulawesi
Selatan Menjelang Kehadiran Muhammadiyah
http://www.pedomankarya.co.id/2016/11/sulawesi-selatan-menjelang-kehadiran.html
Tulisan
Bagian Keempat:
Sejarah
Muhammadiyah di Sulawesi Selatan (4):
Berdirinya
Muhammadiyah Group Makassar
http://www.pedomankarya.co.id/2016/12/berdirinya-muhammadiyah-group-makassar.html
............
Sumber
Referensi:
Assagaf, S.
Jamaluddin; Kafaah dalam Perkawinan dan Dimensi Masyarakat Sulsel
Bosra, Mustari,
dkk; Menapak Jejak Menata Langkah: Sejarah Gerakan dan Biografi Ketua-Ketua
Muhammadiyah Sulawesi Selatan; 2015; Yogyakarta, Suara Muhammadiyah
Idrus, Mubarak,
Jejak Islam di Sulawesi Selatan; Menemukan Jejak Jamaluddin al Husaini,
https://maulanusantara.wordpress.com/2011/08/29/jejak-islam-di-sulawesi-selatan-menemukan-jejak-jamaluddin-al-husaini/
Lambe, Sawaty,
(2012), Masuknya Agama Islam ke Sulawesi Selatan, Parepare, makalah,
http://sawatyl.blogspot.co.id/2012/02/blog-post_26.html
Menelusuri Awal
Masuknya Islam di Sulsel, (2014);
http://kabarmakassar.com/menelusuri-awal-masuknya-islam-di-sulsel/
Sejarah
Muhammadiyah di Sulawesi Selatan;
http://sulsel.muhammadiyah.or.id/content-3-sdet-sejarah.html